Devide et Impera (Kembali) di Indonesia?

Bagikan artikel ini

Hiruk-pikuk dan gempita sosial politik di negeri ini memang terlihat glamour lagi mewah, namun kalau ditelusuri, bahwa kegaduhan tersebut hampir tidak bermakna apa-apa, terutama bila dikaitkan dengan kepentingan nasional Indonesia.

Bahkan kalau dicermati secara jeli bahwa kegaduhan tersebut tidak menyentuh sama sekali ke (solusi) permasalahan bangsa. Contohnya, ketika persoalannya adalah rupiah anjlok di mata US Dollar dan berdampak langsung meningkatnya jumlah utang, tetapi topik yang diviralkan justru tentang Banser; atau Indonesia kini dirundung soal impor berlimpah, sehingga menggerus devisa dan merugikan petani, namun yang digebyarkan malah isu politik identitas; ketika kita tengah menghadapi lapangan kerja sempit di satu sisi, sementara TKA membanjir di sisi lain, tetapi publik dihebohkan soal isu korupsi, anti-ini, anti-itu dan lain-lain. Inilah demonologi politik yang kurang nyambung. Pertanyaan selidik pun muncul, “Apa yang sesungguhnya terjadi dan siapa diuntungkan dengan ketidaksambungan dan keterbelahan sosial seperti ini?” Juga, hal-hal di atas termasuk isu sentimen di Garut yang tengah viral.

Ya setiap rezim pasti punya modus dan cara demonologi politik, apa itu? Yaitu rekayasa sistematis untuk memproduksi “sesuatu” di masyarakat. Dan sesuatu itu bisa berujud musuh bersama (common enemy) untuk memicu nasionalisme, atau cuma pengalihan isu belaka, ataupun memproduksi rasa takut, kekhawatiran, kecemasan, dan lain-lain. Tetapi, substansi demonologi politik ialah untuk mengalihkan kegagalan dan atau menutupi kelemahan sebuah rezim. Itu inti poinnya.

Di zaman Bung Karno, misalnya saat Orde Lama diciptakan isu neo-imperialis, neo-kolonialisme dan seterusnya sebagai musuh bersama. Rakyat gempita menyambutnya karena selaras dengan aspirasi usai penjajahan dan melupakan persoalan bangsa. Demonologi politik, lalu kemudian isu tersebut relatif berhasil, karena selain rakyat melupakan aspek ekonomi yang tengah melilit, juga bangunnya kembali rasa cinta tanah air.

Di era Pak Harto pun demikian. Isu yang digebyarkan tentang komunisme, isu subversif, dan sebagainya. Hal ini juga tergolong sukses, sebab rakyat lupa akan militerisme, sikap represif dan otoritarian yang dijalankan rezim Orde Baru. Nah, di era kini tampaknya kurang nyambung, karena antara hal yang dihadapi rakyat (permasalahan bangsa) dengan demonologi politik yang dikembangkan kurang singkron. Tidak pas. Misalnya, naiknya harga kebutuhan publik, impor menggila, daya beli menurun, rupiah anjlok dan lain-lain. Sementara isu-isu yang disebar soal sentimen agama, korupsi hingga politik identitas.

Menyimak uraian di atas, naluri (dan ajaran) geopolitik mengendus bahwa pasca isu Garut ditelan publik, ada aroma tak sedap berputar-putar di langit politik negeri ini. Konon ada slentingan dan settingan untuk membenturkan sesama anak bangsa hingga clash fisik melalui isu sentimen sebagai pintu pembuka. Ini realita menyedihkan, mengapa? Di satu sisi, tercium skenario untuk membuat negeri ini kacau balau, tetapi di sisi lain, justru para elit dan mayoritas warga terlihat larut pada arus adu domba bermenu isu sentimen agama

Dan bila kegaduhan itu terus berlangsung dan sengaja dipelihara maka dapat berujung konflik (fisik) horizontal di tengah masyarakat. Prakiraan muncul, bila isu Garut ditelan tanpa dialog publik secara bijak, maka dengan melihat indikasi suhu politik yang tengah berlangsung, agenda lanjutannya bisa diramalkan, antara lain:

Pertama, kemungkinan ada agenda untuk membentuk Angkatan ke-5 seperti rencana di zaman Orde Lama doeloe karena dinamika politik seperti mengarah kesana;

Kedua, kemungkinan ada kelompok-kelompok yang akan “dicincang,” baik dicincang dalam arti dipromosikan, digadang-gadang, maupun dicincang dalam makna dijadikan tumbal (dikorbankan); dan

Ketiga, nantinya NKRI dibuat semakin rapuh,tidak berdaya secara geopolitik. Indonesia kembali dan tetap menjadi bancaan para adidaya (asing). Maka ibarat kue yang diiris-iris kecil, tinggal ambil sendok, “Leb”. Siapa yang ‘nge-Leb’?

Menyikapi peristiwa dan prakiraan di atas, semua terpulang kepada segenap anak bangsa terutama para pihak, golongan dan atau kelompok yang tengah (merasa) hendak “dicincang” dalam makna promosi dan tumbal.

Bahwa ada dua pilihan, antara lain:

Pertama, larut dalam agenda benturan horizontal yang telah dipersiapkan, entah proses dan kelak ujungnya seperti apa, masih belum jelas. Ini sungguh bahaya; atau

Kedua, masing-masing kelompok sadar diri, saling mengendalikan, introspeksi, lalu melakukan konsolidasi kedalam. Yang utama, hindari konflik secara fisik, masalah urgen selesaikan secara musyawarah mufakat dan bila tak dapat dimusyawarahkan, paling terakhir melalui jalur hukum. Kenapa? Karena jika konflik meletus secara terbuka justru itulah lorong skenario menuju agenda selanjutnya.

Kita sudah sering diadu-domba sesama anak bangsa sejak zaman kolonialisme, era kemerdekaan, bahkan hingga sekarang. Sejarah berulang dengan pola yang sama, meski aktor, waktu dan modus berbeda menyesuaikan keadaan. Kita punya banyak pengalaman konflik akibat devide et impera. Jika terjadi lagi dan lagi, maka ibarat membuat luka baru di atas luka lama, kata Ebiet G Ade, coba bayangkan betapa sakitnya.

Ya. Di Bumi Pertiwi ini, masih banyak kembang sore dan bunga-bunga sedap malam. Silahkan saudara-saudara memilih mana..

M. Arief Pranoto, Pengkaji Geopolitik Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com