Tingkat penerimaan publik sebesar 49% terhadap Presiden AS Donald Trump sepertinya menjadi potensi bagi dirinya untuk dipilih kembali pada pilpres bulan November mendatang. Potensi terpilihnya kembali pada pilpres nanti juga semakin banyak dukung oleh bandar Barat, meski kompetitor kuat lainnya, seperti Bernie Sanders juga difavoritkan untuk maju dalam pilpres AS mendatang.
Setelah mencermati bagaimana media arus utama Barat banyak menyorot sepak terjang Trump selama empat tahun terakhir, popularitas Trump sepertinya belum bergeser meski belum lama ini ia digoyang dengan isu pemakzulan atas dirinya. Maka, Kampanye media Barat terhadap Trump menjadi sia-sia dan gagal total. Sehingga, lepasnya Trump dari jerat persidangan impeachment merupakan pukulan telak bagi musuh-musuhnya.
Media massa, yang sering menggemakan sikap Partai Demokrat di Amerika, telah memfokuskan pada isu-isu yang salah dengan mendiskreditkan Trump dan bahkan menjadi blunder bagi Partai Demokrat itu sendiri.
Sebaliknya, di bawah Trump, telah terjadi peningkatan yang terus menerus terutama dalam belanja militer sehingga memampukannya melakukan operasi yang cukup defensif yang dilakukan Pentagon menghadapi tiga lawan utamanya, Cina, Iran dan Korea Utara. Bahkan ketiga negara yang dianggap musuh AS itu hampir dikelilingi oleh sekitar 500 pangkalan militer AS.
Dengan sendirinya, Cina dikelilingi oleh setidaknya 400 pangkalan militer AS yang membentang dari utara Australia, terus melalui Pasifik, melintasi Asia timur dan tengah. Pengepungan Cina ini menyusul pembangunan militer terbesar sejak pertengahan 1940-an, yang melibatkan kapal perang, kapal selam dan pembom, dll. – dilaksanakan oleh presiden Barack Obama pada akhir 2011 silam.
Pada tahun-tahun pasca-1945, kekuatan global AS mencapai titik terendahnya pada akhir kepresidenan George W. Bush pada tahun 2009. Pada saat itu, bahkan Amerika Latin yang dianggap “halaman belakang” melayang jauh dari kendali AS, menyusul munculnya pemerintah sayap kiri dan pembentukan integrasi yang lebih besar di antara mereka.
Namun selama dekade terakhir, sejumlah pemerintahan di Amerika Latin yang condong ke kiri sebagian besar telah menghilang, karena tidak mampu menahan godaan korupsi (terutama di Brasil), juga tidak mampu mendiversifikasi ekonomi mereka jauh dari ketergantungan yang besar pada bahan baku seperti minyak (Venezuela). Negara-negara Amerika Selatan utama lainnya seperti Argentina juga mengandalkan kenaikan harga komoditas, yang merupakan fenomena sementara yang sebelumnya lama mengalami penurunan.
Mantan presiden Venezuela Hugo Chavez mencapai kemajuan sosial yang patut dipuji, sebelum kematiannya pada bulan Maret 2013. Tetapi ia secara keliru tetap bergantung pada ekspor minyak, gagal mengejar inisiatif ekonomi berkelanjutan yang berpusat pada manufaktur atau pertanian, dimana Venezuela memiliki basis pertanian yang berpotensi kaya.
Pengganti Chavez, Nicolas Maduro, jelas memiliki peran sentral dalam krisis yang melanda masyarakat Venezuela. Kondisi kehidupan merosot di Venezuela dan jutaan penduduk negara itu telah melarikan diri. Venezuela sekarang menjadi hampir sepenuhnya bergantung pada industri minyaknya, yang merupakan resep buruk dan membuatnya semakin menderita.
Situasi telah merosot karena penanganan ekonomi Maduro yang buruk, sehingga harus merasakan kegetiran dengan penerapan sanksi yang melumpuhkan, memperburuk luka yang dideritanya sendiri.
Di Venezuela dan di tempat lain, organisasi “kekuatan lunak” Washington seperti Endowment Nasional untuk Demokrasi (NED) telah mendanai kelompok oposisi elit selama bertahun-tahun. Sementara campur tangan AS dalam masalah-masalah Venezuela telah berdampak serius pada negara itu dan menjadi faktor penyebab gejolakdi negara tersebut
Menurut Maduro, sejauh ini ia berhasil menstabilkan posisinya, dan menggagalkan upaya AS untuk menggulingkannya, tetapi dengan memastikan kelangsungan pemerintahannya, ia harus mengatasi sejumlah masalah yang melanda negaranya yang memiliki cadangan minyak terbesar di dunia. Dan potensi cadangan minyaknya yang melimpah ruah itulah menjadi alasan utama mengapa Washington begitu ingin mengusir Maduro.
Selama dekade terakhir di Amerika Latin, pemerintah sayap kanan telah berhasil memanfaatkan kekurangan dari kelompok berhaluan kiri, dengan mendapatkan bantuan dari pemerintahan Obama dan Trump. Pada saat ini, drama baru muncul kembali dengan kuat di Amerika Latin, dimana pada November 2019 telah terjadi pengusiran Evo Morales yang didukung AS di Bolivia. Trump oun secara terbuka memuji aksi tersebut dan memberikan sinyal “kematian” Morales, yang dalam pernyataan Trump sebagai “momen penting bagi demokrasi di Belahan Barat”.
Sudarto Murtaufiq, peneliti senior Global Fututre Institute