Indonesia Harus Berhati-Hati Dengan Imperialisme Amerika Gaya Baru ala Obama

Bagikan artikel ini

Hendrajit, Direktur Eksekutif Global Future Institute (GFI)

Berkembang informasi bahwa pada saat Menlu Amerika Hillary Clinton ke Indonesia Februari lalu, ada rencana Indonesia-Amerika akan menandatangani sebuah kerjasama kemitraan strategis.

Berkembang informasi bahwa pada saat Menlu Amerika Hillary Clinton ke Indonesia Februari lalu, ada rencana Indonesia-Amerika akan menandatangani sebuah kerjasama kemitraan strategis. Kalau kita tinjau prakondisi menjelang kunjungan Menlu Clinton ketika itu, Indonesia memang beralasan untuk merasa senang.

Kunjungannya ini merupakan lawatan pertamanya ke luar negeri setelah secara resmi menjabat sebagai menlu di bawah pemerintahan Obama.

Kawasan Eropa, pemerintah AS mengutus wapres Joe Biden dan untuk wilayah panas Timur Tengah (Palestina khususnya) dengan mengirim beberapa utusan khusus.

Kunjungan menlu Hillary ke kawasan Asia yang berubah dari tradisi sebelumnya, tidak otomatis bisa dimaknai secara politik bahwa Amerika telah merubah karakter dasarnay sebagai negara hegemoni. Karena itu, bagi AS semua kawasan di dunia penting baginya, selama hal itu berpotensi masuk dalam orbit pengaruhnya.

Eforia Indonesia

Para pejabat negara merasa derajat Indonesia naik satu tingkat setara dengan negara-negara maju. Mensesneg Hatta Rajasa misalnya menyatakan wajar Indonesia merupakan negara pertama yang dikunjungi Hillary karena menlu AS tersebut pernah mengatakan Indonesia adalah salah satu negara yang diharapkan mampu mengatasi krisis global (Okezone, 5/2/2009). Menlu Indonesia, Hasan Wirayudha menambahkan biasanya kunjungan pertama menlu AS adalah ke Eropa, sehingga dari kunjungan ini posisi Indonesia menjadi penting.

Masuk akal jika Indonesia dilanda eforia.  Apalagi ketika Wakil Presiden Jusuf Kalla juga angkat bicara. Menurut penuturan Kalla, pertemuannya dengan Wapres Amerika Serikat Joe Biden tentang posisi Indonesia. Menurut Kalla, sebenarnya Menlu AS dalam lawatan luar negeri pertamanya hanya mengunjungi China, Korea Selatan, dan Jepang. Namun, Presiden Obama memerintahkan agar Hillary jangan lupa mengunjungi Indonesia. Kata Kalla: “Itu artinya Indonesia memiliki peran yang penting di kawasan Asia, dan pasti Indonesia akan jadi prioritas” (Antara, 5/2/2009).

Beberapa media di Jakarta sepertinya juga dilanda eforia, tanpa mempertanyakan motif lebih jauh dari kunjungan Menlu Clinton. Dalam editorial harian Kompas hari Rabu (18/2/2009) mengatakan “tamu kita kali ini adalah sosok yang istimewa. … … Lawatan Hillary kita harapkan juga membuka peluang bagi Indonesia untuk memberikan kontribusi di panggung internasional dan mendapatkan mitra berpengaruh untuk membantu meredam krisis ekonomi saat ini.” Dalam headlinenya, Kompas memaknai kunjungan Hillary merupakan gambaran pentingnya posisi Indonesia di mata pemerintahan AS saat ini.

Sungguh memprihatinkan bahwa sebuah harian berpengaruh seperti Kompas sama sekali tidak memberi pencerahan terhadap masyarakat pembaca mengenai sepak-terjang Amerika dalam mendominasi dunia.

Tak salah jika berbagai kalangan berpendapat bahwa negeri ini tidak mampu memetakan dirinya, apalagi menyelesaikan urusannya sendiri. Bagaimana tidak, untuk memposisikan apakah Indonesia penting atau tidak di dunia internasional saja harus mendapat restu AS. Eforia ini menjadi pengakuan tersirat bahwa Indonesia sebenarnya sama sekali tidak memiliki rasa harga diri dan martabat di hadapan negara asing.

Hanya karena Menlu Clinton punya gaya yang simpatik terhadap Indonesia, maka dikiranya Amerika telah berubah dalam haluan politiknya. Padahal itu hanyalah lawatan biasa-biasa saja. Pejabat negara tidak berusaha melihat AS dan kunjungan Hillary dalam perspektif bahwa AS adalah negara Kapitalis. Sehingga apapun kebijakan luar negeri AS dan siapapun presidennya, tetap saja ideologi kapitalisme sebagai pedoman negara adidaya tersebut.
Berarti, siapapun pemimpin AS, berikut menlu yang menjadi ujung tombak diplomasinya di dunia internasional, mereka semua adalah kompoen dan perangkat dari sistem kapitalisme global.

Jangan terpedaya dengan gaya baru kepemimpinan baru Obama dalam menaklukkan dunia. Gaya Obama maupun Menlu Clinton tetap saja akan mempertahankan  neo-imperialisme dan kolonialisme yang telah menjadikan dirinya sebagai kekuatan hegemonik dan polisi dunia untuk mencapai tujuan dan kepentingannya. Karakter dasar ini tetap saja tidak berubah.

Akumulasi kebencian dunia terhadap Amerika mencapai puncaknya pada masa kepresidenan George W.Bush karena kebijakannya dalam War on Terrorism. Sehingga terhadap AS akibat politik (war on) terrornya di era Bush menempatkan negara tersebut sebagai musuh bersama dunia internasional. Akibatnya, kerapuhan sistem ekonomi kapitalisme tak terelakkan lagi. Suatu dampak ekonomi global yang tak terbayangkan sebelumnya oleh Amerika.
Sebagai konsekwensi logis dari itu, Amerika terpaksa untuk menata ulang politik luar negerinmya sehingga kepentingan-kepentingan nasionalnya tetap terjaga. Bahkan Amerika dipaksa keadaan untuk keluar dari jurang kehancuran.

Untuk mereparasi kerusakan yang dibuat mantan Presiden Bush, langkah strategis Amerika di era Obama adalah dengan menarik kembali simpati dan dukungan negara-negara Islam. Sinyal ini diungkapkan Hillary: “Kita harus membangun dunia dengan lebih banyak mitra dan lebih sedikit musuh” (Detiknews, 14/1/2009). Namun sekuat apapun upaya AS memulihkan citranya di dunia Islam sebagaimana dikatakan Obama kepada al-Arabiya “Amerika bukan musuh Islam” (Tempointeraktif, 27/1/2009), AS sejatinya memusuhi Islam. Sebagaimana sikap absolut Hillary yang menjadikan pengakuan akan eksistensi Israel sebagai syarat negosiasi dengan HAMAS, padahal mengakui negara Israel bagi dunia Islam adalah hal yang tidak mungkin diakui keberadaannya.

Strategi menguasai sumber ladang minyak dan sumberdaya alam lainnya, nampaknya tetap menjadi agenda yang akan diteruskan Obama dari pendahulunya mantan Presiden Bush. Hanya saja dengan gaya dan langgam kepemimpinan yang berbeda.

Maka, menarik simpati dan dukungan dari negara-negara Islam bagi Amerika menjadi prioritas.Tidak saja di kawasan Timur Tengah, tapi juga Indonesia sebagai negara berpenduduk Islam terbesar di Indonesia.Sebab kalau tidak, maka gagallah Amerika untuk menguasai sumberdaya minyak dan sumberdaya lainnya menjadi semakin sulit di Dunia Islam. Padahal,sumberdaya alam,minyak dan pasar negara-negara Islam sangatlah dibutuhkan Amerika agar kebangkrutan ekonominya tidak semakin memburuk

Sudah menjadi rahasia umum bahwa Islam pun telah berkembang sebagai ancaman ideologis yang nyata bagi para perancang kebijakan keamanan nasional Amerika. Meskipun Konsep tentang Syariah dan Khilafah tidak begitu kuat di Indonesia, namun oleh Amerika selalu dijadikan sebagai lawan yang  berbahaya bagi AS.

Karena itu tak heran Amerika berusaha mencegah dunia Islam dari ide Syariah dan Khilafah sebagai proyek utama AS. Maka patut diwaspadai kemungkinan pemerintahan Obama menggunakan beberapa LSM internasionalnya yang ada di Indonesia seperti National Democratic Institute (NDI) dan International Republican Institute (IRI) untuk mengembangkan program Pluralisme dan Multi-kulturalisme kepada kalangan organisasi kemasyarakatan dan LSM-LSM besar di Indonesia.

Bukan itu saja. Adalah juga wajar jika AS berusaha mencerabut ide-ide Syariah dan Khilafah sebagai dalih untuk mempromosikan pemahaman sekuler, liberalisme, demokrasi, dan pluralisme di tengah-tengah umat Islam.

Di sinilah pentingnya mengawasi secara intensif manuver yang dimainkan Amerika untuk mempengaruhi dunia pendidikan Indonesia. Itulah sisi rawan dari Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (BHP) yang memberi jalan bagi lembaga-lembaga pendidikan untuk bersifat komersiil, sehingga orang sulit mencari sekolah atau universitas karena harganya yang mahal mencapai puluhan juta rupiah.

Adanya UU BHP akan mematikan lembaga-lembaga pendidikan dan sekolah yang berbasis keagamaan seperti yang dikelola Nahdlatul Ulama(NU) dan Muhammadiyah. Sehingga semua sekolah dan perguruan tinggi akan berpedoman pada kurikulum dan silabus yang dikembangkan oleh Amerika dan Eropa Barat.

Karena itu, ada yang perlu diwaspadai dengan pidato Menlu Clinton setelah bertemua Menlu Hassan Wirajuda ketika itu. Hillary Clinton mengatakan: “Membangun kemitraan menyeluruh dengan Indonesia adalah langkah yang sangat penting bagi Amerika Serikat untuk mendukung, satu negara yang sudah nyata-nyata menunjukkan dengan jelas bahwa Islam, modernitas dan demokrasi bukan hanya bisa hidup bersamaan tapi juga dapat berkembang pesat sekaligus.” (BBC Indonesia, 18/2/2009).
Inilah pandangan Islam ala Amerika yang bisa sangat menyesatkan. Padahal, Islam dan tradisi lah yang justru menjadi kunci keberhilan Indonesia bertahan dari gempuran arus globalisasi, termasuk di bidang pendidikan. Jadi pernyataan Clinton yang mencoba menyatu-nyatukan Islam, modernisasi dan demokrasi, adalah salah kaprah dan menunjukkan ketidakmampuan untuk memahami hakekat budaya bangsa Indonesia dan negara berkembang lainnya.

Smart Power Jurus Baru Imperialisme Amerika

Mari kita simak pidato Menlu Clinton di depan para anggota Komite Hubungan Luar Negeri Senat AS (13/1/2009), Hillary Clinton dengan jelas menggambarkan keinginan dan cita-cita AS. Ia mengatakan: “memperbarui kepemimpinan Amerika melalui diplomasi yang akan meningkatkan keamanan kita, mengedepankan kepentingan kita, dan mencerminkan nilai-nilai kita” (Antara, 15/1/2009). Pernyataan tersebut mencerminkan realitas bahwa posisi AS benar-benar terpuruk sehingga harus memperbaharui kepemimpinannya (atas dunia).

Jelaslah sudah imperialisme tetap menjadi niat utalam Amerika. Sekadar merubah dari pendekatan bersenjata ala Bush kepada diplomasi ofensif di era Obama (Smart Power). Dan inilah yang harus diwaspadai. Karena dalam pidatonya ketika berkunjung ke Jakarta,  Menlu Clinton mengatakan pentingnya kemitraan komprehensif dengan Indonesia sebagai langkah penting  bagi Amerika dalam rangka menjalankan smart power-nya.

Karena itu, kesepakatan strategis Amerika-Indonesia bisa dipastikan akan lebih merugikan Indonesia, dan menguntungkan Amerika. Sehingga tidak tercapai keuntungan timbal-balik antara Amerika dan Indonesia. Karena smart power hanyalah sarana diplomasi yang digunakan Amerika untuk mencapai tujuannya sebagai negara imperialis dalam bidang ekonomi dan kebudayaan.

Selamanya Amerika sebagai negara kapitalis akan menjajah negara-negara yang lemah. Karena itu Indonesia, khususnya Departemen Lua Negeri, harus hati-hati dengan kekuatan persuasi dan diplomasi Amerika dalam menjinakkan dunia Islam maupun negara-negara di kawasan Asia Pasifik di mana Indonesia adalah sumbu utama dari keduanya.

Sudah selayaknya seluruh komponen bangsa seperti cendekiawan Muslim, aparat birokrasi maupun politisi partai di DPR, tidak begitu saja dengan mudahnya dibuai dan terkena bujuk rayu strategi imperialisme gaya baru Amerika melalui Obama dan Menlu Hillary Clinton.

Kita Harus Melawan Amerika Dengan Cerdas  

Dunia sudah cukup dibuat menderita dengan serbuan tentara Amerika ke Irak. Amerika dan sekutunya NATO telah membunuh 1,3 juta penduduk. Di Afghanistan, 2116 warga sipil terbunuh pada 2008. Bahkan saat ini setiap harinya, rata-rata 26.500 anak-anak tewas akibat kekejaman ekonomi kapitalisme global. FAO memprediksi tahun 2009 jumlah orang kelaparan di dunia akan mencapai 963 juta jiwa (Kompas, 10/12/2008).

Namun yang tak penting, warga Amerika pun juga jadi korban kapitalisme. Setiap hari koran-koran AS dipenuhi berita suram. Setiap bulan 500 ribu warga AS kehilangan lapangan kerja, ribuan perusahaan mengalami kebangkrutan. Meskipun pemerintah AS mengatakan “kita belum memasuki depresi”, namun ancaman kebangkrutan menjadi realita yang sangat menakutkan (New York Times, 16/2/2009).

Di tengah-tengah krisis global sepeti itu, para petinggi pemerintahan maupun DPR sepertinya tidak memiliki peta perkembangan dunia dan dinamika hubungan yang berkembang antar negara adidaya.

Buktinya, di tengah perekonomian AS yang babak belur, pemerintah Indonesia melalui Kepala Badan Kebijakan Fiskal Anggito Abimanyu menyatakan keinginannya untuk meminta pinjaman hutang kepada pemerintah AS (Detikfinance, 18/2/2009).
Padahal, jangankan memberi pinjaman, pemerintah AS sendiri pun sekarang sedang sibuk mencari hutang kepada China, Jepang, dan negara-negara petro dollar di Timur Tengah. Asal tahu saja, posisi hutang AS pun saat ini sudah membengkak dari US$ 9 trilyun pada awal tahun 2008 menjadi US$ 12 trilyun tahun fiskal 2009.

Karena itu saatnya bagi Indonesia untuk melawan kekuatan kapitalisme global seperti Amerika dengan cara yang cerdas dan strategis. Yaitu memahami akar masalah dari ketimpangan global dewasa ini. Dan mampu membuat pemetaan konstalasi politik internasional yang setiap saat bisa mengalami pergeseran atau bahkan perobahan.

Karena itu, langkah pertama pemerintahan Indonesia, siapapun yang terpilih pada pemilhan presiden Juli mendatang, agar membatalkan kerjasama kemitraan strategis Indonesia-Amerika. Dan hanya mempertahankan suatu kerjasama yang bersifat taktis dan sektoral seperti di bidang industri dan perdagangan.

Konsep kerjasama kemitraan komprehensif sebagaimana diutarakan Menlu Clinton pada kunjungannnya ke Indonesia Februari lalu, sangatlah berbahaya jika disetujui oleh Indonesia. Mengingat posisi tawar Indonesia di hadapan Amerika masih sangat lemah.

Kerjasama bilateral Indonesia-Amerika memang perlu, tapi sifat dari kerjasama tersebut jangan sekali-sekali bersifat strategis.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com