Waspadai Lebensraum dan Frontier Asing Di Pilkada Kota Batu

Bagikan artikel ini
Kajian Kecil Geopolitik
Dalam geopolitik terdapat 4 (empat) dimensi, antara lain: 1 dimensi/teori ruang; 2 keamanan negara dan bangsa; 3 politik kekuatan; dan 4 dimensi frontier. Praktik penerapan keempat dimensi oleh pihak asing di sebuah negara target, misalnya, bisa membahayakan Kedaulatan Negara yang bersangkutan bila tanpa antisipasi sama sekali. Ada beberapa contoh di bawah nanti. Nah, terkait judul kajian ini, penulis hendak mengurai dua dimensi saja (dimensi ruang dan frontier) sedang lainnya abaikan dulu.
Menurut Frederich Ratzel (1844-1904), geopolitik adalah ilmu negara. Science of the state. Ia mengkaji timbul tenggelamnya negara. Dari aspek geopolitik, negara ialah organisme yang lahir, hidup, berkembang, mempertahankan hidup, menyusut, lalu mati. Dinamikanya tak lepas dari hukum alam. Survival of the fittest. Hanya bangsa unggul yang mampu bertahan hidup. Apabila ruang sudah tidak mencukupi, maka ruang hidup dapat diperluas dengan cara mengubah batas-batas negara baik secara damai maupun perang. Termasuk ruang hidup yang dianggap sudah tidak memiliki nilai strategis, ia bisa dicampakkan.
Terkait timbul tenggelamnya negara di atas, ada beberapa contoh, Uni Soviet misalnya, ia ‘mati’ saat Perang Dingin (Cold War). Pecah berkeping – keping di satu sisi, namun membidani beberapa negara baru pada sisi lain. Atau, Sriwijaya dan Majapahit yang tinggal sejarah masa lalu. Keduanya punah, tetapi melahirkan kerajaan dan negara baru di bekas wilayahnya.
Singkat cerita, inti geopolitik adalah (teori) ruang atau living space, atau kerap dikenal dengan istilah lebensraum (ruang hidup). Teori ini dilandasi pemikiran strategis: “manusia butuh negara dan negara butuh ruang hidup”. Cina contohnya, bahwa program Belt and Road Initiative (BRI) semata-mata karena faktor menyempitnya ruang hidup akibat ledakan demografi dan lapangan kerja di internal negaranya. Ya. Cina meluaskan ruang hidupnya via BRI. Lalu, Sub Program BRI pun dibuat variasi, misalnya, ada the Digital Silk Road, ada sub transportasi dan infrastruktur, Health Silk Road, sub jalan dan rel kereta api, the Maritim Silk Road dan seterusnya dimana payung besarnya adalah Jalur Sutra (Maritim) Abad Ke-21. Inilah contoh dimensi ruang yang dikembangkan Cina pada era Xi Jinping di kawasan Asia Pasifik, Afrika, dan Eropa demi bertahan hidup (bangsa unggul). Entah program BRI tersebut disebut sebagai konektivitas jalur perdagangan, transportasi, atau kolonisasi nirmiliter, ekspansi dan lain-lain, sah-sah saja karena geopolitik adalah ilmu negara.
Sekarang membahas dimensi frontier dalam geopolitik. Frontier ialah batas imajiner pengaruh pusat terhadap daerah akibat pengaruh asing di wilayah. Awal pengaruh asing biasanya dimulai dari budaya dan ekonomi sebagaimana terjadi di beberapa wilayah perbatasan. Jika dibiarkan berlarut tanpa antisipasi oleh pusat, ia dapat berubah menjadi pengaruh politik lalu berujung pisahnya wilayah tersebut dari negara induk (pusat). Timor Timur dan Sipadan – Ligitan bisa dijadikan contoh. Lepasnya kedua wilayah tersebut merupakan bukti atas pembiaran frontier di NKRI meski kronologi dan modus tidak sama. Itu singkat poin intinya.
Hari ini, tersaksikan banyak varian frontier yang justru kita ciptakan sendiri. Entah culpa atau faktor dolus karena ‘londo ireng‘. Misal, selain penyewaan pulau-pulau ke asing, pembuatan pulau reklamasi, pembiaran atas munculnya koloni pengungsi Ukraina di Bali (baca: Waspadai Raksasa Asimetris di Bali), juga paling aktual lagi unik ialah varian frontier melalui pemilihan kepala daerah (Pilkada). Lho, ini menarik!
Ya. Varian frontier lewat Pilkada itu contohnya seperti apa?
Dekade 2021-an lalu, jagat politik Indonesia sempat gempar oleh isu Warga Negara Asing (WNA) terpilih sebagai Kepala Daerah di Kabupaten Sabu Raijua, Nusa Tenggara Timur (NTT). Heboh luar biasa. Entah faktor money politics, ataupun lemahnya seleksi, jangan-jangan justru ‘cek ombak’ oleh pihak asing? Atau, dampak dari UUD NRI 1945 Produk Amandemen (1999-2002) sehingga WNA bisa lolos, bahkan menang dalam Pilkada. Syukurlah kasus di NTT itu akhirnya batal demi hukum.
Retorikanya ialah, apa yang akan terjadi seandainya WNA tadi menjadi Bupati; siapa berani menjamin bahwa ia lebih pro rakyat yang notabene pemilihnya daripada kepada entitas yang berasal dari negara dimana ia sebagai warga negara? Inilah frontier yang lahir dari rahim Pilkada Langsung alias one man one vote, produk UUD hasil amandemen (1999-2002).
Agaknya, isu unik di NTT silam bisa jadi terulang lagi dalam Pilkada 2024 di Kota Batu, Jawa Timur, apabila tidak ditangani secara cermat lagi optimal. Apa pasal?
Konon, ada sosok putri daerah yang telah menikah dengan WNA, dan ia mencalonkan diri sebagai bakal calon (balon) Walikota Batu. Memang agak beda kasus. Kalau di NTT balonnya memang WNA, sedang di Batu — suaminya yang WNA. No problem. Namun, bagi penyelenggara Pilkada di Batu wajib mewaspadai hal itu. Pertimbangannya bukan soal boleh atau tidak, sah atau tidak sah — bahwa terkait tingginya kerawanan frontier dan praktik lebensraum oleh asing pada beberapa contoh kasus di atas, kita harus waspada. Berpijaklah pada diktum politik hukum universal: “solus populi suprema lex esto” (keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi). Keselamatan rakyat ialah segala-galanya atas nama Kewaspadaan Nasional.
Demikianlah adanya, demikian sebaiknya.
M Arief Pranoto, Pengkaji Geopolitik Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com