Penjajahan Gaya Baru dan Kontra Skema

Bagikan artikel ini

Renungan Hari Ke-15 Ramadhan 1445

“Bila kolonisasi lama hanya merampas tanah, sedang kolonisasi gaya baru merampas kehidupan”. Ini asumsi Vandana Shiva, seorang filsuf India, aktifis lingkungan hidup, penulis, sekaligus salah satu pimpinan di International Forum on Globalization.

Barangkali, seperti mindset pemakai narkoba, hakiki kehidupan di negeri koloni —akibat penjajahan gaya baru— ibarat fatamorgana. Dikira ada air (kebahagian) di kejauhan tatkala didekati hanya (penderitaan) bayang-bayang. Halusinasi.

Di negara yang sedang berlangsung kolonisasi gaya baru, banyak warga justru tidak menyadari kalau negerinya tengah terjajah dan dijajah. Semua dinilai wajar-wajar saja. Padahal, banyak paradoks dan kejanggalan terjadi gegara ‘barang itu’ (kolonialisme). Kenapa?

Kejanggalan tadi dikiranya hanya dampak lingkungan strategis yang berubah, atau dianggap sekedar faktor disruptif teknologi. Ini mispersepsi massal. Bahkan lebih parah lagi, tak sedikit warga terjangkit stockholm syndrome yaitu sikap mental sebagian orang justru jatuh cinta kepada penjajah. Sebagian warga membela kepentingan asing, malah pasang badan pada entitas yang hendak/tengah merampas kehidupan (bangsa)-nya.

Lantas, apa bentuk kejanggalan dan paradoks di negeri yang terjajah oleh kolonisasi gaya baru?

Singkat retorika begini. Negeri dua musim dengan curah hujan tinggi kok impor beras dan kacang-kacangan; negeri kepulauan (archipelago state) dengan garis pantai terpanjang (ke-2) di dunia kok malah impor ikan dan garam? Alasan klasik selalu bilang ‘salah kelola’. Padahal, paradoksal tadi merupakan hasil remote (kendali tak langsung) si penjajah via sistem politik.

Ciri kolonisasi lama itu pendudukan teritori secara fisik oleh militer (asing), kalau penjajahan gaya baru pendudukan nirmiliter. Silent invasion. Penjajah langsung ‘menduduki sistem’ di pusat. Seperti kudeta konstitusi di republik tercinta ini (1999-2002) setelah tumbangnya Orde Baru silam. Mengganti UUD misalnya, lalu orientasi bangsa (dipaksa) menelan konstruksi kolonialisme. Mengubah ekonomi kerakyatan menjadi kapitalisme, liberalisasi pola politik, abai nilai-nilai lama sedang nilai baru belum melembaga, sehingga banyak warga tercerabut dari local wisdom dan lain-lain.

Melingkar sebentar. Ketika pakem pagelaran itu terdiri atas wayang, dalang, pemilik hajatan/penanggap, dan penonton alias kelompok hore, maka geraknya wayang mengikuti skenario si dalang. Dalang tergantung maunya pemilik hajat. Hukumnya mutlak. “Ki Dalang, saya minta lakon hari ini Semar Ngamuk, Petruk Kepuyuh-puyuh”. “Nggih! Sendiko dawuh, nDoro,” jawab Ki Dalang. Sementara penonton terbagi dalam koloni-koloni. Ada kampret, cebong, cepret, kelompok hore dan kaum pendengung lainnya.
Sekilas deskripsi pagelaran dalam analog politik praktis. Wayang itu golongan politisi, baik politisi yang duduk di parlemen maupun pejabat politis tertentu khususnya berasal (maaf) dari partai politik. “Korea-korea itu takutnya sama, Bos!” Kata Bambang Pacul, politisi senior PDI Perjuangan.

Lantas, pemilik hajatan ialah oligarki yang dalam mindset-nya tak jauh dari mengais geoekonomi, geoekonomi dan geoeokonomi. Entah di projek APBN, atau Projek Strategis Nasional, kavling sumber daya alam (SDA) dan lainnya. Itulah sepintas maqom dan ilustrasi pagelaran.

Maqom tokoh demonstran dan unjuk rasa soal pemakzulan, misalnya, atau isu hak angket dan seterusnya — duduknya di (maqom) wayang. Tampak gaduh. Seolah ada kontra skema terhadap kolonialisme, tetapi di hilir. Hilir sekali. Tidak ada efek pada dalang, apalagi pemilik hajatan. Termasuk petisi-petisi dari sivitas akademika yang kemarin heboh. Itu mirip buih. Terlihat bergulung-gulung namun nirpower. Pecah di tepian. Andaikan mampu memakzulkan pun, lalu kelanjutannya bagaimana? Bukankah oligarki tetap eksis dan UUD Produk Amandemen tetap beroperasi? Podo wae. Cuma ganti wayang, ganti pion belaka.

Seyogianya, terdapat kontra skema secara serempak atau simultan dengan intensitas berbeda-beda baik di hilir maupun hulu, supaya kaum oligarki —aktor utama kolonisasi— gerah lalu keluar dari sarang, misalnya, gempur metode dan praktik pencarian bahan baku semurah-murahnya dan upaya perluasan pasar. Dua hal tersebut merupakan metode baku penjajahan. Atau, lumpuhkan man power, ‘mesin-mesin’ dan lainnya. Agaknya, kontra skema hulu semacam ini belum muncul di publik.

Adanya beberapa gerakan publik guna mengembalikan UUD 1945 sesuai naskah asli melalui teknik adendum, hakikinya merupakan kontra skema di level hulu. Selain efektif merajut dukungan dan empati, juga tanpa hingar-bingar di jalan. Smart. Sayangnya beberapa gerakan ini seperti enggan menyatu. Entah kenapa. Terbelah di masing-masing koloni serta panggung. Padahal, secara mapping — kunci dan pintu masuk penjajahan gaya baru itu melalui rezim UUD NRI 1945 Produk Amandemen yang kerap disebut UUD 2002. Jadi, gerakan kembali ke UUD Naskah Asli itu sudah on the track di garis perjuangan. Kontra skema akurat. Tinggal momentum saja.

Mereka disebut oligarki karena kemampuan modal (kapital)-nya. Jujur harus diakui, bahwa kekayaannya diperoleh lewat cara mengeduk SDA, mendulang projek APBN/APBD, dan berbagai cara lain termasuk yang ilegal pun ditempuhnya, sehingga tercapai akumulasi modal. “Puncak kesaktian kapitalisme.” Kelak, jika muncul oligarki nonmainstream mematahkan metodenya, atau melumpuhkan man power serta mesin-mesinnya, niscaya kegoncangan terjadi di oligarki lama. Nah, kontra skema di level hulu semacam inilah yang belum pernah muncul.

Gerakan kembali ke UUD 1945 sesuai naskah asli memang kontra skema secara smart power, Ibu Pertiwi menunggu kemunculan kontra skema hard power oleh oligarki baru nonmainstream.

Mengapa?

Sebab, simultansi kontra skema hulu dengan berbagai varian akan melemahkan sekaligus melumpuhkan metode baku penjajahan gaya baru, yaitu mencari bahan baku semurah-murahnya dan meluaskan laju pasarnya.

Di Bumi Pertiwi ini, masih banyak tamu tak diundang di antara rerumpun kembang sore dan bunga-bunga sedap malam.

M Arief Pranoto, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com