Ulah Boneka Malaysia

Bagikan artikel ini

Abdul Mun’im DZ, Wakil Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama

Ketika Indonesia memproklamirkan Kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, berbagai kelompok gerakan di semenanjung Malaya itu minta diajak bergabung dengan Republik Indonesia. Tetapi Kelompok ini ditindas oleh Inggris sampai hilang dari peta politik Malaya, baru kemudian Inggris mendirikan negara Malaysia, yang di sini lebih dikenal dengan Malaysia. Kemunculan Malaysia ciptaan Inggris itu membuat marah Bung Karno karena sebagai sarana imperialis untuk merebut kemerdekaan bangsa-bangsa yang sudah dimerdekakan, sehingga keluar komando ganyang Malaysia, yang dilawan Bung Karno dan rakyat Indonesia bukan rakyat Malaysia, tetapi elit negeri itu yang berkomplot dengan Inggris untuk menancapkan kekuasaannya, termasuk mengganggu kedaulatan negara lain, seperti ketika membantu pemberontakan PRRI Permesta.

Sayang gerakan Bung Karno itu disabut oleh kalangan militer Indonesia sendiri yang secara diam diam berkomplot dengan Malasia-Inggris di sana. Presiden Soekarno dijatuhkan Indonesia pun jatuh terpuruk, dan Malaysia sebuah negeri kecil dengan peradaban masih rendah, dan juga Singapura sebuah daerah kecil yang tidak bisa disebut negeri, menguasai keseluruhan kedaulatan negeri ini. Kaum intelektual dibungkam dengan diberi beasiswa ke universitas terkemuka di dunia. Akhirnya Indonesia menjadi negeri jajah seluruh negara lain, sementara kaum terpelajarnya hanya menjadi buruh. Tidak muncul pemimpin, karena pendidikan dijadikan sarana untuk melahirkan buruh.

Pendidikan karakter (character building) dimusnahkan sehingga tidak ada gerakan pembangunan bangsa (nation building) akhirnya kita tidak menjadi bangsa yang terhormat dan dihormati, tetapi menjadi bangsa yang dihina dan diremehkan oleh masyarakat dunia. Padahal sebelumnya negeri ini sebagai pelopor dunia ketiga yang sekaligus disegani oleh negara-negara adidaya.

Setelah puluhan tahun negeri ini dihina, termasuk dihina oleh negera kecil terbelakang seperti Malaysia baru orang sadar dan membenarkan apa yang telah dilihat Bung karno hampir 50 tahun yang lalu, sehingga saat ini dengan mudah orang mengucapkan doktrin Bung Karno “Ganyang Malasia” .Kesadaran ini sangat terlambat, kerana bangsa ini terlanjur lumpuh otaknya, lumpuh semangatnya, lumpuh cita-citanya, akibat pendidikan modern yang tidak mengajarkan moral dan komitmen sosial, tetapi hanya mengajarkan kemampuan teknis dan oleh kecerdasan, sehingga kaum terpelajarnya tidak ada yang menjadi intelektual apalagi pemimpin mereka hanya  menjadi buruh dan kuli, baik di birokrasi pemerintahan maupun di perusahaan asing.

Sebelum melawan Malaysia, kita harus membenahi dulu mental kita, cara berpikir kita, sistem politik kita, sistem pendidikan kita. Karena semua sistem pemikiran yang kita pakai adalah belenggu, sistem politik kita adalah penjara, sistem pendidikan kita sebagai ajang penipuan. Untuk membangun lagi karakter banagsa maka bangsa ini harus dimerdekaan dulu pikirannya, dengan merombak sistem politik dan model pendidikan. Kalau tidak setiap tahin kita melahirkan ribuan sarjana dana professor, tetapi negeri ini semakin merosot kuaalitasnya. Semakin dilanjutkan sistem pendidikan modern ini akan semakin terjerumus kedalam ketidakpastian.

Mengapa cara ini ditempuh karena jiwa dan semangat kita dilumpuhkan oleh sistem pendidikan yang ada, negara-negara maju seperti Ingrislah yang menciptakan pendidikan seperti ini sebagai bentuk neo iperialisme, dan Malaysia bukan negara merdeka, tetapi sekadar boneka Inggris untuk dimainkan di Asia dana dunia Islam. Karena mereka itu bangsa belum dewasa makanya mudah diprovokasi sehingga menjadi banagsa yang agresif dan tak tahu malu. Akibatnya citra mereka sangat buruk, sebagai bangsa perampok, bangsa pencuri, itu yang terkesan di kalanagan muda dan anak-anak remaja di Indonesia.

Kebencian kalangan remaja Indonesia terhadap Malasia sudah sedemikian dalam. Padahal salah satu di antara mereka akan menjadi pemimpin Indonesia yang akan melanjutkan semangat besar Soekarno, mereka itulah yang nanati akan melumat Malaysia. Ini harus diingat, karenanya, Malaysia harus meneurunkan agresivitasnya, agar tidak menimbulkan generasi Indonesia yang merasa terhina lalau akan melakukan balas dendam. Apalagi Indonesia terlalu perkasa untuk menghadapi Malasia yang kecil. Karena itu Malasia perlu menahan diri agar ke depan tercipta kehidupan yang adamai.

Bagaimanapun perdamaian harus diciptakan, kalau dengan Filipina dan Thailand saja bisa damai berdampingan, tetapi kenapa dengan Malaysia mengalami ketegangan. Tampaknya hubungan keagamaan tidak pernah menjadi pertimbanagan di situ, sehingga ketegangan berlangsung seolah tidak ada titik temu. Memang imperialaisme selalu memacah-belah setiap kekuatan yang dimungkinkan menyatu, karena persatuan adalah musuh utaama imperialisme. Untuk itu negara Kesatuan merupakan musuh utama. Sebab bentuk negeri seperti ini tidak mudah diintervensi.

Pada dasarnya setiap orang setiap bangsa  menghendaki adanya kehidupan yang damai. Tetapi kadang orang lupa bahwa untuk menciptakan perdamaian juga dibutuhkan peperangan seperti kata pepatah civis pacem parra bellum, tanpa adanya kekuatan penekan yang kuat tidak mungkin perusuh bisa ditaklukkan, tanpa adanya penjagaan yang kuat tak mungkin perdamaian diwujudkan. Diplomasi pun hanya bisa dilakukan bila memiliki persenjataan yang lengkap. Itulah harga mahal sebuah perdamaian, karena itu jangan dibuat mainan.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com