Indonesia Harus Desak Dewan Keamanan PBB Mengusut Serangan Rudal AS ke Pangkalan Udara Shayrat, Suriah

Bagikan artikel ini

Serangan AS ke Pangkalan Udara Shayrat, hanya untuk bangun kesan ada senjata kimia di Suriah. Padahal, berdasarkan keterangan Organisasi Pelarangan Senjata Kimia, sejak Januari 2016 arsenal Kimia Suriah sudah dimusnahkan. Bahkan proses penghancuran arsenal kimia itu sudah dimulai sejak Oktober 2013. Sehingga praktis Suriah tidak lagi memiliki senjata kimia.

Meskipun sudah sebulan berlalu, berkembang beberapa teori seputar serangan Amerika ke pangkalan udara Shayrat, dekat kota Homs, Suriah. Namun  apapun teori yang mengemuka, semuanya bermuara pada dalih utama pemerintah Amerika Serikat. Bahwa serangan dua kapal perusak USS Ross dan USS Porter dengan menembakkan 59 rudal Tomahawk ke pangkalan udara Shayrat itu, merupakan balasan atas serangan senjata kimia yang dilancarkan oleh jet tempur tentara Suriah ke kota Khan Sheikhoun, di provinsi Idlib, Suriah.
Pertanyaan terpenting dalam kasus ini adalah, benarkah Suriah memililiki senjata kimia? Pertanyaan ini sangat wajar dan masuk akal mengingat kenyataan bahwa ketika pemerintahan AS George W Bush bermaksud menginvasi Irak pada 2003, dalih yang disampaikan adalah  bahwa pemerintahan Irak rejim Saddam Hussein didapati memiliki senjata pemusnah massal. Sejarah membuktikan, bahwa Irak sama sekali tidak terbukti telah memiliki weapons of mass destruction alias senjata pemusnah massal. Dan Amerika Serikat, hanya karena butuh alasan pembenaran atau dalih untuk menyerang Irak dan menggulingkan Presiden Saddam Hussein, kemudian mengembangkan isu dan pembentukan opini bahwa Irak di bawah pemerintahan Saddam Hussein memiliki senjata pemusnah massal.
Maka tidak berlebihan jika kita, sebagai bagian dari komunitas internasional, menaruh kekhwatiran yang sama bahwa hakikinya Suriah sama sekali tidak memiliki senjata kimia. Sehingga boleh lah kita katakan, serangan dua kapal perusak USS Ross dan USS Porter pada 7 April 2017 lalu, sama sekali tidak beralasan jika didasarkan pada dalih bahwa di Suriah ada senjata kimia.
Bahkan lebih jauh lagi bisa disimpulkan, serangan udara AS ke pangkalan udara Shayrat tersebut, sesungguhnya merupakan bagian dari aksi pembentukan opini bahwa di Suriah ada senjata kimia. Sehingga pada perkembangannya kemudian, bisa dijadikan landasan oleh pemerintah AS untuk melalukan aksi-aksi militer berskala lebih besar ke Suriah di masa depan.
Padahal, beberapa kajian tim riset Global Future Institute (GFI) berdasarkan keterangan-keterangan dari Organisasi Pelarangan Senjata Kimia (OPCW), membuktikan bahwa Suriah sudah tidak lagi memiliki senjata kimia sejak Januari 2016. Bahkan kalau kita menelisik tumpukan berita-berita lama, sejak 2013 Suriah sudah memusnahkan senjata kimianya.
Beberapa berita yang dilansir pada 7 Oktober 2013 misalnya, mewartakan bahwa menteri luar negeri AS John Kerry menyanmbut baik penghancuran arsenal kimia Suriah. Bahkan menlu Kerry menilai percepatan penghancuran arsenal kimia Suriah merupakan kredit poin bagi pemerintahan Bashar al Assad.
Merujuk pada pengkajian tim riset GFI, menurut salah seorang anggota tim gabungan dari Organisasi untuk Pelarangan Senjata Kimia, OPCW, dari Den Haag dan PBB, pasukan Suriah telah memulai pemusnahan munisi, seperti hulu peluru kendali, bom udara dan unit-unit perlengkapan yang terkait dengan senjata kimia. Ditegaskannya,” tugas kami memonitor, memantau, memverifikasi dan melapor, sedangkan pemusnahan senjata dilakukan Suriah.” Maka, pernyataan menlu Kerry tersebut di atas, membuktikan bahwa pihak pemerintah Suriah memang sudah memutuskan memusnahkan sendiri senjata-senjata kimianya.
Dengan begitu, dalam menyikapi aksi militer sepihak militer AS menyerang pangkalan udara Shayrat 7 April lalu, selain serangan rudal tomahawk itu tidak beralasan, juga sangat berbahaya jika serangan ke pangkalan udara Shayrat itu akan dikembangkan pada skala yang lebih luas di masa mendatang.
Sebab selain merupakan pelanggaran terhadap kedaulatan nasional suatu negara, aksi sepihak ala Amerika tersebut, dengan belajar dari pengalaman pahit di Irak, ternyata malah justru menyuburkan dan menyulut tumbuh-kembangnya kelompok-kelompok terorisme seperti ISIS.
Sehubungan dengan hal itu, pemerintah Indonesia yang sejak awal kemerdekaan hingga kini menerapkan Politik Luar Negeri Bebas dan Aktif, sudah selayaknya mendesak Dewan Keamanan PBB maupun OPCW untuk mengadakan penyelidikan yang intensif dan mendalam mengenai siapa yang sesungguhnya bertanggungjawab atas serangan kimia ke kota Khan Syeikhoun, Idlib, Suriah, pada 4 April lalu.
Sebab tidak tertutup kemungkinan bahwa beberapa milisi perlawanan yang terhadap Presiden Assad seperti Jabal  al Nusra, ISIS atau Free Syrian Army, ada indikasi kuat menyimpan senjata kimian di beberapa daerah perkotaan dan perumahan penduduk. Bahkan beberapa fakta membuktikan bahwa pemerintah Suriah beberapa kali sudah melayangkan surat peringatan baik kepada Dewan Keamanan PBB maupun OPCW.
Karenanya, alangkah  baiknya jika Dewan Keamanan PBB dan OPCW membentuk tim investigasi independen dan obyektif  dan segera dikirim ke Suriah. Untuk mengungkap dan memeriksa secara teliti dan mendalam mengenai penggunaan gas sarin maupun keberadaan bahan-bahan berbahaya tersebut.
Lebih daripada itu, Indonesia melalui forum-forum internasional, harus mengumandangkan betapa berbahayanya aksi sepihak AS, menyusul serangan terhadap pangkalan udara Shayrat 7 April lalu. Sebab selain merupakan pelanggaran hukum internasional dan kedaulatan nasional suatu negara, serangan atau aksi sepihak ala AS tersebut seakan telah membenarkan berlakunya the Law of the Strongest alias hukum rimba. Bahwa siapa yang kuat dia lah hukum itu sendiri.
Penulis: Hendrajit, Pengkaji Geopolitik dan Direktur Eksekutif Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com