Turnkey Project: Modus Perang Asimetris ala Cina

Bagikan artikel ini

Meski masih banyak kekurangan disana-sini, topik asymmetric warfare (peperangan asimetris) pernah diulas panjang lebar baik mengenai sifat, bentuk, sumber, dan lain-lain (baca: Mengenal Perang Asimetris: Sifat, Bentuk, Pola dan Sumbernya) di web theglobal-review. Namun mengawali tulisan tak ilmiah lagi sederhana ini, akan dijelaskan sedikit atau garis besarnya tentang peperangan asimetris guna menebalkan kembali pemahaman bersama.

Definisi perang asimetris, atau peperangan non militer, atau perang nirmiliter hingga kini masih terbilang aneka ragam, walau sebenarnya benang merah makna perang tersebut tidaklah jauh berbeda. US Army War College misalnya, menekankan perbedaan sumberdaya dua pihak yang berkonflik, cara berinteraksi, dan upaya-upaya mengeksploitasi kelemahan lawan; atau versi Dewan Riset Nasional lebih memaknai perang asimetris perihal keterlibatan antara dua aktor atau lebih, dan menyoroti ketidakseimbangan keadaan (para aktor) terlibat peperangan; atau versi Australia’s Department of Defence mengartikan dengan perbedaan tujuan, komposisi pasukan, kultur, teknologi dan jumlah, dan lain-lain.

Global Future Institute (GFI), Jakarta, pimpinan Hendrajit (24/3/2015) mencoba merangkum definisi peperangan asimetris berbasis asumsi ketiga lembaga di atas, juga atas cermatannya selama ini atas praktik-praktik empirik di lapangan, yaitu:
“Perang asimetris merupakan metode peperangan gaya baru secara nirmiliter (non militer), tetepi memiliki daya hancur tidak kalah hebat bahkan dampaknya lebih dahsyat daripada perang militer. Ia memiliki medan atau lapangan tempur luas meliputi segala aspek kehidupan (astagatra). Sasaran perang non militer tidak hanya satu atau dua aspek, tetapi bisa beragam aspek. Ia dapat dilakukan bersamaan, atau secara simultan dengan intensitas berbeda. Sasaran perang asimetris ini ada tiga: (1) membelokkan sistem sebuah negara sesuai arah kepentingan kolonialisme, (2) melemahkan ideologi serta mengubah pola pikir rakyat, dan (3) menghancurkan food security [ketahanan pangan]dan energy security [jaminan pasokan dan ketahanan energi]sebuah bangsa, selanjutnya menciptakan ketergantungan negara target terhadap negara lain dalam hal food and energy security”.

Adapun sumber daripada peperangan asimetris dalam pola kolonialisme yang sering digelar oleh Barat tampaknya selalu merujuk pada Structural Adjusment Programmes (SAPs)-nya International Moneter Fund (IMF) yang meliputi (1) perluas kran impor dan adanya aliran uang yang bebas; (2) devaluasi; dan (3) kebijakan moneter dan fiskal dalam bentuk: pembebasan tarif kredit, peningkatan suku bunga kredit, penghapusan subsidi, peningkatan pajak, kenaikan harga kebutuhan publik.

Inilah sekilas tentang muara/sumber dari peperangan nirmiliter yang sering dihamparkan Barat meski hakiki skema kolonialismenya tetap lestari, yakni mengontrol ekonomi serta menguasai sumberdaya alam (SDA) di wilayah target.

Selanjutnya bentuk asymmetric warfare ada dua model. Pertama ialah “gerakan massa”; dan kedua “Melalui Kebijakan Negara” dimana ciri dan sifatnya yang menonjol adalah non kekerasan. Sekali lagi, itulah gambaran sekilas perang asimetris yang sering dilakukan oleh Barat di panggung kolonialisme. Pertanyaannya kini, “Bagaimana modus perang asimetris yang sering dilakukan oleh Cina?”

Sebelum bicara tentang modus perang nirmiliter yang dikembangkan Cina, sebaiknya membahas secara sekilas dulu perihal kekuatan militernya. Ya, meski kemajuan militer terutama angkatan lautnya cukup signifikan, akan tetapi Cina sebenarnya menghadapi kendala struktural terkait geostrategi militer, kenapa? Betapa sistem pertahanan Cina itu sangat tergantung pada laut lepas, termasuk dalam hal ini pengamanan jalur “energy security”-nya.

Konfigurasi perairannya baik di Laut Cina Selatan maupun Laut Cina Timur sangatlah mudah diblokade pihak luar. Laut Cina Timur contohnya, terbentang di antara wilayah Korea, Jepang dan Taiwan, sedangkan Laut Cina Selatan pada bentangan antara Taiwan, Filipina, Indonesia dan Singapura. Keprihatinan besar Beijing hingga kini adalah rencana blokade oleh AS di Laut Cina yang niscaya akan berdampak langsung terhadap perekonomian secara menyeluruh apabila hal itu terjadi. Barangkali inilah shock and awe (gertak menakut-nakuti) yang dijalankan AS dalam rangka “melemahkan mental” Cina. Belum lagi masalah munculnya ancaman dari Taiwan, Korea Selatan, Philipina, dan lainnya. Makanya, ketika ia beraksi membangun pangkalan militer di Spratly —pulau konflik— berdalih reklamasi mengembangkan sektor sipil, AS pun bereaksi atas rencana tersebut lalu melakukan patroli udara di sekitaran langit Spratly. Inilah sekilas mapping kekuatan militer Cina dihadapkan dengan potensi serta prakiraan ancaman kedepan.

Kembali ke topik di atas, bahwa mengurai modus asymmetric warfare yang dikembangkan Cina —- memang belum ada rujukan pasti, tetapi sebaiknya dilacak dari model kebijakan politik terbaru yang dikembangkan ketika hendak memasuk abad ke 21. Betapa Cina sejak reformasi, menurut Prof. Wang Gung Wu dalam seminar di CSIS, 16 November 1997, mengalami masa transformasi dan konvergensi ke arah kapitalisme yang melahirkan One Country and Two System, yakni sistem negara dengan eloborasi ideologi sosialis/kamunis dan kapitalis. Dengan kata lain, model perekonomian boleh saja bebas sebagaimana kapitalisme berpola mengurai pasar, namun secara politis tetap dalam kontrol negara cq Partai Komunis Cina.

Poin kajian dalam diskusi di GFI menyebut, bahwa titik berat konsep ini adalah swasta pada satu sisi, sedang peran negara diperkecil di sisi lain. Artinya, para pengusaha boleh di depan membuka ladang-ladang usaha-usaha di luar negeri, tetapi ada back up militer (negara) di belakangnya. Itu titik poin konsepsi One Country and Two System yang kini tengah dijalankan oleh Cina di berbagai belahan dunia.

Ciri lain Cina dalam menerapkan reformasi politiknya, jika kedalam ia gunakan ‘pendekatan naga’ terhadap rakyatnya. Sangat keras, tegas, bahkan tanpa kompromi demi stabilitas di internal negeri. Kasus di lapangan Tianamen merupakan bukti nyata, betapa Negeri Tirai Bambu tidak terpengaruh oleh angin syurga demokrasi, HAM, freedom, dll yang digemborkan oleh Barat. Termasuk dalam hal ini adalah hukuman (tembak) mati bagi para koruptor, dan lain-lain. Lalu ketika Cina melangkahkan kaki keluar, tata cara pun diubah, ia menerapkan ‘pendekatan panda’ (simpatik). Sangat bertolak belakang dengan kebijakan internalnya. Menebar investasi misalnya, ataupun “bantuan dan hibah” dalam ujud pembangunan gedung-gedung, infrastruktur, dll sudah barang tentu dengan persyaratan “tersirat”-nya yang mengikat.

Pendekatan panda akan diperdalam pada kajian ini karena merupakan ruh atau jiwa pada model perang asimetris yang sering dikerjakan oleh Cina. Mundur sejenak, apabila sumber peperangan asimetris Barat adalah SAPs-nya IMF sebagaimana diurai di atas tadi, maka modus perang non militer Cina, dugaan penulis adalah Turnkey Project Management. Ia adalah sebuah model investasi asing yang ditawarkan dan disyaratkan oleh Cina kepada negara peminta dengan “sistem satu paket,” artinya mulai dari top management, pendanaan, materiil dan mesin, tenaga ahli, bahkan metode dan tenaga (kuli) kasarnya didropping dari Cina. Modus Turnkey Project ini relatif sukses dijalankan di Afrika sehingga warganya migrasi besar-besaran bahkan tak sedikit yang menikah dengan penduduk lokal. Mereka menganggap Afrika kini sebagai tanah airnya kedua. Timor Leste pun tampaknya demikian, betapa bangunan fisik beberapa kantor kementerian bermotif ala Cina yang katanya hibah dari pemerintahan Negeri Tirai Bambu. Makanya Xanana Gusmao ketika menjabat Perdana Menteri sangat welcome terhadap militer Cina.

Beberapa investasi Cina di Indonesia, sebenarnya telah menerapkan modus ini. Bukan barang baru memang, karena sejak dulu sudah berjalan. Penelusuran GFI, Sinar Mas (Indah Kiat) ketika membangun pabrik pulp dan paper juga menerapkan Turnkey Project. Atau pembangunan pembangkit tenaga listrik di Purwakarta, hampir semua tenaga kerja mulai dari direksi hingga kuli bangunan didatangkan dari negeri Cina. Demikian juga sewaktu pembangunan Lippo Karawachi dekade 1990-an dikerjakan oleh para pekerja Cina, termasuk di Muara Jawa, Kutai Kertanegara, dan lain-lain.

Maka boleh ditebak, bahwa (rencana) pembangunan Terusan Brito di Nikaragua dan Kanal Isthmus di Thailand oleh Cina niscaya menerapkan Turnkey Project Management pula. Artinya bakal ada migrasi besar-besaran warga Cina ke Nikaragua dan Thailand guna mengerjakan proyek spektakuler tersebut sebagaimana yang akan terjadi di Medan, dimana Cina membawa sekitar 50.000 orang tenaga (warga) kerjanya.

Bila investasinya di Medan saja mendatangkan sekitar 50.000-an orang, lalu berapa warga lagi bakal migrasi melalui investasi Cina pada 24 pelabuhan laut, 14 pelabuhan udara dan sekitar 8000-an kilometer jalur kereta api di Indonesia, selain rencana mempererat hubungan bilateral Cina – Indonesia menargetkan pertukaran sepuluh juta warganya dalam berbagai bidang pada dekade 2020-an nanti?

Menurut Direktur Institut Ekonomi Politik Soekarno Hatta (IEPSH), Hatta Taliwang, rencana tersebut berpeluang menimbulkan persaingan budaya antara warga Cina dengan pribumi. Bisa terjadi pertarungan untuk mempertahankan siapa lebih dominan, mengingat jumlah 10 juta jiwa itu bukan sedikit.

Dikhawatirkan hal ini merupakan strategi Cina untuk menguasai Indonesia secara non militer. Secara perlahan ia memasukkan warganya ke Indonesia, kemudian mendesak keluar warga pribumi Indonesia pada peran di sektor-sektor strategis di Indonesia diganti warga Cina. Hingga akhirnya, pemilik Indonesia bukanlah orang-orang keturunan nusantara, tetapi adalah orang-orang Cina.

Mengakhiri tulisan singkat lagi tak ilmiah ini, dengan demikian, jika modus perang non militer ala Barat bersumber dari SAPs-nya IMF, maka sumber peperangan nirmiliter ala Cina tidaklah hanya satu model sebagaimana contoh modus di atas tadi, namun sesuai topik catatan ini salah satu modus asymmetric warfare yang dikembangkan Cina tidak lain dan tak bukan adalah Turnkey Project Management.

Demikian adanya, terimakasih.

Penulis: M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com