Pipit Apriani , Associate Researcher di Global Future Institute dan Peneliti di ForDE (Forum on Democracy and Election)
Tercecernya ribuan keping e-KTP di Bogor pada hari Sabtu 26 Mei 2018 menimbulkan tanda tanya besar di masyarakat. Tentu saja, karena e-KTP merupakan sebuah proyek pemerintah yang bernilai fantastis yaitu Rp 5,9 triliun, tetapi pelaksanaannya tersendat-sendat. Kasus korupsi e-KTP menyebabkan jutaan rakyat tidak mendapatkan e-KTP sebagaimana seharusnya. Data terakhir menunjukkan bahwa 11 juta rakyat Indonesia belum mendapatkan e-KTP.
Saya memandang pentingnya bagi pemerintah khususnya pihak Kemendagri cq Dukcapil untuk melakukan sejumlah tindakan pasca klarifikasi kasus tersebut. Pertama, Dukcapil harus segera menyelesaikan pembuatan e-KTP bagi 11 juta rakyat Indonesia, karena e-KTP adalah bukti kewarganegaraan seseorang dengan berbagai hak politik, hak social dan hak ekonomi yang melekat padanya. Hak politik, pemilih berhak memberikan suara dalam pemilu berbagai level sesuai undang-undang dan peraturan di Indonesia. Hak social, pemilik e-KTP bisa bersekolah, melakukan pencatatan pernikahan, mendaftar kegiatan ini itu dan sebagainya. Hak ekonomi, salah satu syarat mengajukan kredit ke bank adalah melampirkan foto kopi KTP. Kedua, memperhatikan penerbitan e-KTP hanya untuk WNI dengan penelitian yang mendalam terhadap orang yang akan diberikan e-KTP tersebut. Ketiga, memperhatikan dengan seksama sektor keamanan dan pengamanan e-KTP yang berada di tangan Dukcapil. Sekalipun invalid atau cacat ketika proses pencetakan, tetapi tetap saja memiliki data-data pemiliknya yang harus dirahasiakan agar tidak disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
Terkait dengan pasal 348 ayat 8 UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu bahwa pemilik e-KTP bisa memilih meski tidak terdaftar dalam daftar pemilih tetap (DPT) dan DPT tambahan, ada hal yang perlu diwaspadai yaitu penggelembungan jumlah pemilih di TPS pada pileg dan pilpres mendatang.
Saya memandang perlu bahwa KPU/KPUD dan jajaran di bawahnya untuk mengumumkan jumlah pemilih di setiap dapil hingga TPS dalam DPT-nya yang paling terakhir atau ter-update. Pertama, TPS dibentuk berdasarkan jumlah pemilih. Kelebihan pemilih akan menyebabkan petugas KPPS kerepotan dan kericuhan dalam melayani pemilih ketika memberikan suara. Untuk Pemilu Serentak 2019, maksimal jumlah pemilih untuk setiap TPS adalah 300 orang per TPS. Berdasarkan simulasi pungut hitung oleh KPU RI, setiap pemilih membutuhkan waktu antara 7 hingga 9 menit untuk memberikan suara dalam lima surat suara. Pemungutan suara diperkirakan cukup sampai pukul 1 siang dan dengan maksimal 300 pemilih per TPS, penghitungan suara bisa selesai sebelum pukul 12 malam. Kedua, Daftar Pemilih Tetap menentukan jumlah logistik pemilu seperti jumlah surat suara untuk setiap TPS + 2,5% surat suara tambahan. Kekurangan surat suara akan menimbulkan keresahan bagi pemilih karena tidak dapat melaksanakan hak politiknya untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan negara. Ketiga, membuat pengumuman dan sosialisasi agar pemilik e-KTP mengecek secara rutin nama dirinya di TPS terdekat di wilayahnya dan mendaftarkan diri agar masuk ke dalam DPT jika tidak atau belum terdaftar. Keempat, petugas pendaftaran pemilih harus aktif mengecek pemilih yang berada di dalam wilayahnya termasuk pemilih pemula, pemilih lansia serta orang-orang yang sudah pindah dari wilayah tersebut tetapi tetap memiliki e-KTP di wilayah tersebut. Hal ini untuk menghindari adanya pemilih hantu atau ghost voters yaitu bahwa jumlah pemilih di DPT atau pada hari H lebih banyak daripada jumlah pemilih yang sebenarnya.