Stefi Velanueva Farrah, peneliti muda di Lembaga Analisa Politik dan Demokrasi (LAPD), Jakarta
Jika tidak ada aral melintang, pemilu legislatif dalam rangka memilih anggota DPR-RI dan DPD-RI 2014-2019 dilaksanakan pada 9 April 2014, walaupun ajakan agar tidak golput disuarakan berbagai kalangan, banyak yang menyakini golput akan tinggi pada Pemilu legislatif, karena 90% anggota DPR-RI periode saat ini mencalonkan kembali, padahal kualitas dan kinerja sangat mengecewakan dan “mudah diukur”. Setelah itu, pada 9 Juli 2014 kita akan memilih Presiden/Wapres untuk 2014-2019 dan sejumlah nama capres/cawapres sudah bermunculan dengan beragam agendanya yang diyakini mereka akan mampu menyelesaikan masalah bangsa ini. Jika saya dicalonkan menjadi capres atau cawapres, maka saya akan menolaknya karena ternyata tidak enak menjadi Presiden. Ini bukti dan tantangannya, terutama di bidang ekonomi dan sosial budaya saja.
Data Bank Indonesia per 20 Februari 2014 menyebutkan, rasio utang luar negeri terhadap produk domestik bruto (PDB) kuartal IV-2013 sebesar 30,2%, atau naik dibanding kuartal IV-2012 yang hanya sebesar 28,7%. Kenaikan ratio utang terhadap PDB tersebut disebabkan bertambahnya utang negeri dalam rangka mendukung pembiayaan kegiatan ekonomi domestik, terutama dari sektor swasta. Nilai utang swasta naik 11,3% dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. Sedangkan utang luar negeri pemerintah justru turun sebesar 2% year on year. Jika dilihat dari indikator beban luar negeri lainnya, yakni debt serivice ratio (DSR) juga ada tren peningkatan. DSR kuartal IV-2013 tercatat 52,7%, artinya harus diwaspadai karena sudah diatas batas atas (50%).
Sementara itu, data PT Bursa Efek Indonesia (BEI) per 18 Februari 2014 menyebutkan, total dana asing yang masuk ke pasar saham Indonesia sejak awal tahun mencapai Rp6,35 triliun. Terus mengalirnya dana asing ke pasar saham Indonesia karena pemodal asing telah melakukan aksi jual bersih (net sell). Selain itu, dengan kondisi makro ekonomi Indonesia yang positif, para pemodal asing merasa yakin dengan pasar saham Indonesia.
Jika sudah berbicara soal asing, maka kebanyakan Indonesia “kalah” atau “mengalah” dan itu tantangan presiden berikutnya. Terbukti, sejak pemberlakuan perjanjian perdagangan bebas antara China dan ASEAN (China ASEAN Free Trade Agreement/CAFTA), pelaku industri kosmetik dalam negeri kalah bersaing dengan produk asing, baik dari segi harga maupun produktivitas kerja. Kondisi tersebut diperparah ketentuan yang membolehkan seluruh merek kosmetik dari negara lain masuk dan beredar tanpa harus mendaftarkan produk-produknya. Pemerintah perlu mengaudit CAFTA, karena mengakibatkan defisit neraca perdagangan Indonesia dengan China semakin meningkat. Selain itu, dampak yang dirasakan adalah terjadinya de-industrialisasi akibat membanjirnya produk China masuk Indonesia.
Pengamat Kebijakan Publik, Agus Pambagio, menilai sejak pemberlakuan CAFTA, hampir 120 jenis komoditi lokal terpuruk karena kalah bersaing dengan komoditas sejenis dari China dan ASEAN. Instrumen perlindungan pasar dari dampak perdagangan bebas yang dikeluarkan Kementerian Perdagangan, Kementerian Keuangan, dan Kementerian Perindustrian belum berfungsi dengan baik bahkan cenderung merugikan industri dan perdagangan nasional. Salah satunya adalah keputusan Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) yang justru membuat harga-harga komoditas naik atau banjir produk asing yang rendah kualitasnya. Peran KADI untuk melindungi industri lokal tidak banyak manfaatnya, karena industri hilir lokal sering dikorbankan demi melindungi komoditi hulu domestik.
Masalah ketahanan energi dan ketahanan pangan, Indonesia juga menghadapi masalah yang parah dan itu tugas presiden berikutnya. Indonesia terancam defisit beras 6 juta ton. Berdasarkan data BPS, produksi beras nasional pada 2013 adalah 34 juta ton, sementara jumlah yang harus dipenuhi pada 2014 mencapai 40 juta ton. Peningkatan jumlah penduduk dan kesejahteraan masyarakat akan membuat kelangkaan beras makin parah. Untuk mengurangi konsumsi beras, perlu diversifikasi pangan.
Dampak erupsi Gunung Kelud dapat menurunkan produksi makanan dan minuman olahan pada Februari yang mencapai 10% s.d. 15%, dibanding produk Januari. Hal ini dikarenakan terjadi penghentian proses produksi pengolahan makanan dan minuman yang diperkirakan hingga 1 bulan akibat sejumlah pabrik mengalami kerusakan. Kerugian kalangan industri menengah ketas akibat bencana tersebut diperkirakan mencapai Rp1,2 triliun per perusahaan.
Lifting minyak dan gas bumi nasional hingga Februari 2014 hanya mencapai 2,01 juta barel setara minyak per hari, atau lebih rendah 4,6% dibandingkan target APBN 2014 sebanyak 2,1 juta barel setara minyak per hari. Rendahnya lifting migas tersebut disebabkan anjloknya produksi akibat cuaca buruk yang menghambat proses eksploitasi. Permasalahan terkait lifting minyak tidak lepas dari masalah fundamental berupa minimnya penemuan blok-blok minyak yang baru. Selain itu, investasi di sektor hulu perminyakan minim, padahal investasi tersebut dibutuhkan untuk mendorong penemuan blok-blok yang baru maupun peningkatan eksplorasi blok-blok yang telah digarap.
Salah satu bukti ketahanan energi patut dipertanyakan adalah terjadinya pemadaman listrik di beberapa daerah, baik karena rusaknya mesin pembangkit ataupun karena sebab lainnya. Sementara itu, untuk menarik investasi masih terkendala oleh infrastruktur yang jelek dan pembahasan lahan yang bermasalah di beberapa daerah, seperti contohnya pembebasan lahan masyarakat Dusun 5 Desa Telaga Sari, Kecamatan Tanjung Morawa yang digunakan untuk pembangunan Jalan Arteri Non Tol menuju Bandara Kualanamu hingga kini belum tuntas, karena persengketaan antara PTPN II dan masyarakat. Sementara itu, di Bukittinggi, Sumbar, proyek pelebaran jalan By Pass dan pembangunan jalan Fly Over terkendala oleh pembebasan lahan. Di Sleman, DI Yogyakarta, warga menolak pembebasan tanah fly over Jombor, karena warga menuntut nilai ganti rugi lahannya sebesar Rp10.000.000,- per m².
Kerusakan infrastruktur juga semakin parah. Warga mengeluhkan kerusakan jalan dari Desa Sukamerindu Kecamatan Kepahiang ke Desa Sukasari Kec. Kabawetan, Bengkulu yang rusak parah. Di Kampung Ifar Besar, Yobeh, Komba, Jayapura, Papua, warga mendesak pemerintah untuk memperbaiki jembatan Komba agar aktivitas warga tidak terhambat. Sementara itu, di Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, kerusakan jalan mencapai 75% akibat banyaknya kendaraan yang melintas melebihi tonase jalan.
Masalah Sosial Budaya
Banyak permasalahan di bidang sosial budaya, antara lain pendidikan, kesehatan dan lapangan pekerjaan yang juga harus diselesaikan presiden mendatang. Kekurangan guru misalnya terjadi di beberapa daerah, termasuk banyak guru yang tidak mendapatkan insentip seperti ratusan guru pendidikan anak usia dini (Paud) di Gunung Kidul tidak lagi mendapat dana insentif dari pusat karena kuota penerima dipangkas. Sementara beberapa guru yang masih menerima insentip nominalnya akan dikurangi dari Rp1,5 juta per tahun menjadi Rp700 ribu. Rencana Kementerian Pendidikan yang akan mengesampingkan gelar sarjana pendidikan (S.Pd) dalam rekrutmen CPNS mulai tahun 2015 ditentang banyak kalangan, karena menunjukkan ketidakmampuan Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) dalam menyelesaikan masalah pendidikan. Jika pemerintah mensyaratkan semua calon PNS guru wajib memiliki sertifikat lulus Pendidikan Profesi Guru (PPG) dan tidak hanya lulus sarjana pendidikan maka pemerintah harus terlebih dahulu menutup Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) dan membuka program pendidikan profesi untuk memberikan keleluasaan semua sarjana boleh mengambil gelar guru profesi. Masalah syarat rekrutmen CPNS guru hendaknya dikembalikan ke ranah pendidikan yang mengetahui kondisi detil di lapangan, sehingga pendidikan menjadi bermartabat dan berwibawa. FMGI Lampung mengharapkan organisasi profesi guru dan stakeholder pendidikan bersama-sama membahas permasalahan persyaratan rekrutmen CPNS guru tersebut.
Dibidang kesehatan muncul hambatan dalam pelaksanaan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) karena terbatasnya fasilitas rumah sakit, kurangnya sosialisasi dan tingkat pendataan yang kurang maksimal, sehingga memicu keluhan dari berbagai pihak. Di Pontianak, BKKBN Kalbar kesulitan melayani akseptor yang belum masuk dalam program non-JKN akibat dari segi pembiayaan belum terlayani sehingga banyak akseptor yang tidak terjangkau dan belum menjadi peserta JKN. Sementara itu, di Bolaang Mongondow Timur, Sulawesi Utara, warga miskin tidak akan menggunakan jaminan kesehatan untuk persalinan, karena minimnya sosialisasi.
Itu sebagian saja masalah yang harus diselesaikan presiden Indonesia berikutnya. So, memang tidak enak jadi presiden. Itupun belum kalau nanti “diperiksa” Yang Maha Kuasa jika ketahuan korupsi di dunia fana ini.