Kemana Isu Dualisme Batam Berlabuh? (Bagian ke-3/Habis)

Bagikan artikel ini

Ketika Cina memprakasai pembangunan Kra Thailand, sebuah terusan —mirip Terusan Suez— pada semenanjung tersempit di Thailand. Secara geopolitik, keputusan tersebut merupakan langkah sangat strategis. Kenapa demikian, selain membelah dua samudera (Pasifik dan Samudera Hindia) juga menyingkat waktu dan daya tempuh pelayaran dari LCS ke Lautan Hindia. Dan kelak jika terusan tersebut selasai (tahun 2025) maka geliat pelayaran internasional cenderung memilih Kra Thailand daripada Selat Malaka karena rute tersebut memangkas jarak sekitar 600-an mil. Secara data, inilah jalur value for money karena memenuhi unsur efektif, efisien dan ekonomis.

Sudah barang tentu, apabila Kra Thailand beroperasi niscaya akan muncul risiko baik kemungkinan, konsekuensi maupun dampak dari geopolitical warfare alias peperangan geopolitik dimaksud. Adapun belanja risiko akibat perang geopolitik kelak, antara lain:

Pertama, kemungkinan Singapura akan sepi bahkan cenderung “mati” kecuali ia mampu melakukan creative destruction (terobosan merusak) guna tetap menarik, merayu dan jaga langganan. Menjadi keniscayaan bahwa risk appetite (selera risiko) oleh Singapura akan diletak pada derajat minimal. Selain zero tolerance terhadap semua kemungkinan, ia juga akan fight secara maksimal dan “menggeliat” dengan sumber daya dan rujukan yang dimiliki karena hal itu menyangkut ruang hidup atau living space (lebensraum). Ya inti geopolitik adalah ruang. Dan geopolitik mengajarkan bahwa ruang merupakan ujud kedaulatan sebuah negara. Berkurang ruang hidup akan berimplikasi buruk pada bangsa karena berkurangnya “ruang bernafas” serta yang utama menyangkut kehormatan sebuah bangsa di mata dunia;

Kedua, keuntungan bagi pelayaran dunia menjadi lebih singkat, terutama jalur energi security punya Cina (80-an persen) pada aspek accessibility dari Lautan Hindia ke LCS. Adanya Kra Thailand membuat dinamika energy security Cina tidak lagi tergantung kepada Selat Malaka yang selama ini dalam kendali Paman Sam, sang kompetitor;

Ketiga, dengan beroperasinya Kra Thailand kelak, selain mengubah rute pelayaran dunia, niscaya bakal ada mapping geopolitik baru terkait pakta serta aliansi berkenaan baik ekonomi maupun aspek keamanan global.

Sesuai prolog catatan ini, konflik lokal bagian dari konflik global. Merujuk hal-hal di atas, bahwa isu dualisme Batam bukanlah faktor tunggal yang berdiri sendiri di internal negeri. Tetapi ada faktor-faktor lain tersirat.

Dari perspektif geopolitik global, Batam sepertinya cuma hendak dijadikan proxy war dalam makna “medan tempur” dalam perang geopolitik para adidaya terkait geopolitical shift dari Atlantik ke Asia Pasifik. Indikatornya silahkan cermati dan kembangkan dari tiga poin kemungkinan serta dampak di atas tadi.

Pada ujung catatan ini, bahwa kuat disinyalir, isu dualisme merupakan upaya “pelemahan” Batam dari sisi internal yang dimainkan oleh kekuatan-kekuatan eksternal melalui tangan-tangan (internal) lokal. Berbasis bukti keadaan (circumstantial evidence) dan bukti pola (pattern evidence) yang berkembang, secara fiksi geopolitik meramalkan:

Kemungkinan Ke-1, bahwa pelemahan Batam lewat isu dualisme leadership merupakan pintu Singapura dalam rangka “jaga langganan” melalui perluasan ruang hingga ke Batam. Selaras dengan perubahan power concept perilaku geopolitik dari power militer ke ekonomi, kelak jika ekonomi Batam jatuh ke titik nadir, Singapura akan mengakuisisinya dan menjadikan sebagai sub sektor pelabuhan dari sistem pelabuhan Singapura melalui skema B to B. Karena itu, langkah awal ialah lemahkan dulu kepemimpinannya atau leadership. Tunjuk orang-orang yang tidak kompeten baik secara knowledge, skill dan attitude;

Kemungkinan Ke-2, boleh jadi pelemahan Batam adalah rekayasa Cina. Artinya, ia ingin menguasai Batam melalui power ekonomi dengan skema Turnkey Project Management. Setelah Batam benar-benar “jatuh” dalam dekapan Cina, akan dijadikan pangkalan militer guna mengimbangi AS sebagaimana ia lakukan di beberapa negara Asia Pasifik dan Afrika yang terjebak dalam debt trap (jebakan utang).

Dua narasi kemungkinan di atas memang sebatas fiksi atau imajinasi, ataupun ramalan namun berbasis geopolitik dan manajemen risiko dengan merangkai kepingin puzzle (fakta) yang berserak di panggung geopolitik global.

Ya setiap tujuan pasti membawa korban atau tumbal. Itu sudah jamak dalam dunia geopolitik. Ketika Batam hendak dijadikan tumbal dalam peperangan geopolitik para adidaya melalui pintu ekonomi, ada beberapa rekomendasi disampaikan agar Batam tidak menjadi tumbal hegemoni. Antara lain adalah:

Pertama, menyambut Kra Thailand yang diprakirakan selesai 2025, maka Batam perlu bersolek sesuai permintaan pasar tanpa titik-titik kritis yang justru mengganggu dari sisi internal. Otoritas Batam juga mutlak harus diberikan kewenangan secara full power sebagaimana era Habibie dimana pertumbuhan ekonomi pernah mencapai 14%.

Kedua, ditunjuk sosok profesional dan ditempatkan staf kompeten selain knowledge, skill, attitude, juga memiliki wawasan global serta jaringan internasional dan yang utama, ia bukan dari politisi;

Ketiga, bubarkan Pemerintah Kota Batam agar tidak terjadi dualisme kepemimpinan yang berimplikasi adanya hak dan kewajiban serba (dua) double. Hal ini mutlak diperlukan demi kenyamanan, keamanan serta kepastian hukum warga Batam khususnya para investor;

Keempat, Batam adalah wajah Indonesia di Selat Malaka, jalur tersibuk kedua setelah Selat Hormuz. Bagaimana mampu meraih benefit takdir geopolitik Selat Malaka, sementara kegaduhan internal tak kunjung usai?

Demikian telaah kecil geopolitik berbasis manajamen risiko. Tak ada maksud menggurui siapapun terutama pihak-pihak yang berkompeten di bidangnya. Hanya sekedar sumbang saran atas isu dualisme di Batam agar nantinya terbit keputusan yang berpihak kepada kepentingan nasional RI.

Demikian adanya, demikian sebaiknya.

 M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com