Kedaulatan Palestina Sudah Dihancurkan Melalui Penyelesaian Damai ala Oslo I dan II

Bagikan artikel ini

Hendrajit, Pengkaji Geopolitik Global Future Institute (GFI)

September 1993 tercapai kesepakatan penyelesaian damai dalam konflik Palestina-Israel dengan dibacakannya Declaration of Principle (DOP). Di Oslo, Norwegia. Prakarsa damai Palestina-Israel ini memang diprakarsai oleh Amerika Serikat sejak 1991 sejak berakhirnya Perang Teluk I semasa pemerintahan George HW Bush.

Delegasi Palestina yang ikutserta dalam perundingan sejak 1991 tersebut mengatasnamakan Rakyat Palestina yang berada di wilayah pendudukan atau yang selanjutnya disebut  Palestina Dalam Negeri.

Para aktor kunci yang mewakili Delegasi Otoritas Palestina adalah Haidar Abdul Shafi, seorang nasionalis berhaluan kiri yang dipandang penuh dedikasi dan dihormati di Palestina.  Selain itu, ada yang namanya Palestina Luar Negeri, yang waktu itu identik dengan Palestine Liberation Organization atau PLO. Tokoh sentralnya siapa lagi kalau bukan Yaser Arafat. Palestina Luar Negeri atau PLO ini bermarkas di Tunisia. Sayangnya keterwakilan PLO dalam perundingan yang kelak dikenal dengan Persetujuan Oslo itu, tidak diakui. Padahal Faisal Husseini ikut dalam delegasi sebagai peninjau  tak resmi.

Tema sentral perundingan 1991 yang berlangsung di Madrid Spanyol tergambar jelas melalui kerangka kebijakan Haidar Abdul Shafi: Menuntut penghentian perluasan pemukiman Israel. Seperti ekspansi besar-besaran dan pencaplokan wilayah Jerusalem yang lebih luas. Program ini secara gencar dilakukan saat negosiasi Madrid dan perundingan Oslo tengah berlangsung.

Dalam skema pemerintahan Perdana Menteri Yitzak Rabin pada periode itu, memang bertujuan memperluas “batas-batas” territorial wilayah Jerusalem yang lebih luas, yang membentang dari Ramallah, Hebron, hingga perbatasan Ma’aleh Adumim, di dekat Jerikho, Intinya, membuat lingkaran pemukiman Yahudi di wilayah Jerusalem yang lebih luassehingga mengelilingi masyarakat Palestina, membatasi perkembangan mereka, dan mencegah kemungkinan Jerusalem Timur menjadi Ibu Kota Palestina.

Menurut Noam Chomsky dalam bukunya Who Rules The World? Program Israel ini berkembang pesat setelah Persetujuan Oslo. Seperti mendorong berdirinya pemukiman baru dan memindahkan yang lama. Bahkan, secara provokatif memperluas pemukiman di sepanjang Tepi Barat dan tempat-tempat yang cukup sensitif atau masuk kategori “garis merah,”

Rancangan strategis Israel tersebut nampaknya ditujukan untuk mengendalikan 40 hingga 50 persen wilayah Tepi Barat. Termasuk pengambil-alihan lembah Yordan oleh Israel, praktis Jerusalem terpisah dari penguasaan Palestina.

Celakanya, Persetujuan Oslo pada perkembangannya merupakan kompromi yang lebih menguntungkan Israel. Dalam salah satu pasalnya dirumuskan bahwa otoritas Palestina membentang sepanjang Tepi Barat dan wilayah Jalur Gaza, kecuali untuk sejumlah persoalan yang akan dinegosiasikan dengan status Permanen: Jerusalem, permukiman, lokasi militer, dan oran-orang Israel. Dengan kata lain, kecuali untuk semua masalah penting.

Bukan itu saja. Dalam klausul itu juga ditegaskan bahwa setelah penarikan pasukan Israel, pemerintah Israel akan tetap berkuasa atas masalah keamanan eksternal dan ketertiban permukiman dan masyarakatnya.

Pasukan militer Israel dan warga sipil dapat terus secara bebas menggunakan jalan di jalur Gaza dan wilayah Jerikho, dan wilayah tempat Israle berjanji akan menarik diri. Alhasil, DOP ini boleh dibilang kegagalan total diplomasi Yaser Arafat dalam menghadapi Israel dan Amerika Serikat di meja perundingan.

Betapa tidak. DOP juga tidak menyebutkan soal program permukiman di jantung konflik, sehingga DOP sejatinya malah menutup peluang rakyat Palestina untuk menentukan nasibnya sendiri. Dengan demikian, Persetujuan Oslo sebagai wahana untuk penyelesaian damai Palestina-Israel hakikinya hanya sekadar mitos.

Dalam Perjanjian Oslo II pada 1995, sebagai tindak-lanjut dari kesepakatan Oslo 1993, justru seperti memberi jalan bagi AS dan Israel untuk berbuat sesuka hati. Perjanjian Oslo II menetapkan bahwa para pemukim (illegal) di wilayah pendudukan akan tetap berada di bawah yuridiksi dan undang-undang Israel.

Klausul ini barang tentu memberi hak veto pada otoritas terhadap undang-undang yang berlaku di Palestina. Perjanjian tersebut mengatakan bahwa setiap udang-undang yang menggantikan atau membatalkan hukum atau perintah militer yang ada, ditetapkan oleh Israel. Tidak berdampak dan tidak berlaku sejak semula jika mmelampaui yuridksi Dewan Palestina. Artinya, semuanya masih tetap tergantung pada persetujuan Israel.

Lebih lanjut, oihak Palestina harus menghormati hak-hak hukum dari Israel termasuk perusahaan yang dimiliki Israel terkait dengan tanah yang terletak dalam wilayah yang berada di bawah yuridiksi Dewan, yaitu daerah terbatas tempat otoritas Paestina tunduk pada Persetujuan Israel. Khususnya, hak-hak mereka terkait dengan pemerintahan dan apa yang disebut  negeri “absente.” Konstruksi hukum yang rumit yang secara efektif memindahkan tanah orang Palestina  yang tidak ada di negerinya ke bawah Yuridiksi Israel.

Dengan demikian, Oslo II secara substansial telah membatalkan putusan dari hampir seluruh warga dunia dan seluruh otoritas hukum yang relevan bahwa Israle tidak punya hak atas wilayah –wilayah yang diduduki pada 1967. Dan bahwa permukiman yang dibangun tidak sah. Melalui Oslo II, Palestina mengakui legalitasnya, beserta hak hukum lainnya dari Israel yang tidak disebutkan spesifik di seluruh wilayah, termasuk Zona A dan B di bawah kendali Palestina secara bersyarat.

Oslo II dengan begitu semakin memperkuat agenda tersembunyi AS dan Isral yang bertujuan membatalkan semua resolusi PBB yang mengakui hak-hak Palestina. Termasuk legalitas permukiman, status Jerusalem, dan hak untuk pulang ke tanah kelahiran.

Noam Chomsky dalam bukunya juga mengutip studi yang dilakukan oleh Hilde Henriksen Waage, atas penugasan Kementerian Luar Negeri Norwegia. Dalam studinya Waage berkesimpulan bahwa melalui persetujuan Oslo justru berakibat penyerahan Tepi Barat , penggandaan jumlah pemukim Israel, pembangunan dinding pemisah yang melumpuhkan kehidupan, dan pemisahan jalur Gaza dan Tepi Barat yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Bahkan Waage dalam kesimpulannya juga menggambarkan Persetujuan Oslo merupakan sebuah model mediasi yang merugikan negara kecil atau pihak ketiga yang dalam posisi lemah dibandingkan pihak yang lebih kuat. Dalam hal ini AS dan Israel. Sedangkan negara kecil yang dalam posisi yang asimetris, adalah Palestina.

Dalam model Oslo Agreement ini, Norwegia sebagai mediator, menurut Waage, sejatinya merupakan “pesuruh” Israel. Oslo I dan II hakekatnya merupakan sebuah hasil kesepakatan damai yang menguntungkan Israel dan AS. Kalau tidak mau dikatakan sesuai arahan dan instruksi kedua negara tersebut.

Saran Bacaan:

  1. Noam Chomsky, Who Rules the World? Terbitan 2006.
  2. Hilde Henriksen Waage, “Postscript to Oslo, The Mystery of Norway’s Missing Files, Journal of Palestine Studies, 38.
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com