Membaca Teks Peradaban Besar Bangsa Nusantara (Bagian 2)

Bagikan artikel ini
Imam Qalyubi, Staf pengajar linguistik pada prodi. Bahasa Inggris dan MK metode penelitian multikultural di Pasca Sarjana IAIN Palangka Raya Kalimantan Tengah
2. Asal Bangsa Nusantara 
Terkait dengan tanah asal bangsa Nusantara terdapat beberapa pandangan atau perspektif dari berbagai kajian keilmuan. Beberapa pandangan tersebut berasal dari kajian linguistik, antropologi, arkeologi dan genetika atau bahkan pandangan gabungan dari dua kajian keilmuan seperti kajian antropolinguistik, genolinguistik, linguistik historis komparatif dll.
Dari perspektif linguistik dikatakan bahwa orang Nusantara / Austronesia atau Melayu Polynesia berasal dari beberapa kemungkinan tempat seperti: Papua Timur Sebelah Barat Papua, Formosa, Mentawai dan sekitarnya (Dyen dalam Soepomo: TT). Sementara Blust via Belwood (2000) menyebut Melayu purba berasal dari Cina selatan dan Belwood (2000) menyebut Melayu berasal dari Formosa (Taiwan). Penyebutan Formosa atau Taiwan seringkali menimbulkan sebuah persepsi yang salah bahwa orang Melayu itu berasal dari Cina karena sejatinya wilayah Formosa (Taiwan) yang kini menjadi wilayah Cina tersebut dulunya merupakan wilayah Melayu yang kini dalam kekuasaan bangsa Cina.
Adanya anggapan yang salah terkait bangsa Nusantara berasal dari Cina semakin menyuburkan klaim-klaim yang menyatakan bahwa leluhur orang Indonesia berasal dari Cina. Anggapan tersebut tentu menyesatkan karena dikaji dari aspek bahasa8 antara orang Nusantara dengan orang Cina tidak memiliki kaitan apapapun selain hanya sebagai hubungan sosial kemanusiaan.
Lebih lanjut terkait dengan wilayah asal bangsa Nusantara jika mengacu pada temuan mutakhir yang cukup fenomenal sebagaimana yang diutarakan oleh Nothofer via Collins (2005) menyebutkan bahwa bahasa atau penutur Melayu berasal dari Kalimantan Barat. Diperkirakan bahwa Melayu purba tersebut telah berusia dua juta tahun. Penutur bahasa Melayu memiliki ciri-ciri ekologis rawa-rawa, tanah basah, delta dan pantai. Dari ciri-ciri ekologis tersebut dimungkinkan bangsa Melayu purba memiliki teknologi pelayaran yang dahsyat. Fakta-fakta ini sejalan dengan asumsi Reid (2008) Hoogervorst (2013) yang menyiratkan pesan bahwa tidak ada dunia pelayaran yang lebih dahsyat di Asia Tenggara kecuali bangsa Melayu Nusantara, bahkan jika dibandingkan dengan teknologi perkapalan bangsa Cina dan India sekalipun. Jika kemudian Belwood (2000) berpendapat bahwa Melayu berasal dari Taiwan dan Formosa itupun juga benar karena Melayu yang terdapat di Formosa atau Taiwan pada awalnya memang orang-orang Melayu yang sebelumnya hijrah dari tempat asalnya di Kalimatan Barat dan bergerak ke arah utara menuju wilayah Formosa atau Taiwan sekitar 10 ribu tahun yang lalu. Orang Melayu purba yang terdapat di Kalimantan tersebut kemudian berpencar dengan pola perjalanan searah jarum jam.
Kajian tentang tanah asal orang Nusantara juga disokong oleh penelitian arkeologis William Meacham dan Willheim Solheim yang mempromosikan idenya bahwa leluhur orang-orang Polinesia dan Indonesia masa kini dulunya tinggal di benua Asia Tenggara yang tenggelam dan tidak berasal dari Cina (Oppenheimer 2010: xxii).
3. Hantu Laut dari Timur dan Keandalan Teknologi Navigasi Bangsa Nusantara 
Dari sekian banyak catatan tentang Nusantara baik Lombard, Oppenheimer, Pires maupun Reid menggambarkan secara gamblang bagaimana bangsa Nusantara baik pra-Masehi maupun Pasca-Masehi telah menyentuh sebagian besar tanah Afrika, Amerika, dan benua Oseania hal tersebut berdasarkan adanya temuan unsur kesamaan bahasa bertipe aglutinatif yang terdapat di benua-benua tersebut. Tanpa keahlian navigasi yang baik dan tanpa didukung oleh tehnologi pembuatan kapal sangat mustahil bangsa Nusantara akan mampu menjelajahi ribuan mil lautan dan melewati beberapa benua. Tidak salah jika kemudian Hoogervorst (2013) membuat thesis bahwa ternyata tekhnologi perkapalan India mengadopsi dari pembuatan kapal Nusantara.
Sebagai bangsa yang sebagian besar hidupnya dipertaruhkan di laut sehingga kemudian bangsa Nusantara memiliki banyak suku yang menyandang sebutan sebagai orang atau suku laut. Tercatat beberapa suku laut yang ada di Nusantara antara lain : Suku laut Moken di Thailand Selatan, Myanmar, Malaysia, Suku Laut Dayak Iban di Kalimantan, Suku Laut Bajau di Sulawesi, dan Suku Laut atau Orang selat di Riau Kalimantan dan masih banyak lagi. Penamaan suku laut semacam ini sulit ditemukan di tempat manapun di dunia ini.
Dalam catatan para ahli sejarah dan berdasarkan naskah-naskah kuno terdapat beberapa penyebutan yang ditujukan pada pelaut bangsa Nusantara antara lain: “ pengelana dari timur,  “hantu dari timur”, “pengembara laut”, “Dewa Ra dari timur”,  dan “setan dari timur” (periksa, Oppenheiemer 2010, Reid 2008, Lombard 1981, Collins 2005, dan Pires 2015)
Ungkapan-ungkapan setan9 atau hantu dari timur pada konteks masa lalu bukan sebuah bentuk penghinaan pada bangsa timur justru sebagai bentuk penghormatan tinggi. Sebutan hantu itulah yang kemudian diabadikan secara cerdas oleh angkatan laut Tentara Nasional Indonesia sebagai motornya yaitu “hantu laut”. Motto itu seakan menjadi sebuah bentuk reinkarnasi atau lahirnya kembali orang Nusantara sebagai penguasa atau hantu laut dunia dari timur.  Inilah siklus kehidupan dunia bahwa anak laut akan kembali melahirkan anak laut dan anak agraris akan melahirkan anak agraris dan anak gurun akan melahirkan anak gurun.
Lebih jauh membaca karya Lafont, Lombard, Robert Dick Reid, Stephen Oppenheimer, Tom Hoogervorst pasti kita akan larut dalam keharu biruan karena ternyata bangsa Nusantara pada masa lalu adalah sebuah entitas bangsa besar atau Maha Wangsa. Lafont mencatat bahwa pada abad VIII Masehi pada masa pemerintahan Setyawarman di Vietnam dan Kamboja mendapat serangan dari Jawa. Hal yang menarik dalam cacatan ini adalah bahwa invasi Jawa ke wilayah Vietnam dan Kamboja ini merupakan perang internal dalam satu dinasti “Warman”. Harus dipahami bersama bahwa Jawa dan Vietnam10 kemudian kamboja berasal dari dinasti yang sama yaitu dinasti “Warman”.  Dinasti “Warman di Jawa menganggap bahwa merekalah yang berhak menjadi junjungan dari semua dinasti ‘Warman” di Nusantara.  Diceritakan bahwa ribuan pasukan Jawa menggunakan kapal laut dilengkapi dengan peralatan navigasi yang canggih menuju ke arah utara untuk menyerang Vietnam dan Kamboja. Setelah sampai di wilayah Indochina tersebut pasukan Jawa secara membabi buta menyerang kuil-kuil hindu yang berada di sekitarnya. Tidak ada alasan yang pasti mengapa balatentara Jawa tersebut menyerang kuil tersebut.
Serangan balatentara Jawa ke wilayah Vietnam dan Kamboja dalam cacatan tersebut digambarkan secara sarkastik11 oleh saudara serumpun bangsa Campa sebagai tindakan brutal, kejam dan menjijikan. Hal ini dimungkinkan karena invasi orang Jawa telah berulang kali terjadi di tanah Campa, sehingga amarah orang Campa memuncak pada orang-orang Jawa (baca Coedes 1981: 42).
Invasi Jawa pada periode berikutnya pada masa pemerintahan Indrawarman pada tahun 787. Dalam invasi itu orang-orang Jawa merusak candi Bhadradihipaticvara yang terletak di sebelah barat ibukota Virapura, di dekat Phanrang sekarang kemudian Campa meminta bantuan Cina untuk menghalau serangan Jawa tersebut. Invasi besar Jawa terhadap wilayah-wilayah Indochina diperkirakan telah meruntuhkan kerajaan Tchen-la sehingga wajarlah kemudian jika Jajawarman II waktu mendirikan Angkorwat pada tahun 802 dengan geram bersumpah “negeri orang Kambuja tidak lagi takluk pada Jawa” (Lombard, 1981:287).
Keberanian orang Nusantara ternyata tidak hanya terjadi pada masa kerajaan-kerajaan kuno pada abad-abad kolonialisme awal juga begitu disegani dan ditakuti oleh bangsa-bangsa lain. Teringat sebuah kabar tentang raja Banten bernama Kiyai Senopati pada tahun 1619 pernah mengirim surat kepada Raja Inggris James I dan Gubernur Hindia di tanah jajahan Belanda J.P Coen. Dalam suratnya kepada raja Inggris dan petinggi Belanda tersebut Kiyai Senopati tanpa kata pemanis sedikitpun dengan tegas menolak upaya pemerintah Belanda dan Inggris yang berencana membangun sebuah benteng di Jayakarta/Jakarta. Begitu tegasnya isi dari surat tersebut sehingga para ahli bahasa barat menyebut surat tersebut sebagai  “Surat Berbisa dari Timur”.
Bersambung (Bagian 2 dari 4 tulisan)
Catatan Kaki:
  1. Tipe pembeda antara Melayu, Cina dan India dapat dibedakan pada aspek bahasa. Bahasa Melayu temasuk dalam tipe bahasa aglutinatif yaitu tipe bahasa yang hubungan gramatikalnya dan struktur katanya dinyatakan dengan kombinasi unsur-unsur bahasa secara bebas. Dalam bahasa aglutinasi pembentukan kata dibentuk melaui pengimbuhan, pemajemukan, pengulangan dll. Sementara bahasa Cina bertipe Isolatif/ Tone language atau bahasa bernada pembeda dimna struktur kalimatnya dibentuk berdasarkan urutan kata sedangkan bentuk katanaya tidak mengalami peberubahan secara morfologis akan tetapi perubahan karena adanya perbedaan nada itulah mengapa bahasa Cina disebut sebagai bahasa tone language atau bahasa bernada. Sementara bahasa India memiliki tipe bahasa Fleksi yaitu tipe bahasa yang susunan gramatiknya  dibentuk bukan dengan urutna katanya tapi dibentuk dengan infleksi. Bahasa yang bertipe fleksi struktur katanaya dibentuk oleh perubahan katanya. Bahasa yang masuk dalam katagori fleksi selain India adalah bahasa Arab dan bahasa Inggris. Dari aspek kebahasan saja jelas bahasa Nusantara tidak mememiliki kaitan erat dengan Cina maupun India.
  2. Istilah setan maupun hantu dalam sejarahnya bukan merupakan bentuk penghinaan justru kata itu bersinonim dengan ksatria, raja, penguasa namun pada masa kolonialisme barat terhadap timur menempatkan kata hantu dan setan sebagai makna yang negatif karenan kolonialisme berupaya menghancurkan simbol-simbol kelautan bangsa Nusantara agar dunia perdagangan mereka di laut aman oleh penguasa laut yang tidak lain adalah bangsa pribumi Nusantara.
  3. Sebagai bentuk satu kesatuan antara Jawa dan Vietnam sehingga istilah Jawa pada masa lalu  sering tumpang tindih penggunaannya  dengan nama Vietnam seperti penggunaan kata Yavana (bangsa Vietnam) dan Yavadwipapura (negeri orang Jawa)
  4. Gambaran buruk orang Campa yang tertulis pada prasasti berbahasa Sanskerta dari Po Nagar di Na-thrang terhadap orang Jawa berbunyi: “ Orang-orang yang lahir di negeri lain. Orang-orang yang hidup dari makanan yang lebih menjijikkan dari bangkai, orang-orang yang menakutkan, sama sekali hitam lagi kurus, mengerikan lagi jahat seperti maut, yang datangnya naik kapal” menghancurkan candi Po Nagar yang pertama, yang pembuatannya pelaksanaan raja Vichitrasagara. Mereka dikejar dengan kapal-kapal yang baik dan dikalahkan di laut”. Pandangan orang Vietnam terhadap orang Jawa memiliki kesamaan dengan catatan Oppenheimer yang mengutip buku Book of The Dead  dengan setting 3000 SM yang dalam catatan tersebut menyebut kata timur 16 kali. Timur diuraikan sebagai tempat penjagal di seberang lautan yang dari mana jiwa kita harus dilindungi. Dalam catatan itu juga disebutkan “daerah kekuasaan Manu di seberang air…di mana Ra kembali”. Dalam mitologi Hindu Manu adalah leluhur umat manusia, sosok reinkarnasinya adalah “Manu sang nelayan”.  Manu dalam tradisi India disebut sebagai Nuh.
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com