Tidak Ada Tempat Bagi Al Khatib di Aliansi Oposisi Suriah

Bagikan artikel ini

Novendra Deje Ketua Komunitas Studi Agama dan Filsafat (KSAF-Aceh)

Titik terdalam atas friksi yang menimpa Aliansi Nasional Oposisi Syria (SNC) sejauh ini dapat diamati dari fenomena terbentuknya pemerintahan interim hasil pertemuan Istambul, Turki (19/3/2013), yang mendudukkan Gassan Hitto sebagai Perdana Menteri, dan mundurnya Ahmed Moadz Al Khatib dari jabatannya sebagai ketua Aliansi Oposisi (24/3/2013).

SNC yang terbentuk dari hasil kesepakatan Doha, Qatar 11 November 2012 lalu itu merupakan wadah mempersatukan berbagai kelompok oposisi Suriah. Namun kepercayaan Aliansi Oposisi ini pada Al Khatib bersama alur kebijakannya tidak berlangsung lama. Bahkan sejak awal sang ketua seperti melangkah sendiri tanpa dukungan dari kelompok-kelompok berpengaruh kuat dalam Aliansi tersebut, termasuk dari negara-negara yang selama ini aktif mendukung mereka.

Apa yang dijalankan oleh Al Khatib memang tidak sejalan dengan kebijakan hasil kesepakatan Doha, saat Aliansi itu dibentuk. Aliansi tersebut menginginkan terbentuknya pemerintahan trasisi, tanpa perundingan atau pun pelibatan Pemerintah Presiden Bashar Al Assad. Kecendrungan kelompok-kelompok dominan dan negara-negara pendukung untuk terus melancarkan perang senjata hingga jatuhnya kekuasaan Assad, membuat Al Khatib tidak leluasa menjalankan kebijakannya. Mereka berupaya untuk tidak memberikan kesempatan bagi Damaskus memperoleh posisi bagi setiap langkah yang diambil bagi masa depan Suriah. Karenanya, dialog langsung dengan pemerintah Assad menjadi obsi yang dikesampingkan. Hal ini membuat insiatif-inisiatif Al Khatib dalam membuka dialog langsung menjadi lemah secara dukungan. Hingga sampai pada titik kritis gesekan antara ia dengan Sekjen kubu aliansi nasional, Mustafa Sabbagh.

Dalam satu surat balasan kepada Al Khatib, Sabbagh mengkritik upaya mempertahankan dua obsi kebijakan yang dijalankan Ketua Aliansi itu, dan kecendrungannya melakukan dialog langsung dengan Damaskus. Sabbagh yang merepresentasikan kubu dominan menginginkan terbentuknya pemerintahan transisi sebagai perwakilan rakyat Suriah dan sekaligus menjadi garansi integrasi bangsa. Al Khatib justru punya perhitungan berbeda, dalam surat yang telah ditanggapi oleh Sabbagh itu, ia mengatakan bahwa pembentukan pemerintahan sementara akan menjadi ancaman terbesar bagi Suriah, termasuk ancaman disintegrasi bangsa.

Al Khatib pada 30 January lalu mengumumkan kesiapannya untuk melakukan diskusi langsung dengan perwakilan dari pemerintah Suriah di Kairo, Tunisia atau Istanbul. Indikasi praktis ke arah itu setidaknya telah ia tunjukkan dengan sempat melakukan pembicaraan bersama pejabat Rusia dan Iran disela-sela sebuah konfrensi di Munich, Jerman, 2 February lalu. Seperti diketahui, Iran dan Rusia selama ini dikenal sebagai pendukung utama Pemerintahan Suriah. Al Khatib yang berbicara langsung dengan Menteri Luar Negeri Rusia, Sergei Lavrov dan – dalam waktu berbeda – dengan Menteri Luar Negeri Iran, Ali Akbar Salehi, menyatakan keinginan mereka meringankan krisis Suriah dan  berupaya menemukan solusi bagi mengakhiri penderitaan rakyat negara itu. Langkah Al Khatib ini langsung saja mendapat kecaman dari teman-teman Aliansinya, hingga menuduhnya sebagai pengkhianat.

Sebelum SNC membekukan rencana dialog dengan Pemerintah Suriah pada 14 February lalu di Kairo, Mesir, tersiar kabar rencana pertemuan antara Al Khatib dengan Wakil Presiden Suriah, Farouq Al Syara’ di Rusia. Juga berita tentang rencana pembentukan forum dialog yang beranggotakan 120 orang tokoh mewakili pemerintah dan oposisi. Farouq, seperti yang dalam pernyataan-pernyataan SNC adalah pihak yang mereka percaya untuk melakukan dialog, dan ditutunjuknya Wakil Presiden itu sebagai perwakilan pemerintah adalah bagian syarat utama. Karena SNC berupaya mengeluarkan Bashar Al Assad dari skema proses politik dalam menentukan masa depan Suriah, sebagaimana mereka ungkapkan pada media, sehari setelah pembekuan rencana dialog.

Opsi yang coba diperjuangkan Al Khatib ternyata tidak mendapat dukungan dari para pihak poros utama sponsor SNC, termasuk oleh para aktor lapangan (para pemberontak bersenjata Suriah). Ia seperti tidak berdaya memandu Aliansi untuk mengarahkan jalannya pada cara-cara damai dalam menyelesaikan krisis Suriah. Ditolaknya proposal kelompok pro dialog dengan pemerintah, dan diterimanya usulan pembentukan pemerintahan interim oleh SNC menjadi pukulan telak, sekaligus menghentikan langkah Al Khatib menempuh jalan wujudnya dialog sebagai solusi konstruktif bagi menyelesaikan kondisi mengenaskan yang hari ini menyandera rakyat Suriah.

Langkah terbaru yang ditempuh SNC telah keluar dari kendali Al Khatib, sebagai representasi kubu yang menginginkan terwujudnya dialog langsung dengan Damaskus. Melalui pembentukan pemerintahan sementara bagi wilayah-wilayah yang dikuasai pemberontak itu, mereka akan terus mengaktifkan dukungan pada kelompok-kelompok bersenjata untuk dapat menguasai setiap kota di Suriah. Hal paling penting dari tindakan ini kiranya dapat diasumsikan demi menguatkan legalitas atas fakta, mendominasi penguasaan atas wilayah. Dengan demikian, kekerasan dan tersanderanya rakyat Suriah dalam perang yang dipaksakan itu akan terus berlanjut. Pengkotak-kotakan penguasaan wilayah inilah yang mungkin dimaksudkan sebagai ancaman disintegarasi bangsa oleh Al Khatib. Ini jelas suatu langkah yang mengabaikan opsi menyelesaikan krisis dengan cara-cara damai bagi kepentingan nasional dan rakyat Suriah.

Apa yang dilakukan oleh Mouadz Al Khatib dapat dipastikan memang tidak mendapat dukungan sejak awal dari negara-negara sponsor SNC. Sebab dalam masa penjajakan awalnya bagi terbukanya kanal-kanal momentum dialog, Al Khatib telah secara pedas mengeluarkan pernyaan kritik bahwa negara-negara pendukung SNC, tertama Barat yang selama ini menentang Damaskus sesungguhnya tidak punya solusi mengakhiri krisis Suriah. Tanpa dukungan ngara-ngara sponsor utama yang memang punya control signifikan mngontrol arah kbijakan SNC, tidak ada ekspektasi menjanjikan mulusnya agenda Al Khatib. Kecuali dukungan dari Liga Arab yang memang sejak awal memberi kepercayaan pada Al Khatib. Namun seperti biasa, Tidak ada posisi tawar yang kuat Liga Arab saat berhadapan dengan pertentangan sikap dengan Amerika Serikat (AS) dan kroni-kroni baratnya.

Serangkaian masalah dan tekanan yang dihadapi Al Khatib dalam menjalankan agendanya untuk dialog langsung dengan Damaskus melalui skema Aliansi oposisi tersebut, cukup memberinya alasan untuk mundur. Ia sepertinya akan mencari jalan atau media lain yang memungkinkannya melanjutkan langkah-langkah damai yang konstruktif dalam mencari jalan keluar bagi krisis Suriah. Karena itu ia memberi alasan atas kemundurannya dari pimpinan Aliansi agar dapat bekerja lebih bebas. Al Khatib menyatakan, “saya mengumumkan pengunduran diri dari Aliansi Nasional, sehingga saya bisa bekerja dengan kebebasan yang tidak mungkin bisa didapat di lembaga resmi.” Suatu pernyataan yang menyiratkan bahwa tidak ada tempat baginya untuk berjuang dalam skema Aliansi, juga menunjukkan bahwa ia akan tetap bekerja atas kerangka yang ia pikirkan dapat mengeluarkan Suriah dari krisis dengan selamat. Jelas bahwa keputusan Aliansi membentuk pemerintahan sementara itu menjadi titik puncak tercampakkannya agenda Al Khatib dalam kebijakan Aliansi.

Sebagaimana proses di Doha saat terbentuknya Aliansi Nasional Suriah, friksi-friksi yang dalam sesungguhnya juga terjadi saat pertemuan Istambul, hingga terbentuknya Pemerintahan Sementara. Friksi menjadi kian parah saat terpilihnya Ghassan Hitto sebagai Perdana Menterinya. Hitto adalah orang Suriah berwarga negara AS. Menurut beberapa sumber pemberitaan, ia telah lama dididik dan tergabung dalam CIA, serta memang disiapkan pada waktu yang tepat untuk mengontrol Suriah. Kekuatan-kekuatan pemberontak di lapangan tidak menyetujui duduknya Hitto pada posisi tersebut. FSA sendiri sebagai kelompok besar yang dominan dilapangan secara tegas menolak kepemimpinan Hitto. Jelas kelompok-kelompok seperti FSA tidak selalu benar-benar tunduk dibawah kendali AS yang biasa menggunakan mereka dalam berbagai kepentingan mengontrol skema global, khususnya antisipasi ancaman kebangkitan dunia Islam.

Dengan berhasil mendudukkan Ghassan Hitto sebagai Perdana Menteri, AS menunjukkan pengaruh kuat dan konstruktor utama bagi pemerintahan tandingan tersebut. Pemilihan itu sendiri terjadi saat beberapa jam setelah Menteri Luar Negeri AS, John Kerry mengatakan Washington tidak akan menghalangi negara-negara Eropa jika mereka memutuskan untuk mempersenjatai pemberontak melawan pemerintah Suriah. Mereka sepertinya dalam keputusan terbaru Aliansi akan seirama mengambil kebijakan, meningkatkan skala perang bersenjata atas Suriah.

AS sebagai pelindung utama eksistensi negara Israel, beserta negara-negara Barat dan Timur Tengahnya yang sangat menginginkan kejatuhan Pemerintah Presiden Bashar Al Assad merupakan sponsor utama SNC. Mereka mengarahkan Aliansi tersebut pada jalan ekstrim, membentuk pemerintahan tandingan bagi wilayah-wilayah yang dikuasai pemberontak Suriah. Langkah yang secara tegas meminggirkan upaya-upaya Al Khatib untuk membuka peluang dialog langsung dengan Pemerintah Assad. Mereka sepertinya tidak ingin memilih jalan yang memberi peluang bagi Pemerintahan Assad menunjukkan niat baik menyelesaikan krisis Suriah dalam kerangka demokratis. Terlebih ini adalah proxy war nya AS, mengingat posisi geografis, sikap politik dan ideologi pemerintahan, jalur-jalur hubungan Suriah.

Beberapa negara Eropa secara agresif turut mendorong skema penuntasan masalah Suriah melalui jalur militer, yang jelas-jelas berbentuk kekerasan yang tidak sensitive dengan penderitaan rakyat sipil Suriah. Beberapa hari (14/3/2013) sebelum pertemuan Istambul, Menteri Luar Negeri Prancis, Laurent Fabius menegaskan bahwa Paris dan London akan mempersenjatai militan, walaupun kesepakatan dalam pertemuan di Istambul tidak tercapai. Inggris juga menyatakan hal yang sama, dukungannya untuk mengangkat embargo senjata bagi Suriah. Tindakan yang meskipun ditentang oleh beberapa negara Eropa lain (seperti Jerman), yang tidak setuju dan mengingatkan langkah peningkatan jumlah senjata hanya akan memperparah krisis Suriah.

Turki sendiri sebagai tuan rumah pertemuan Aliansi oposisi anti Damaskus memang sudah semakin jauh terlibat dalam mengintervensi urusan internal Suriah. Meskipun terasa aneh jika dilihat dari kepentingan nasionalnya sebagai negara yang bertentangga dengan Suriah, sejatinya Turki berperan lebih pada stabilitas, mengingat berpotensi besar dampak krisis diterimanya. Tanpa menghiraukan kritikan, mereka terus melangkah, dan menjadi sekutu utama AS dalam memuluskan agenda penjatuhan pemerintah Assad. Dengan kemenangan opsi awal Aliansi Oposisi, yang memang didesain untuk tidak berbicara dengan pihak-pihak yang dikenal dekat, apa lagi berdialog langsung dengan pemerintah Assad, maka kemungkinan krisis Suriah akan terus demikian dalam. Tragedi-tragedi kemanusiaan sepertinya akan terus berlanjut karena ambisi para pihak yang menjadikan Suriah sebagai arena proxy war nya.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com