Waspadai Raksasa Asimetris di Bali

Bagikan artikel ini
Catatan Frontier dalam Geopolitik
“Dalam kisah pewayangan, raksasa digambarkan sebagai sosok yang besar, jahat lagi ganas, dan mampu merusak lingkungan. Jangankan perbuatan secara simetris (fisik)-nya, sedang debu-debunya ketika ia melangkah mampu menimbukan ‘kelilipen’ bagi warga sekitarnya. Nah, tampaknya ada ‘raksasa asimetris’ sedang tidur di Bali”.
Pencanangan tiga krisis global oleh Sekjen PBB Antonio Guterres akibat dampak konflik Ukraina berupa krisis energi, krisis pangan dan krisis finansial, mungkin belum dirasakan secara penuh di negeri kita. Kendati di beberapa daerah, sudah mulai ‘teriak’ kelangkaan energi (BBM). Memang. Tidak sedikit antrian BBM mengular, bahkan harga eceran di daerah mulai merangkak khususnya wilayah perbatasan dan pulau terluar akibat sulitnya transportasi.
Bagi negara-negara yang terlibat konflik antara Ukraina versus Rusia baik langsung (Ukraina sendiri) maupun secara tak langsung (Amerika/AS, Inggris, dan NATO) bahwa krisis global sudah terasa bagi warganya.
Di Jerman contohnya, stok bahan makanan di toko-toko mulai menipis; ketersediaan obat di apotik dan rumah sakit mulai terbatas; antrian BBM mengular bahkan sampai (berebut) berkelahi hanya untuk membeli. Belum lagi sulitnya mencari tenaga kerja. Banyak hotel beroperasi tetapi sedikit tenaga pengawak. Meski mereka —para manajemen hotel— sudah memasang iklan dengan berbagai insentif guna menarik pekerja, namun minat warga tidak beranjak. Entah kenapa. Belum lagi memasuki musim dingin di UE dan sekitarnya, mulai ada pengurangan daya listrik. Penggunaan listrik dibatasi hanya sekian derajat di level konsumen.
AS pun terdampak. Di negeri superpower tersebut, kaum gelandangan terlihat merebak serta menjadi pemandangan sehari-hari di perkotaan. Inflasi yang terus naik bahkan cenderung stagflasi, tak bisa dibendung dengan beragam teori.
Tercatat ada 5 Perdana Menteri (PM) mundur yaitu PM Estonia, PM Bulgaria, Italia dan khusus Inggris, sudah dua kali PM-nya undur diri dalam hitungan bulan.
Tidak boleh dipungkiri, penyebab mundurnya para PM di atas selain akibat konflik internal di lingkar kekuasaan, juga yang paling utama karena keliru kebijakan terkait konflik Ukraina serta gagal meredam krisis global. Unjuk rasa warga merebak menuntut kinerja elit dan rezim kekuasaan dalam mengatasi krisis global. Maka, sebagai konsekuensi serta tanggung jawab moral politik, para PM di empat negeri dimaksud pun mengundurkan diri.
Tak bisa dibayangkan, bagaimana keadaan rakyat di wilayah yang terlibat langsung (head to head) dalam konflik. Ya. Padamnya listrik di Kiev, ibukota Ukraina, dalam beberapa hari kemarin merupakan potret kecil betapa parahnya kondisi masyarakat akibat peperangan militer secara terbuka. Tidak terbayang jika padamnya listrik saat musim dingin dimana warga berjuang melawan ganasnya (salju) alam.
Jumlah pengungsi pun tak terkira. Warga mencari wilayah aman dari terjangan peluru nyasar. Pengungsian baik di dalam negeri maupun ke luar negeri pun terus bertambah. Mereka membentuk koloni-koloni guna menyelamatkan diri. Di Tabanan, Bali, contohnya, terdapat koloni pengungsi dari Ukraina ‘membeli’ tanah hingga ratusan (200-an) hektar. Walaupun ada blokade dalam sistem finansial oleh otoritas global akibat perang sanksi, mereka gunakan uang kripto (crypto currency).
Mereka membangun kompleks hunian; membangun helipad untuk evakuasi jika keadaan berubah genting; membuat lumbung pangan melalui cara menanam apa-apa yang diperlukan untuk hidup. Dan tak dapat disangkal, memang, koloni Ukraina ini juga membantu desa-desa sekitar guna men-support ‘keperluan’ mereka.
Nyaris tidak ada yang ditakuti kaum koloni selain krisis energi dan pangan sebagaimana mereka alami di negeri asal (Ukraina).
Dan agaknya, kebijakan second home visa selama 10 tahun bagi WNA ekonomi menengah ke atas dianggap berkah besar bagi para pengungsi Ukraina. Tetapi, apakah kedatangan ‘raksasa asimetris’ ini juga berkah atau musibah bagi kedaulatan Indonesia? Inilah isu strategis yang timbul akibat konflik Ukraina dan krisis global.
Perang Ukraina versus Rusia belum dapat diprediksi kapan selesai. Apakah 1 tahun lagi, 2 tahun lagi, 3 tahun, 4, 5, atau 6 tahun ke depan. Masih gelap. Unpredictable. Sebab, Zelensky cuma proxy agent bagi kepentingan Barat. Boneka. Ia tak bisa membuat dan mengeksekusi kebijakan sendiri. Dan Ukraina cuma medan tempur (proxy war) belaka. Oleh karena, hakiki yang bertempur ialah Barat versus Rusia.
Seyogianya negara (kita) menyikapi dampak-dampak krisis global agar dapat diminimalisir. Mengapa? Konflik Ukraina belum ada tanda-tanda akan berakhir, bahkan tensinya cenderung naik. Gelombang pengungsi dalam bentuk koloni-koloni niscaya bakal bertambah dan terus meningkat pada satu sisi, sedang di sisi lain, kebijakan second home visa seperti karpet merah bagi raksasa asimetris.
Dikhawatirkan, ketika bangsa ini tenggelam dalam kebisingan copras-capres, justru seusai hajatan Pemilu 2024 beserta efeknya, jangan-jangan raksasa asimetris sudah beranak-pinak di pekarangan NKRI. Frontier menebal serta meluas di Bumi Pertiwi.
Ya. Frontier adalah batas imajiner pengaruh pusat terhadap daerah akibat pengaruh asing di wilayah. Awalnya, pengaruh asing berbentuk budaya dan ekonomi. Jika dibiarkan oleh pusat, ia bisa berubah menjadi pengaruh politik, dan bisa berujung pisah dari negara induk. Sipadan Ligitan misalnya, atau Timor Leste, merupakan realitas frontier yang menebal di NKRI, dibiarkan, akhirnya lepas. Sayonara. Itu poin intinya. Kendati modus dan kronologis keduanya (Timor Leste dan Sipadan Ligitan) berbeda.
Hari ini, kita masih menyaksikan munculnya frontier-frontier baru yang justru diciptakan sendiri oleh para elit kekuasaan melalui kebijakan, misalnya, penyewaan pulau-pulau kepada asing atas nama investasi dan industri pariwisata berdalih daripada pulau kosong; visa menetap dalam jangka lama, dan berbagai insentif lain guna menarik minat investor.
Nah, raksasa asimetris di Bali itu ibarat embrio frontier di negeri ini. Coba bayangkan, baru satu koloni pengungsi saja mampu ‘membeli’ 200-an hektar, bagaimana kalau muncul koloni ke-2, ke- 3, 4, 5 dan seterusnya. Mungkin, nantinya Bali tinggal secuil. Waspada!
End
M Arief Pranoto, Pengkaji Geopolitik Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com