Setelah Teknik Lalu Apa?

Bagikan artikel ini

Jokosaw Koentono, pegiat budaya

Dunia kesenian, dalam hal ini seni rupa, tidak pernah berhenti melangkah. Di Nusantara, dasar-dasar kesenirupaan yang diberlangsungkan justru bermula dari gairah perayaan ornamentasi dan pengkayaan simbol-simbol.

Di benua Eropa, seni rupa dua dimensi lebih merangsang pemikiran -pemikiran dibanding tiga dimensi. Setelah era Rococo dan romantisme, berangsur, para pelukis di sana menggambar cahaya, menggambar perspektif, penangkap pemandangan alam dan keseharian, alam benda, mengalternatifkan gaya impresionisme, penyederhanaan / dan penggayaan bentuk, kubisme, geometrik, abstrak, abstrak figuratif, dekoratif, abstrak dekoratif, hyper realism dan seterusnya.

Sampai tahun 1960-an di Indonesia masih terjebak pada pengembangan gaya-gaya dan demonstari teknis. Hal ini memenjara kampus-kampus serta pedagogi kesenirupaan sampai di tingkat perkumpulan. Hanya PERSAGI dan LEKRA yang menolak seni berhenti sebagai seni. Adapun ITB, meskipun matang dari sisi filsafat, matematika nirmana dan ilmu bahan tetap, karena tidak dilengkapi ilmu penciptaan / teori kreativitas, yang terjadi kemudian, sebagai institusi, hanya memproduksi pengulangan-pengulangan. Hal serupa – dalam kecenderungan kekaryaan berbeda – dialami ASRI / ISI Yogyakarta.

ITB Bandung dan ASRI / ISI Yogyakarta, di sini, pantas diketengahkan punya peran besar di dalam mencetak senimzn rupa Indonesia. Membedakan keduanya, ITB lebih menekankan semangat modernitas, rasional kreatif dan penguasaan teknik. Adapun kubu ASRI / ISI selain pernah bersemangat melanjutkan semangat perayaan ornamentasi dan simbol-simbol lebih mengutamakan aspek ekspresi, ‘jebrut‘, ‘jebretan‘ atau ‘seni mak crot‘.

Apapun, persoalan mana yang perlu mendapat perhatian lebih di dalam berolah seni, kiranya tidak bisa disikapi secara dikotomikal. Penguasaan teknik dan sofistikasi pemikiran tentu kurang lengkap bila tidak diimbangi daya ekspresi. Sebaliknya, penyakralan daya jebrut, aspek ekspresi, kebebasan berdaya ucap seni yang tidak diimbangi penguasaan teknik (penyampaian) dan sofistikasi gagasan serta ide-ide, sangat mungkin, itu akan menghambat munculnya invensi-invensi.
Menurut saya, gelombang kesenirupaan Indonesia saat ini, dimulai munculnya generasi 80 dan 90, berlangsung terus sampai era 2000-an telah memasuki era ‘anggula wentah’ pemikiran dan ide-ide kontemporerisasi dan pencarian hal-hal baru.

Dunia teknik sudah berakir. Saat ini aspek konsep, tawaran pemikiran dan ide-ide menjadi lebih penting dibanding sekedar penguasaan cara-cara (teknik) penyampaian. Sulit dan tidak lagi relevan memperuncing kutub pembeda antara ITB Bandung dan ASRI / ISI Yogyakarta kecuali sekedar menjadikannya bisik-busik mengenai kecenderungan metodologi pengajaran serta aspek lingkungan infrastruktur sosial – budaya di mana keduanya berada.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com