Executive Summary Seminar GFI

Bagikan artikel ini

Seminar Terbatas Bertema: Membaca Kebijakan AS terhadap Indonesia dan Dampaknya bagi Indonesia. Kamis, 9 November 2017.

KESIMPULAN UMUM HASIL SEMINAR

  1. Para narasumber dan peserta seminar bersepakat bahwa telah terjadi pergeseran konflik global dari Timur-Temgah dan Asia Tengah ke Asia Pasifik antara Amerika Serikat dan sekutu-sekutu Baratnya versus Republik Rakyat Cina. Dengan demikian, maka semakin meningkatnya eskalasi konflik antara AS versus Korea Utara di Semenanjung Korea, harus dipandang dalam persektif yang lebih luas. Yaitu sebagai Proxy War antara AS versus Cina.
  2. Maka itu, beberapa narasumber maupun peserta bersepakat, bahwa konflik AS versus Korea Utara harus ditelisiki dan dikaji secara lebih mendalam apa yang sesungguhnya sedang terjadi.
  3. Terungkap melalui seminar, bahwa latihan militer gabungan antara Korea Selatan dan Amerika Serikat yang berlangsung secara intensif di wilayah perbatasan telah dipandang sebagai ancaman yang nyata oleh Korea Utara. Sehingga langkah Korut melancarkan beberapat uji coba nuklir harus dibaca sebagai  isyarat kesiapan dan kesiapsiagaan angkatan bersenjata Korut dalam menghadapi pelbagai kemungkinan yang terjadi di Semenanjung Korea, termasuk jika dipasa keadaan untuk bertempur dengan AS dan sekutu-sekutunya.
  4. Dengan kata lain, kehadiran AS justru memperparah ketegangan yang terjadi di Semenanjung Korea. Padahal di satu sisi, kedua Korea(Korut dan Korsel) sejatinya telah bersepakat untuk berdamai dan bertekad untuk melakukan reunifikasi.
  5. Menyadari hal tersebut, pemerintah Indonesia dan seluruh stakeholders kebijakan luar negeri hendaknya tidak terpancing untuk masuk dalam persaingan global antara AS versus Cina baik di Semenanjung Korea pada khususnya, dan Asia Pasifik pada umumnya.
  6. Dengan demikian, penempatan dan penyebaran Terminal High Altitude Area Defense (THAAD) di Korsel, tidak bisa semata-mata dipandang sebagai reaksi terhadap ambisi nuklir Presiden Jung-un. Lebih dari itu, THAAD harus dipandang sebagai isyarat AS untuk memprovokasi konflik militer berskala luas di masa depan terhadap Cina, atau bahkan mungkin juga dengan Rusia, sehingga bisa menciptakan instabilitas politik baik di Semenanjung Korea maupun Asia Pasifik pada umumnya.
  7. Merujuk pada pandangan dan opini dari beberapa kalangan di Korea Utara, dapat disimpulkan bahwa Korea Utara sama sekali tidak bermaksud untuk menyerang Korea Selatan. Adapun tujuannya hanya sekadar mempertahankan kedaulatan nasionalnya dari serangan yang mungkin dilancarkan oleh AS terhadap Korea Utara.
  8. Maka itu, baik para pembicara maupun peserta seminar, berpandangna bahwa cara terbaik untuk mengakhiri ketegangan di Semenanjung Korea adalah dengan tidak menyerang Korea Utara. Dan menghentikan provokasi termasuk yang bersifat verbal dari pihak pemerintah AS. Yang kemudian ditindaklanjuti dengan mengakhiri perjanjian gencatan senjata yang ditandatangani di akhir Perang Korea pada 1953. Dan mengubahnya menjadi menjadi perjanjian damai.
  9. Berkaitan dengan pandangan tersebut, beberapa pembicara seminar mengingatkan bahwa Perang Korea sejatinya hingga kini belum selesai, Baru sekedar gencatan senjata. Para Aktor yang terlibat pun masih sama dan itu-itu juga. Seperti Rusia, Cina, AS dan sekutu-sekutunya seoerti Jepang dan Korea Selatan.
  10. Dengan demikian, terkait dengan solusi penyelesaian konflik di Semenanjung Korea. Para pembicara maupun peserta mengingatkan bahwa perundingan denuklirasasi dan perdamaian di Semenanjung Korea yang selama ini hanya melibatkan enam negara, yakni AS, Cina, Rusia, Jepang, Korsel dan Korut, nampaknya tidak akan efektif lagi, mengingat semuanya memiliki kepentingan langsung di kawasan itu. Karena itu diperlukan negara baru yang terlibat aktif, dan Indonesia berpeluang besar untuk memainkan peran aktif dalam peyelesaian damai konflik di Semenanjung Korea.
  11. Adapun mengenai dampak dari kemungkinan meletusnya Perang AS versus Korea Utara di Semenanjung Korea kiranya perlu diadakan kajian mendalam dan intensif, mengingat dampaknya yang sangat membahayakan bagi Indonesia.
  12. Dampak fisik, diradio aktif. Ada kemungkinan karena nuklir itu bisa memancarkan partikel-partikel radio aktif yang tersebar melalui udara. Alhasil, jika meletus perang di kawasan Semenanung Korea itu hanya berjarak 2200 kilometer dari Papua dan 4700 kilometer dari Jakarta. Maka bila terjadi kontaminasi secara meluas, maka  bisa berakit terjadinya mutasi genetik.
  13. Adapun dampak ekonomi bagi Indonesia, maka hal itu harus dipandang dari letak geografis Korea Utara. Maka ketika konstalasi di Semenanjung Korea semakin tidak kondusif, maka lalu lintas kita, penjualan LNG kita ke Korsel, ke Cina, dan ke Jepang itu kemungkinan akan macet. Ekspor minyak kita mungkin akan macet.
  14. Dampak lain yang akan diderita Indonesia, harga energi kita berfluktuasi.
  15. Krisis yang terjadi di Semenanjung Korea, pada perkembangannya tidak saja menciptakan instabilitas politik dan keamanan di kawasan Asia Pasifik. Namun pada perkembangannya juga akan berdampak bagi Kepentingan Nasional RI.
  16. Terkait sikap menghadapi Krisis Korea Utara, Indonesia baik dalam kapasitas sebagai negara yang tergabung dalam ASEAN maupun sebagai pelopor KAA Bandung 1955 maupun Gerakan Nonblok Beograd 1961, tidak boleh larut dalam arus gerakan dunia internasional yang dimotori AS dan sekutu-sekutunya untuk mengecam, mengutuk dan mengucilkan Korea Utara.
  17. Indonesia tidak boleh ikut serta mengecam dan mengucilkan Korea Utara, apalagi mendukung pemberlakuan sanksi ekonomi kepada Korea Utara. Sebab baik AS dan sekutu-sekutunya maupun Cina, ada indikasi kuat untuk bersama-sama mengecam dan memberi sanksi kepada Korea Utara. Sebagai imbalan dari bagi-bagi konsesi antara kedua negara adikuasa tersebut di kawasan Asia Pasifik.

 

REKOMENDASI SEMINAR KEPADA PARA PEMANGKU KEPENTINGAN KEBIJAKAN LUAR NEGERI RI

  1. Para pembicara maupun beberapa peserta seminar menggarisbawahi adanya hubungan tradisional yang sangat baik antara RI-Korut sejak era pemerintahan Presiden Sukarno, era Presiden Suhartol, hingga era pemerintahan Jokowi-JK. Maka itu baik para pembicara maupun peserta bersepakat bahwa Indonesia harus memainkan peran aktif untuk penyelesaian konflik di Semenanjung Korea. Yaitu sebagai mediator atau penengah.
  2. Sehubungan dengan gagasan tersebut, para pembicara dan peserta seminar mendesak seluruh stakeholders kebijakan luar negeri RI agar Indonesia memainkan peran aktif dalam memprakarsai penyelesaian damai konflik di Semenanjung Korea. Baik melalui forum perhimpunan negara-negara Asia Tenggara (ASEAN). Maupun dengan memperluas lingkup keikutsertaan negara-negara dari kawasan Afrika dan Amerika Latin.
  3. Dengan demikian, keikutsertaan Indonesia dalam penyelesaian konflik di Semenanjung Korea, harus dilakukan dalam kerangka mengaktualisasikan kembali Politik Luar Negeri RI yang bebas dan aktif sesuai perkembangan dan tantangan zaman.
  4. Maka itu, dalam menjabarkan gagasan strategis mengikutsertakan Indonesia dalam peran aktif sebagai mediator konflik di Semenanjung Korea, maka peran kepeloporan Indonesia dalam menyelenggarakan Konferensi Asia-Afrika Bandung 1955 maupun Gerakan Nonblok Beograd 1961, selain harus dihidupkan kembali, sekaligus juga harus menjadi sumber inspirasi untuk mencari solusi-solusi dan terobosan baru dalam penyelesaian konflik di Semenanjung Korea.
  5. Mengingat hubungan tradisional RI-Korut yang sangat baik maupun peran kepeloporan Indonesia dalam menggelar Konferensi Asia-Afrika Bandung 1955 maupun Gerakan Nonblok Beograd 1961 erat kaitannya dengan peran kepeloporan Presiden pertama RI Sukarno, maka dirasa perlu untuk memunculkan potensi Rachmawati Sukarnoputri, putri Presiden Sukarno, sebagai mediator konflik di Semenanjung Korea atas dasar people to people based diplomacy.
  6. Hubungan tradisional yang begitu baik antara RI-Korut sejak era Bung Karno hingga kini, erat kaitannya dengan kesinambungan hubungan baik antara para pemimpin nasional Indonesia baik dengan Kim Il Sung, Kim Jong Il dan Kim Jong Un saat ini. Dalam konteks inilah, potensi Rachmawati Sukarnoputri sebagai mediator konflik di Semenanjung Korea nampaknya perlu dipertimbangkan oleh para stakeholders kebijakan luar negeri RI.
  7. Maka dari itu, Ibu Rachmawati Soekarnoputri, yang kebetulan pernah menjadi Ketua pertama dari Perhimpunan Persahabatan Indonesia-Korea pada 2002, ingin berkontribusi dalam rangka mewujudkan perdamaian dunia dengan berupaya untuk menjadi mediator konflik di Semenanjung Korea. Khususnya Konflik Korea yang semakin meruncing akhir-akhir ini.
  8. Adapun terkait peran aktif Indonesia melalui forum ASEAN dalam Krisis Korea. Bila mampu meramu kreatifitas dalam merancang kebijakan luar negeri maka Indonesia dan ASEAN memiliki peluang tidak saja mampu tampil sebagai Middle Power, melainkan menjadi The Leading Powe

 

     

 

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com