Hendrajit, Pengkaji Geopolitik Global Future Institute (GFI)
(Terms of Reference Seminar Terbatas Global Future Institute Akhir Agustus 2018)
Menyusul terbongkarnya proyek NAMRU-2 AS di Indonesia berkat keberanian dan kegigihan Menteri Kesehatan RI Siti Fadila Suparti pada 2008 lalu, berbagai upaya dilakukan pemerintah Amerika Serikat agar proyek NAMRU-2 AS bisa dilanjutkan melalui berbagai cara.
Pada 2012 lalu, Global Future Institute sempat melansir sebuah informasi dari lingkar dalam pemerintahan Presiden SBY bahwa Indonesia, dalam hal ini Kementerian luar negeri, sedang mempersiapkan sebuah nota kesepakatan baru dengan pihak pemerintah Amerika Serikat mengenai keberlanjutan proyek Namru-2 di Indonesia.
Kesepakatan baru Indonesia-Amerika itu pada intinya akan mengizinkan kembali proyek Namru-2 di Indonesia. Amerika menurut informasi sumber internal Departemen Luar Negeri, Amerika mendesak Indonesia untuk membuka kembali proyek penelitian Namru-2 dengan dalih semakin menyebarnya Virus HINI sebagai penyebab flu babi di dunia, sehingga keberlanjutan penelitian Namru-2 dalam bidang penyakit menular semakin penting untuk dibuka kembali di Indonesia.
Sekadar menyegarkan kembali ingatan kita, Namru-2 atau Naval Medical Research Unit 2, adalah unit kesehatan angkatan laut Amerika Serikat yang berada di Indonesia untuk mengadakan penelitian mengenai penyakit menular. Namun keberadaannya dinilai tidak terlalu memberikan manfaat kepada Indonesia.
Menurut investigasi yang mulai dilakukan Hendrajit pada 2007, yaitu sekitar sebelum menteri Kesehatan Siti Fadila Supari menghentikan aktivitas Namru-2 AS di Indonesia, terungkap bahwa laboratorium penelitian Namru-2 yang berlokasi di Jalan Percetakan Negara, Jakarta Pusat telah menjadi markas terselubung intelijen angkatan laut Amerika dalam pengembangan senjata biologis pemusnah massal.
Paralel dengan itu, penyebaran penyakit menular ketika itu, seperti flu burung, pada hakekatnya merupakan penyakit hasil rekayasa yang ditujukan sebagai kelinci percobaan.
Meskipun Hendrajit waktu menulis kali pertama tentang Namru-2 AS masih pada taraf eksplorasi, namun sudah jelas adanya indikasi kuat bahwa keberadaan proyek Namru-2 AS dan keterlibatan intelijen angkatan laut Amerika Serikat telah memicu kecurigaan berbagai kalangan pemerintah.
Bahwa Amerika telah melanggar kedaulatan wilayah RI karena telah menggunakan fasilitas yang diberikan Departemen Kesehatan untuk tujuan-tujuan terselubung yang tak ada kaitannya dengan pembangunan dan pengembangan bidang kesehatan di Indonesia.
Baca juga artikel Hendrajit pada 2007 yang bertajuk : Misteri “Virus” NAMRU-2 AS
Dan Januari 2014 bertajuk:
Proyek NAMRU-2 AS Jangan Sampai Terulang Kembali di Indonesia (Bagian I)
Hal ini semakin dipertegas oleh Menteri Kesehatan Fadila Supari bahwa Namru-2 tidak memberikan manfaat apapun kepada bangsa Indonesia. Terbukti pengetahuan tentang penyakit menular seperti TBC dan demam berdarah yang dimiliki para dokter Indonesia malah justru mandek dan tidak ada perkembangan kemajuan.
Lebih lanjut pihak Amerika mengakui bahwa Namru-2 telah memberikan pelatihan dan peralatan bagi Departemen Kesehatan untuk meneliti wabah demam berdarah di Palembaang, Yogyakarta, Medan, Jakarta dan Bandung. Namun, temuan pada 2007 mengungkap adanya indikasi keterlibatan operasi intelijen angkatan laut Amerika untuk pengembangan senjata biologis dengan berkedok sebagai penelitian mengenai penyakit menular.
Sebuah investigasi yang diprakarsai oleh Hendrajit pada 2007 lalu baru menjadi pemberitaan berbagai media massa nasional Indonesia setahun kemudian. Terbukti pada 2008 Menteri Kesehatan Supari secara resmi menutup semua kegiatan proyek Namru-2 di Indonesia.
Sayangnya, di kalangan jajaran pemerintahan maupun elit politik Indonesia ketika itu seoertinya tidak mempunyai pandangan dan sikap yang sama terhadap keberlanjutan proyek Namru-2 di Indonesia. Maka itu sangat menarik ketika pada 19 Februari 2009, Wakil Ketua DPR-RI Sutarjo Suryoguritno melayangkan surat kepada Menteri Luar Negeri Ri yang berkategori “penting” dan “segera.”
Isi surat tersebut dibuat berdasarkan audiensi Komisi I DPR pada 5 Februari 2009 kepada Asosiasi Pegawai Indonesia di Namru-2. Surat tersebut pada intinya:
1. Agar pemerintah mmpercepat penyelesaian perundingan MOU Namru- dengan prinsip saling menguntungkan dan menutup celah yang mengandung potensi merugikan kepentingan nasional.
2. Selama perundingan berlangsung, agar seluruh kegiatan Namru-2, khususnya bidang penelitian/pelatihan kesehatan, tetap dilaksanakan dengan terus memberdayakan dan meningkatkan profesionalisme dan peneliti Indonesia.
3. Agar pemerintah cq Departemen Luar Negeri memperpanjang izin tinggal dan bekerja bagi para peneliti Amerika di Namru-2 sampai ada ketentuan lain-lain yang dihasilkan dari perundingan MOU tersebut.
Dari surat DPR kepada Menteri Luar Negeri tersebut, sungguh mengkhawatirkan. Sebab itu berarti DPR telah memperhadapkan kebijakan Menteri Kesehatan versus Menteri Luar Negeri.
Hal ini bisa terjadi karena ada beberapa anggota DPR Komisi I dari Partai Golkar yang mewakili pandangan bahwa keberadaan Namru-2 di Indonesia tidak ada masalah.
Salah satunya adalah Theo Sambuaga, Ketua Komisi I DPR. Menurut Theo, DPR tidak khawatir penelitian Namru-2 merugikan Indonesia. Karenanya, DPR melalui surat kepada Menteri Luar Negeri meminta perundingan kerjasasama antara Indonesia dan Amerika segera diselesaikan dan menutup celah-celah dari perjanjian yang bisa merugikan.
Jelaslah sudah, bahwa ada elemen-elemen politik di DPR yang sedang berkonspirasi dengan beberapa menteri kabinet, antara lain Menteri Luar Negeri Hasan Wirayuda, untuk membatalkan kebijakan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari menutup semua kegiatan Namru-2 AS di Indonesia.
Bisa dimengeri jika Menteri Kesehatan sangat menyesalkan surat Wakil Ketua DPR RI kepada Menteri Luar Negeri tersebut.
Namun tidak semua anggota DPR Komisi I sependapat dengan Theo Sambuaga. Tosari Wijaya, salah seorang anggota Komisi I DPR, berpendapat Namru-2 sebaiknya ditutup saja karena tidak bermanfaat bagi Indonesia. Buktinya, ketika pemerintah Indonesia mengeluhakn penyakit tuberkulosis, Namru-2 justru meneliti penyakit malaria.
Jadi, meski Tosri setuju dengan pengiriman surat DPR-RI kepada Menteri Luar Negeri, semangatnya berbeda dengan Theo Sambuaga yang cenderung setuju dengan dibukanya kembali Namru-2 di Indonesia. Tosari dengan dalih tidak adanya manfaat nyata bagi pengembangan pengobatan baru di Indonesia dalam bidang penyakit menular, lebih setuju untuk menutup dan menghentikan seluruh proyek Namru-2 AS di Indonesia.
Belajar dari pengalaman pahit pada 2009 lalu, sudah seharusnya para pemimpina Indonesia, khususnya dari Kementerian Kesehatan maupun Kementerian Luar Negeri bersepakat dan bersatu-padu untuk menolak kesepakatan baru Indonesia-Amerika Serikat mengenai keberadaan Namru-2 AS di Indonesia.
Apalagi sebagaimana terbukti kemudian, pada kenyataannya Indonesia justru akan dirugikan dengan melalui kerjasama RI-AS dalam proyek Namru-2 tersebut.
Maka dari itu, berbagai komponen bangsa terutama stakeholders kebijakan luar negeri maupun kesehatan, hendaknya semakin meningkatkan intensitas kewaspadaannya terhadap berbagai upaya pemerintah AS untuk menghidupkan kembali proyek NAMRU-2 atau proyek dengan nama lain namun pada hakekatnya sama dengan NAMRU-2. Yaitu menjadikan laboratorium penelitian penyakit menular sebagai kedok dari operasi intelijen asing yang bukan untuk tujuan pengembangan temuan-temuan baru mengatasi berbagai penyakit menular di bidang kesehatan. Melainkan untuk tujuan-tujuan militer asing seperti AS.
Maka dari itu, secara khusus, kami dari Global Future Institute mencermati dengan seksama keberadaan AFRIMS, The Armed Forces Research Institute of Medical Services. Yang ditengarai sebenarnya merupakan proyek yang sama persis dengan NAMRU-2.
Informasi ini, meski masih perlu eksplorasi dan investigasi secara lebih mendalam, tentu saja sungguh mengkhawatirkan. Apalagi ketika proyek AFRIMS ini menurut informasi yang berhasil dihimpun tim riset Global Future Institute, sudah menyebar ke beberapa negara di kawasan Asia Tenggara seperti Vietnam, Laos, Singapura, Thailand dan Filipina.
Dalam kemungkinan penyebarannya di Indonesia, nampaknya hal inipun harus segera dilakukan beberpaa langkah pencegahan. Mengingat kenyataan bahwa pada 2012 lalu, pemerintah Presiden SBY dan pemerintah AS telah mengadakan nota kesepakatan untuk membuka kembali proyek NAMRU-2 AS.
Berdasarkan kerangka kerjasama seperti itu, mungkinkah NAMRU-2 AS sebenarnya sudah dilanjutkan kembali di Indonesia dengan menggunakan skema AFRIMS tersebut di atas?
Berdasarkan kerangka pemikiran dan analisis di atas, maka Global Future Institute bermaksud menyelenggarakan Focus Seminar terbatas membahas tema tersebut. Dengan melibatkan berbagai stakeholders kebijakan luar negeri, kesehatan, beberapa lembaga swadaya masyarakat, perguruan tinggi, lembaga-lembaga kajian strategis, maupun media massa.
Adapun rencana seminar terbatas tersebut akan kami selenggarakan pada akhir Agustus 2018, di Jakarta.