M. Arief Pranoto, Research Associate Global Future Institute (GFI)
Alasan pokok berdirinya Organization of Petroleum Exporting Countries (OPEC) ialah demi menstabilkan permintaan dunia atas minyak mentah sekaligus menyatukan pemakaian mata uang US dollar (1971) sebagai alat transaksi. Namun seiring meluasnya pasar, bahwa status stabilisator yang diemban kurang maksimal dijalankan oleh OPEC. Entah kenapa, ada semacam “pergeseran” peran. Pada gilirannya kebutuhan minyak dunia justru tergantung kepada Arab Saudi yang kapasitas produksinya memang terbesar yakni 9,5 juta barel/hari dan masih memiliki kapasitas tambahan produksi 2 juta barel/hari. Ketika muncul rumor bahwa Arab Saudi kini dikendalikan oleh segelintir korporasi minyak global milik asing, tak akan dibahas dalam tulisan ini agar topik tidak melebar.
Ceritanya ketika pemerintah SBY memutuskan keluar dari OPEC (2008), timbul kontroversi disana-sini bahkan sampai sekarang masih ada beberapa analis atau pakar perminyakan yang bersuara lantang soal SETUJU dan TIDAK-nya. Tulisan tidak ilmiah ini mencoba mendekatkan dua pendapat yang sepertinya berbeda tetapi secara hakiki sama, karena kedua cara pandang tersebut merujuk bagaimana empowerment terkait produktivitas suatu kinerja dalam rangka meraih kepentingan nasional lebih besar. Inilah ulasan sederhananya.
Antara Azas Manfaat dan Tersandera
Bagi Widjajono Partowidagdo —salah satu pakar yang tidak setuju— dalam artikel berjudul “Pentingkah Menjadi Anggota OPEC?”, bahwa urgensi Indonesia bertahan menjadi anggota OPEC semata-mata karena “azas manfaat”. Artinya betapa penting nilai manfaat secara profit daripada iuran anggota, terutama faktor kedekatan dengan anggota lain yang nota bene merupakan kelompok kaya minyak dan gas (migas) serta negara banyak uang.
Widjajono memberi analog seorang anak miskin yang ingin sekolah di tempat anak-anak kaya, selain motivasinya ingin menjadi kaya juga supaya dihargai, maka mutlak sang anak miskin harus mempunyai kelebihan di lingkungannya (pintar dan dipercaya). Demikian pula Indonesia, banyaknya ahli perminyakan dipercaya oleh negara lain seperti Malaysia, di kalangan anggota OPEC sendiri, bahkan di negara non OPEC — merupakan cermin “kepiawaian SDM Indonesia” dalam hal migas. Sebagai contoh tatkala Petronas memperoleh dana dari negara-negara OPEC untuk mengoperasionalkan lapangan di luar negeri, yang bekerja justru ahli-ahli dari Indonesia. Kenapa pemerintah tidak mendayagunakan SDM tersebut untuk bekerja di perusahaan migas sendiri baik di dalam maupun di luar negeri?
Bila tetap di OPEC, Indonesia memiliki kesempatan membujuk sesama anggota guna membangun kilang BBM, LNG, LPG dan petrokimia di tanah air dengan dana serta bahan baku murah dari mereka sendiri. Kemudian mempengaruhi anggota OPEC lain untuk menanamkan modal di Pertamina, swasta nasional dan lainnya.
Agaknya pendapat Widjajono tersebut di-counter oleh Dirgo D. Purbo, seorang pakar minyak yang setuju Indonesia keluar dari OPEC. Dalam tulisan berjudul “Indonesia Keluar dari OPEC atas Pertimbangan Geopolitik Energy Security”, Dirgo mengatakan bahwa sewaktu masih di OPEC pun, Indonesia tidak dapat mengantisipasi harga minyak yang dulu sempat menyentuh $ 138 US/barel. Pemerintah hanya bisa terkejut seperti halnya negara pengimpor minyak. Semenjak 2004-2008 Indonesia “tersandera” sebagai anggota OPEC. Betapa kelompok negara OPEC yang disimbolkan “pesta dolar” dari windfall profit (keuntungan tak disangka-sangka) akibat tingginya harga minyak, tetapi nyatanya justru kekurangan. Kondisi dilematis ini berbuntut tidak dimilikinya daya tawar dalam oil diplomacy Indonesia di negara-negara Kawasan Heartland (Asia Tengah dan Timur Tengah).
Memang terdapat empat kriteria anggota OPEC yaitu: (1) negara yang memproduksi secara maksimal, bahkan sudah tidak peduli lagi dengan ketentuan kuota yaitu Libya, Algeria, Iran, Kuwait, Nigeria dan Qatar; (2) negara dengan kapasitas dibawah kuota seperti Venezuela; (3) negara yang masih mempunyai surplus kapasitas produksi di luar batas ketentuan kuota seperti United Arab Emirates (UEA) dan Arab Saudi; dan (4) negara special case adalah Irak dan Indonesia. Posisi Irak tidak lagi dalam kuota, sedang Indonesia merupakan satu-satunya ex OPEC yang kini menjadi net oil importer.
Integrasi Program untuk Kepentingan Nasional
Widjajono menekan pentingnya koordinasi dan integrasi dalam setiap program instansi dan kementerian di Indonesia. Memanfaatkan keanggotaan OPEC bukan hanya domain personel di Sekretariat OPEC saja, tetapi juga tugas dari Kedutaan Indonesia di negara-negara penghasil minyak, termasuk instansi terkait seperti Kementerian Keuangan, Perdagangan, Tenaga kerja, Perindustrian, Kadin, BKPM, Badan Usaha dan lainnya. Artinya selain diperlukan kebijakan dan iklim investasi mendukung, yang pokok adalah integrasi dalam langkah dan program.
Ada keluhan staf di OPEC yang pernah berhasil me-lobby suatu negara OPEC namun tidak berlanjut sebab kurang koordinasi instansi yang berkompeten. Kelakar pun merebak, apabila rombongan pejabat keluar negeri hanya sekedar tindak-tindak (jalan-jalan) tetapi lanjutnya nihil, alias tidak ada tindak-lanjut!
Persoalan apakah keluarnya Indonesia dari OPEC sudah final atau belum, ada usulan agar masuk kembali namun dengan penghematan-penghematan. Antara lain: (1) mengurangi pejabat yang modar-mandir ke Wina; dan (2) evaluasi atas kinerja KBRI di luar negeri sudah optimal atau belum? Contohlah Malaysia. Jumlah kedutaannya di luar lebih sedikit dibanding Indonesia namun diplomatnya efektif, selain mampu menjangkau beberapa negara juga faktor harmonisasi dan koordinasi antar instansi karena memiliki kesamaan visi. Birokrasi di Malaysia lebih bersahabat dengan investor asing sehingga peringkat iklim investasinya pada level medium risk menurut Goldman Sachs (2007), sedang level Indonesia adalah very high risk.
Luas Malaysia juga lebih kecil dibanding Indonesia, para mahasiswanya pun dulu belajar perminyakan di ITB. Mereka meniru production sharing contract Indonesia. Petronas kini banyak mempekerjakan para ahli dari Indonesia. Produksi minyaknya cuma 0,77 juta barel/hari (2007) namun diperkirakan akan mencapai 1,32 juta barel/per hari (2017). Ia bukan negeri pengimpor minyak dan Petronas memiliki lapangan di luar negeri termasuk di negara-negara OPEC sendiri. Dulu Indonesia adalah satu-satunya negara Asia selain Timur Tengah yang menjadi anggota OPEC, namun seiring waktu berjalan tidak menutup kemungkinan Malaysia kelak yang akan masuk.
Masih menurut Widjajono, Ecuador keluar dari OPEC bulan Desember 1992 kemudian masuk kembali Oktober 2007. Produksinya dulu hanya 395 ribu barel/ hari (1995) kini sudah mencapai 510 ribu barel/hari (2007). Ia mengingatkan agar dipertimbangkan lagi putusan keluar dari OPEC, jangan karena menghemat biaya iuran lalu kehilangan potensi dan manfaat besar sebagai anggota OPEC; jangan karena menghemat cost recovery namun tidak melakukan IOR (Improved Oil Recovery) termasuk EOR (Enhanced Oil Recovery) sehingga produksi yang sudah ada di lapangan-lapangan tidak dapat dipertahankan.
Cost recovery meningkat dari $ 5,0 milyar US (2003) menjadi $ 5,9 milyar US (2006) di tengah menurunnya minyak dari 1,146 juta barel/hari menjadi 1 juta barel/hari dan produksi gas relatif tetap 8,3 BSCFPD. Tetapi pendapatan meningkat dari $ 18,2 milyar US menjadi $ 23,1 milyar US serta penerimaan negara meningkat dari $ 10,8 milyar US menjadi $ 23,1 milyar US. Kalau primary recovery biaya produksinya mencapai $ 5 – 10 US/barel namun dengan EOR biaya produksi bisa mencapai $ 20 US/per barel, perlu disadari apabila harga minyak di atas $ 100 US/barel — EOR pun masih menguntungkan.
Namun ada kuat pendapat bahwa keputusan SBY keluar dari OPEC (2008) dinilai sangat tepat, karena keputusan itu mempertimbangkan “geopolitik energi” Indonesia yang merujuk pada Kepentingan Nasional. Kajian Dirgo D. Purbo, keputusan SBY sudah mengakomodir empat hal strategis, antara lain: (1) tidak menghendaki kerjasama Indonesia – Malaysia dalam hal blok (migas) Ambalat. Ambalat merupakan bagian NKRI; (2) tidak menyetujui Defence Cooperation Agreement (DCA) antara Indonesia dengan Singapura karena wilayah yang dikehendaki adalah Natuna yang memiliki kandungan migas dan jalur transportasi migas; (3) tidak memperpanjang kontrak antara Pertamina dan Exxonmobil di Laut Natuna. Kandungan gas alam di kawasan ini sebesar 46,7 tcf; dan (4) tidak lagi menyebut bahwa cadangan minyak Indonesia akan habis 18 tahun lagi, karena sejak tahun 1988 hal tersebut sering dinyatakan secara resmi oleh pemerintah.
Ada tiga elemen pokok dalam menetapkan kebijakan politik terkait energi yakni supply, demand and technology. Sedangkan interchange (keterkaitan) ketiga elemen tersebut mutlak merujuk pada peran sentral “geopolitik” yang memiliki nilai strategis. Adapun pemahaman dan teori geopolitik bisa dirujuk pendapat beberapa pakar pencetus geopolitik, antara lain Professor Friedrich Ratzel (1844-1904) dari German, Professor Rudolf Kjellen (1864-1922) dari Swedish dan Sir. Halford Mackinder (1861-1946) dari British (Inggris).
Ada kesamaan esensi atau substansi teori dari ketiga pakar tadi. Menurut Dirgo D. Purbo, substansi geopolitik adalah sebagai berikut:
“It must be regarded as a science bordering on geography, history, political science and international relations. The politician, the military planner and the diplomat can use geopolitics as a method to analyze how geographical factors can be of importants when planning. Geopolitics as the destiny”
Intinya adalah bahwa kepentingan nasional yang titik beratnya pada pertimbangan geografi, wilayah atau teritorial — karena geopolitik adalah takdir.
Sebagai gambaran, meskipun letak dan kondisi geografis Indonesia berlimpah sumber daya alam dan kaya akan mineral (banyak belum tergali), namun semenjak tahun 2004-an tidak mampu memenuhi kebutuhan konsumsi minyak dalam negeri sendiri. Bandingkan dengan dekade 1970-an ketika Indonesia masih berpenduduk 70-an juta tetapi produksi minyak 900 ribu barel/hari, sedangkan sekarang jumlah penduduk 230 juta tetapi produksi justru 890 barel/hari.
Sesungguhnya sejak diberlakukan UU No 8 tahun 1971 tempo doeloe produksi minyak terus meningkat hingga mencapai 1,7 juta barel/hari, tetapi begitu memasuki era reformasi dekade 1998-an, entah kenapa produksinya mulai declining hingga 900-an ribu barel/hari. Itulah yang terjadi. Beratnya keputusan keluar dari OPEC mengingat kebersamaan sejak 1962-an, namun apa boleh buat — karena tingkat produksi terus menurun maka harus diambil sikap. Kabarnya Indonesia justru menjadi pemicu atas tingginya harga minyak dunia sebab kebutuhan impornya telah mewakili 1% dari konsumsi dunia (85 juta barel/hari). Luar biasa!
Negara Haus Minyak
Keputusan di atas menunjukkan sikap Indonesia, bahwa kini tergolong new emerging country — negara-negara haus minyak seperti Cina, India dan lainnya. Sebagai contoh Cina memiliki produksi 3,5 juta barel/hari dan mungkin bakal terus naik dengan rencana pembangunan dua refinery (tempat penyulingan), maka dengan jumlah impor 3,5 juta barel/hari — konsumsi minyaknya adalah 7 juta barel setiap hari. Ya. Keputusan di atas sekurang-kurangnya telah menyadarkan masyarakat awam, bahwa Indonesia bukan lagi net oil exporter. Pemahaman ini setidaknya membantu pemerintah dalam sosialisasi kenaikan harga BBM manakala harga dunia naik, sekaligus membuka jalan bagi pemerintah untuk mengakomodir program nuklir.
Sewaktu di OPEC dulu (1986), kebijakan menaikan harga BBM pernah dilakukan oleh Orde Baru mengingat harga minyak justru dibawah harga produksi. Harga minyak pada waktu itu berkisar $ 6 – 8 US per barel, sedang biaya produksi mencapai $ 8 – 10 US per barel. Impor minyak Indonesia saat ini adalah 1 juta barel/hari serta ada subsidi BBM berbagai kelompok masyarakat.
Target JK dulu sewaktu masih menjabat Wakil Presiden RI, bahwa 5 tahun lagi (sekitar tahun 2013) Indonesia harus kembali masuk OPEC (Kompas, 30/05/08). Tetapi mungkin mustahil terlaksana bila merujuk data tahun tersebut produksinya berkisar 800 ribu barel/hari, sedang konsumsi mungkin akan mencapai 1,6 juta barel/hari. Kurva antara konsumsi dan produksi niscaya menganga lebar.
Beberapa pemicu borosnya konsumsi minyak di republik ini, selain disebabkan iklim politik, pemilu dan demokrasi model multi partai (51 parpol), banyak dibentuknya komisi-komisi atau lembaga-lembaga ad hock di era reformasi yang membebani APBN namun fungsinya tak jelas, ada jabatan Wakil Menteri dan sebagainya — mungkin juga kemudahan-kemudahan dalam sistem pembelian kendaraan bermotor terutama roda dua, dan banyak lagi yang lainnya.
Telaah Dirgo, begitu Indonesia menyatakan keluar dari OPEC semestinya ada langkah-langkah strategis nasional guna antisipasi. Mungkin tahap awal adalah sosialisasi secara gencar agar diperoleh kesamaan visi guna tetapkan langkah strategis nasional, antara lain misalnya (1) bagaimana meningkatkan stok nasional dari 21 hari menjadi 30 hari, bahkan kalau perlu hingga 60 hari; (2) membuat iklim investasi migas yang lebih kondusif; (3) merumuskan strategi untuk tidak memperpanjang kontrak ladang minyak atau gas yang masih produksi; (4) menggalakkan alternatif BBM seperti biofuel dan lainnya.
Tujuh Rekomendasi
“If you would understand world geopolitics today, follow the oil (Deep Stoat).
Menaksir pandangan beberapa pakar di atas, lalu merujuk kajian Deep Stoat terhadap negara-negara maju agar menempatkan aspek minyak sebagai agenda “kepentingan nasional”, maka rekomendasi yang diberikan adalah sebagai berikut:
Pertama, keputusan Indonesia keluar dari OPEC oleh Presiden SBY dinilai tepat dan strategis karena mempertimbangkan kepentingan nasional yang lebih besar serta jauh kedepan terkait kedaulatan NKRI;
Kedua, perlu dibuatkan paradigma nasional bahwa minyak merupakan “kepentingan nasional” yang tidak boleh dibawahi sektor lain, dengan demikian setiap instansi dan institusi manapun wajib mengamankan, menyamakan langkah dan persepsi di bidang perminyakan dibawah kendali Kementerian ESDM;
Ketiga, peningkatan peran diplomat Indonesia khususnya di negara-negara OPEC dalam hal lobby dan keberhasilan guna menarik investasi asing dengan kontrak serta sistem kerja saling menguntungkan kedua belah pihak;
Keempat, guna menginspirasi pemerintah untuk memulai eksplorasi dan eksploitasi ladang-ladang baru yang belum tergali dengan sistem kontrak saling menguntungkan dengan pihak investor, dan tidak memperpanjang kontrak ladang minyak atau gas yang masih produksi;
Kelima, sebagai pemicu pemerintah dan masyarakat untuk senantiasa mengembangkan alternatif BBM dan membuka program nuklir, serta mengembangkan iklim usaha yang kondusif bidang perminyakan;
Keenam, perlu dikaji ulang sistem politik, model demokrasi, otonomi daerah dan sistem tata negara lain (banyak komisi dan lembaga ad hock) di era reformasi yang justru memicu borosnya APBN negara namun tanpa hasil yang signifikan pada kepentingan nasional;
Ketujuh, perlu dibuat skenario kebutuhan energi Indonesia oleh Kementerian ESDM secara komprehensif dengan melibatkan praktisi (pelaku usaha), masyarakat, penegak hukum dan pakar perminyakan baik jangka pendek, menengah dan jangka panjang dengan merujuk kepada kepentingan nasional RI.
Demikianlah adanya, demikian sebaiknya.
(Dari berbagai sumber)