Terungkapnya 39 Dokumen Kejahatan Perang Jepang di Cina, Inspirasi bagi Perjuangan Para Advokator Ianfu Indonesia

Bagikan artikel ini

Penulis: Hendrajit, Direktur Eksekutif Global Future Institute (GFI)

Menyusul semakin memanasnya konflik perbatasan antara Cina-Jepang akhir-akhir ini, Cina mempublikasikan 39 catatan rahasia kejahatan Jepang pada Perang Dunia II. Tak pelak lagi ini merupakan konfrontasi terbuka Cina terhadap Jepang. Betapa tidak. Menteri Luar Negeri Cina mengundang 20 koresponden asing ke gedung arsip di Provinsi Jilin Utara. Bisa dipastikan manuver Menteri Luar Negeri Cina tersebut akan memicu kegusaran pemerintahan Jepang di bawah pimpinan Shinzo Abe.

Apalagi dalam pernyataannya Maret lalu, Abe telah menegaskan dirinya tidak akan meminta maaf atas apa yang dipandang oleh beberapa negara eks koloni Jepang di Asia sebagai kejahatan perang. Termasuk kejahatan perang tentara Jepang dalam memaksa wanita Asia untuk jadi “budak seksual” di markas militer Jepang.

Padahal, Cina dan Korea Selatan secara eksplisit telah menuding Jepang berusaha mengubah catatan sejarah kelam negara Sakura tersebut ketika menjajah beberapa negara Asia. Setidaknya, sekitar 200 ribu perempuan, sebagian besar Korea, telah dipaksa menjadi “budak seksual” tentara Kerajaan Jepang pada tahun 1930-an dan 1940-an.

Maka itu, manuver pemerintah Cina mempublikasikan 39 catatan rahasia kejahatan Jepang, termasuk sepak-terjang aparat polisi militer Jepang di Kwangtung pada 1930-an dan 1940-an, seharusnya bisa menginspirasi elemen-elemen masyarakat di Indonesia, khususnya para advokator Ianfu, untuk melakukan beberapa langkah strategis untuk meminta pertanggungjawaban pemerintah Jepang atas kejahatan-kejahatan perangnya sewaktu menjajah Indonesia antara 1942-1945.

Diungkapkannya 39 dokumen catatan rahasia kejahatan perang Jepang di Cina, diyakini akan semakin memperkuat perjuangan sekelompok perempuan Cina (Ianfu) yang pada masa Perang Dunia II dipaksa tentara Jepang sebagai pemuas nafsu seksual prajurit Jepang. Pada 27 April lalu,, sekitar 37 orang korban dan keluarga yang dahulu disebut Jugun Ianfu tersebut, telah melayangkan tuntutan kepada sekitar 35 perusahaan Jepang. Antara lain Mitsubishi  Heavy Industries.

Korban menuntut uang kompensasi sebesar 1 juta yuan atau sekira Rp1,8 miliar (Rp1.899 per yuan), untuk setiap perempuan yang menjadi korban. Mereka juga mendesak permintaan maaf yang dipublikasinya di media China, People’s Daily dan media Jepang, Asahi Shimbun.

Bisa dipastikan bahwa terungkapnya 39 dokumen catatan rahasia kejahatan perang Jepang di Cina, termasuk di dalamnya kebijakan kerja paksa (Romusha) yang diterapkan pmerintah Fasisme Jepang terhadap sekitar 38.900 warga sipil Cina. Menurut catatan, diperkirakan 6800 orang tewas akibat kondisi buruk di tambang dan pabrik-pabrik, karena dipaksa tentara Jepang untuk menjaga alat perang agar tetap berfungsi.

Meskipun pemerintah Jepang menolak tuntutan pemerintah Cina dengan alasan bahwa Cina tidak berhak lagi mengklaim kompensasi ketika Cina dan Jepang sudah menormalisasi hubungan diplomatiknya pada 1972, namun isu Ianfu sebagai bagian integral dari kejahatan perang tentara Jepang tetap menjadi sorotan publik dunia internasional, termasuk di kalangan masyarakat Jepang itu sendiri.
Salah satu argumentasi yang dijadikan dasar pemerintah Jepang untuk mengelak dari tanggungjawab adalah tidak mengakui hak individual ketika traktat hubungan bilateral dengan negara korban sudah disepakati. Begitulah argumentasi pihak Jepang kepada Cina dan Korea. Namun pengadilan di Korea telah menolak logika traktat bilateral sebagai dalih untuk mengelak dari tanggungjawab terhadap sepak-terjangnya di masa lalu.

Sekilas Perjuangan Para Advokator Ianfu Indonesia

Mari kita mulai dengan press release yang disampaikan oleh para aktivis yang tergabung dalam Jaringan Advokasi Jugun Ianfui Indonesia (JAJI) pada 2006. Dalam siaran persnya, mereka menekankan bahwa dengan terkuaknya masalah Jugun Ianfu (budak seks jaman Jepang) di Indonesia tahun 1993, belum ada pengakuan secara resmi dari Pemerintah Indonesia mengenai nasib dan dukungan terhadap perjuangan Jugun Ianfu Indonesia untuk memperoleh Hak Asasi Manusia-nya.

Sampai sekarang nasib Jugun Ianfu hanya diperjuangkan oleh segelitir masyarakat sipil dan lembaga non pemerintah di dalam negeri maupun luar negeri untuk menuntut tanggung jawab Pemerintah Jepang atas sistem perbudakan seksual di seluruh wilayah Asia selama perang Asia Pasifik. Tentunya juga termasuk nasib para perempuan Indonesia yang jadi korban Ianfu pada waktu itu.

Dari hasil studi seorang wartawati Belanda yang gigih Hilde Janssen dan fotografer Jan Banning kala berkeliling Indonesia untuk bertemu para mantan “jugun ianfu yang masih hidup(survivors), terungkap betapa kejahatan perang Jepang yang satu ini, memang nyata adanya. Temuan mereka berdua ini kemudian didokumentasikan dalam sebuah buku bertajuk Schaamte en Onschuld. Het verdrongen oorlogsverleden van troostmeisjes in Indonesië” oleh Hilde Janssen dan Jan Banning.

Rosa, perempuan asal Maluku Selatan kelahiran 1929, Pada zama perang Rosa sengaja dihamili oleh pacarnya karena pacarnya ingin menikahi dia ketimbang gadis lain yang dijodohkan kepadanya. Kepala kampung yang telah mengatur perjodohan bagi pacar Rosa tersebut, kemudian mengirim Rosa ke sebuah rumah bordil Jepang di kota.

Disana Rosa dipaksa melayani serdadu Jepang sementara ia telah hamil beberapa bulan. Pada saat akhir kehamilannya, ia pulang ke kampung dimana  bayinya kemudian meninggal tidak lama setelah dilahirkan.  Pacarnya membatalkan penikahannya yang diurus oleh orang tuanya, dan menikahi Rosa.Hal ini memulihkan kehormatan Rosa. Setelah perang berakhir seluruh kampung bungkam mengenai hal ini. “Ini rahasia kami. orang kampung sangat menyayangi saya, karena mereka tahu saya dipaksa Kami belum pernah menceritakan sesuatupun kepada anak-anak kami. Terlalu memalukan bagi saya.”

Ini baru sebagian dari kisah. Kasinem, perempuan asal Karanganyar, Jawa Tengah, kelahiran 1931, lain lagi kisahnya. Pada usia 13 tahun Kasinem dipanggil kepala kampung dan dipaksa masuk prostitusi oleh tentara Jepang di sebuah bordil militer di Solo. Dia menerima nama Jepang Kanaku dan harus melayani tiga atau empat lelaki setiap hari.

“Saya diberi seperangkat baju lengkap, bedak, lipstik, sisir rambut, sabun, sikat gigi, pasta gigi,dan sebuah handuk. Mereka memanggilsaya “Jeng,” walaupun saya hanya anak petani. Saya merasa terhormat atas panggilan itu, tetapi uga risih karena tidak pas. Dan saya sangat rindu untuk pulang. Saya masih kecil. Saya nggak mau. Saya takutkepadapara lelaki itu tapi saya nggak berani berteriak ataupun menangis secara terbuka, meskipun airmata keluar terus”. Setelah tiga bulan dia diperbolehkan pulang “sebentar” dan tak pernah kembali ke rumah bordil. Beberapa tahun kemudian diapun akhirnya menikah, membangun sebuah rumah tangga dan melahirkan enam orang anak.

Icih, perempuan asli Sukabumi-Jawa Barat, kelahiran 1926, sungguh tragis nian nasibnya. Setelah suami pertamanya ditembak mati, Icih dikurung ditangisi Jepang dan selama tiga tahun hampir setiap hari diperkosa dan dipukuli oleh komandan tangsi dan seorang tentara lainnya. Pada awalnya dia masih diperbolehkan berjalan-jalan keliling tangsi dibawah pengawasan, kemudian dia dikurung secara permanen. Sering disiksa dan sebagai hukuman tidak diberi makan. Setelah perang dia pulang ke rumah dalam keadaan sangat kurus dan sakit. “Saya diobatin oleh Ibuku, digosok sama obat kampung dari dedaunan, pakai apu, daun jawerkotok, saya digosok dan dipijit. Jalan sendiri tidak bisa, manggil nama sendiri tidak bisa”. Icih baru menikah kembali delapan tahun kemudian setelah perang. “Suamiku tahun saya sisa Jepang, alhamdulillah ibadah saja, dia bilang yang sudah-sudah biarkan saja”.

Setelah beberapa tahun pernikahan itu berakhir, sama seperti sepuluh pernikahan berikutnya.Icih tidak pernah bisa mengandung. Perkosaan-perkosaan itu tetap menghantuinya. “Rasanya seperti langit jatuhin bumi, sakit sekali. Badanku tidak akan bisa lupa”.
Temuan lain terkait korban Jugun Ianfu, berasal dari Eka Hindra, salah seorang advokator gigih Jugun Ianfu.  Sejak 1999. Ia tak pernah berhenti mencari kebenaran, berusaha menemukan jejak-jejak Ianfu yang masih tersisa di Indonesia, dan membongkar kebisuan dari ribuan perempuan tak bersalah pada masa Perang Dunia II di Koloni Jepang. Kisah Mardiyem asal Yogyakarta dan Suharti di Blitar penemuannya membuka mata dunia. Baru-baru ini Eka bertemu dengan saksi sejarah 67 tahun Silam bernama Sri Sukanti, survivor Ianfu dari Salatiga.

Sukanti mengisahkan sejarah kelam hidupnya dalam suka cita. Ia terlahir sebagai anak ke-11 dari 12 bersaudara dari seorang Wedana bernama Soedirman dan Ibunya, Sutijah, yang berasal dari kalangan rakyat biasa. Kisahnya dimulai pada pertengahan tahun 1945. “Di suatu siang sekitar pukul 11 datanglah dua orang Jepang berpakaian dinas tentara lengkap dengan samurai terselip dipinggangnya, ditemani Lurah desa Gundi bernama Djudi. Lurah ini menunjukkan kepada kedua tentara Jepang kalau Wedana Soedirman memiliki anak gadis cantik jelita”. Singkat cerita, Sukanti bersaksi bahwa tentara Jepang yang membawanya itu bernama Ogawa. Malam pertama di sana, saya dimandikan, keramasi, dibedaki dan disalini baju oleh Ogawa persis seperti boneka”, kenangnya terpukul.

Untuk kisah selengkapnya, artikel Eka Hindra bisa diakses di “Nyah Kran Tawanan Di Gedung Papak” – Jugun Ianfu Part II (Bagian Pertama).

Dalam seminar yang kami adakan pada Oktober 2010 lalu di Jakarta, Sri Sukanti kami hadirkan sebagai salah seorang saksi hidup korban Ianfu. Kehadiran Ibu Sri Sukanti di hadapan peserta seminar sehari tentang Jugun Ianfu, Romusha dan Sejarah Kelam Militerisme di Indonesia Senin 25 Oktober lalu, sempat mengejutkan sekitar 65 orang peserta seminar yang hadir di Hotel Santika, Slipi, Jakarta. Kesaksiannya yang singkat namun penuh emosi tersebut membuktikan betapa kekejaman penjajahan Jepang di Indonesia pada 1942-1945, utamanya lewat kebijakan paksa bagi para perempuan Indonesia untuk menjadi budak seks tentara Jepang memang nyata adanya.

Dalam presentasinya di depan peserta seminar yang diselenggarakan oleh Global Future Institute tersebut, Sukanti berkata: “Selama menjadi Ianfu, saya diperlakukan seperti binatang oleh tentara Jepang. Saya diperlakukan seperti kuda. Setelah merdeka hingga sekarang saya sangat sedih karena tidak pernah ada perhatian dan solidaritas dari masyarakat maupun negara kepada saya yang telah menjadi korban kekejaman tentara Jepang.

Setelah Jepang pergi, saya menikah. Suami saya seorang tukang batu. Dari perkawinan itu saya tidak dikaruniai anak. Mungkin karena waktu menjadi Ianfu saya disuntik oleh tentara Jepang. Kalo tidak salah 16 kali saya disuntik. Dan kalo saya inget suntikan itu sedih saya. Sakit sekali. Pokoknya saya ini merasa hancur.

Temuan terbaru Eka Hindra berdasarkan penelitian yang dilakukannya pada 25 Juli-24 Agustus 2012 di Tanimbar dan sekitarnya(Pulau Selaru) dan Pulau Babar(Maluku Barat Daya), telah menemukan dua orang mama yang berhasil teridentifikasian sebagai “ianfu” yang bernama Rofina Batfian usia 84 tahun dari Desa Sangliat Krawain dan Aloysia Ratuain 84 tahun dari Desa Wowonda.

Selain kedua mama tersebut, juga direkomendasikan dua mama lain yang sudah terindentifikasikan korban kekerasan seksual Badak Hitam (tentara Indonesia yang berasal dari Sumatera dan Jawa yang pernah ditugaskan di Tanimbar tahun 1948). Mereka bernama Mama Rosa Delima Fenanlampir 78 tahun dari Desa Kabiarat (dalam keadaan sakit stroke dan tidak bisa berjalan lagi) dan Martha Laratmase 74 tahun dari dari Desa Lauran mengalami kekerasan seksual (perkosaan) setelah mendapat hipnotis dari mereka.
Inilah sekelumit kisah salah satu sejarah kelam Jepang kala menjajah Indonesia pada 1942-1945.

Yang diinginkan Sukanti, Rosa, Kasinem, Icih, Mama Rofina, dan korban-korban Ianfu Indonesia lainnya, sebenarnya sederhana saja. Permintaan maaf dari Pemerintah Jepang. Rehabilitasi reputasi dan nama baiknya bahwa mereka bukan “Perempuan Nakal” melainkan dipaksa sebagai “pemuas nafsu seksual” tentara Jepang akibat sistem militerisme tentara Jepang dengan sengaja dan sadar memang memobilisasi dan memaksa para perempuan di negara koloni Jepang untuk jadi Wanita pemuas seks tentara-tentara Jepang.

Pada kesadaran ini, kita sebagai elemen bangsa, kadang sampai pada sebuah pikiran, bahwa kemajuan dan keberhasilan bangsa Jepang saat ini, sejatinya bertumpu pada derita dan kesengsaraan para leluhur dan nenek moyang bangsa kita. Khususnya para perempuan Indonesia.

Saran Rujukan Pustaka:

  1. Hendrajit (Ed.), Japanese Militarism and its War Crimes in Asia Pacific Region (Jakarta: Global Future Institute, 2010).
  2. Hilde Jansen dan Jan Banning, Jugun Ianfu-Para Korban Militerisme Jepang di Indonesia 1942-1945.
  3. Press Release Sosialisasi Advokasi Jugun Ianfu.
  4. Telah Teridentifikasi sebagai “Ianfu” di Maluku.
  5. Cina Publikasikan Dokumen Kejahatan Jepang di Masa Perang Dunia ke-2.
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com