Mengenang Para Perintis Nasionalisme Indonesia di Papua

Bagikan artikel ini
Sekilas Tentang Kiprah Soegoro Atmoprasodjo
Meski bukan fokus utama dari kajiannya, Dr Bernarda Meteray melalui bukunya bertajuk Nasionalisme Ganda Orang Papua, telah mengungkap beberapa episode penting yang  memiliki nilai sejarah yang cukup penting terkait proses kesadaran berpolitik maupun penyemaian nasionalisme Indonesia di Papua.
Menurut Dr Meteray, kesadaran keindonesiaan pada diri orang Papua baru tersemai pada akhir 1945 ketika JPK an Eechoud merekrut beberapa orang Indonesia sebagai pegawai pemerintah kolonial Belanda, maupun ketika beberapa tokoh nasionalis Indonesia diasingkan Pemerintah Kolonial Belanda dari Batavia(Jakarta) ke Papua pada 1946.
Ada beberapa kisah menarik seputar proses penyemaian nasionalisme Indonesia di Papua yang umumnya berlangsung di bagian utara Papua seperti Holandia (sekarang Jayapura, Ibukota Papua), Biak, Serui dan Sorong.
Menelisik Jejak-Jejak Nasionalisme Indonesia di Papua 
Ketika Jepang mengakhiri masa kolonialismenya di Indonesia menyusul kemenangan tentara sekutu pada 1945, Pemerintah Belanda kembali memegang kendali di Papua dengan menggunakan tenaga Indonesia, antara lain Soegoro Admoprasodjo. Pria kelahiran Yogyakarta 23 September 1923 itu, merupakan bekas tawanan Digoel yang ditunjuk Van Eechoud menjadi pengajar dan direktur asrama ada Kursus Singkat Pamong Praja di kota Nica (sekarang kampung harapan). Di sana terdapat 12 barak yang tak hanya digunakan sebagai asrama, tapi juga tempat penyelenggaraan Kursus Singkat Pamong Praja, Kursus Mantri dan Sekolah Sambung untuk anak laki-laki, Jongens Vervolgschool.
Di sinilah lapisan elit politik Papua yang berhaluan nasionalisme Papua yang Pro Indonesia mulai terbangun. Orang Papua yang merupakan elit Papua pertama yang mengikuti pendidikan di kota Nica antara lain: Marcus Kaisiepo, Lukas Rumkorem, Lisias Rumbiak, Frans Kaisiepo, Nicolaas Jouwe, Marten Indey, Carinus Krey, Silas Papare, Baldus Mofu, O. Manupapami, dan Herman Wajoi.
Sebagai pengjarm Soegoro Atmoprasodjo mempunyai kesempatan memperkenalkan sejarah dan budaya Indonesia kepada peserta kursus. Menurut Corinus Krey sebagaimana dikutip oleh Dr Meteray, Soegoro merupakan orang pertama yang memperkenalkan nilai-nilai nasionalisme Indonesia kepada para siswa, di antaranya lagu Kebangsaan Indonesia Raya.
Kalau menelisik latarbelakang pendidikan Soegoro, peran sentralnya dalam membangun dan menanamkan nasionalisme Papua yang pro Indonesia, memang bisa dimengerti. Seogoro tercatat sebagai lulusan Pendidikan Taman Siswa dan aktivis Partai Indonesia yang dibuang ke Digoel, Tanah Merah pada 1935, atas tuduhan terlibat dalam pemberontakan 1926/1927 di Jawa Tengah terhadap pemerintahan kolonial Belanda.
Pada masa pendudukan Jepang, dia dibawa Pemerintah Belanda ke Australia pada 1942, yang pada perkembangannya kemudian Soegoro sebagai  bekas tahanan Digoel dipersiapkan Belanda untuk menghadapi Jepang. Kepercayaan yang diberikan oleh JPK van Eechoud sebagai direktur pertama Sekolah Pamong Praja di Holandia, karena dianggap loyal kepada Belanda.
Namun pada kenyataannya, penilaian Belanda tersebut terbukti salah kelak di kemudian hari. Misalnya ketika Soegoro memprakarsai pembentukan kelompok belajar di Sekolah Pamong Praja tersebut, maka para siswa yang ikut dalam kursus tersebut mulai memahami bahwa Papua merupakan bagian dari Indonesia. Melalui kelompok belajar itu, para siswa mulai tumbuh kesadaran politiknya karena secara intensif selain mendalami berbagai materi terkait nasionalisme, juga menjadi wadah mendiskusikan berbagai masalah politik.
Memang di tahapan awal, upaya Soegoro untuk membangun nasionalisme Indonesia di Papua memang belum membuahkan hasil. Para siswa masih sulit untuk memahami konsep baru tentang keindonesiaan yang diwujudkan dalam bentuk negara bangsa Indonesia.
Pada tataran ini, sepertinya Soegoro dan JPK van Eechoud sebagai pendiri Sekolah Pamong Praja, mempunyai dua agenda yang berbeda. Soegoro, cenderung menggunakan posisinya sebagai direktur Sekolah Pamong Praja untuk membangun nasionalisme Indonesia, sedangkan Eechoud lebih berupaya untuk membangun identitas kepapuaan.
Dalam berbagai diskusi, Soegoro terus  berusaha meyakinkan para siswanya untuk berpikir bahwa mereka adalah bagian dari bangsa Indonesia. Dalam proses pengenalan itu dia mencoba menggambarkan Indonesia sebagai suatu bangsa yang memiliki keanekaragaman seperti halnya orang Papua yang berasal dari banyak suku, Karena itu menurut Soegoro, bahwa meskipun terdapat berbagai perbedaan suku, bahaya, budaya, maupun agama, bukanlah halangan untuk membangun hubungan dengan masyarakat di luar Papua. Soegoro juga menegaskan bahwa bangsa Indonesia yang terdiri atas berbagai suku memerlukan persatuan untuk menentang Belanda.
Strategi Soegoro Atmoprasodjo Melawan Pemerintah Belanda di Papua
Nampaknya, komitmen Soegoro untuk menanamkan nasionalisme Indonesia di Papua tidak sebatas di ruang-ruang kuliah dan forum diskusi belaka. Bahkan kemudian berkembang menjadi sebuah pergerakan dan perjuangan.
Dia mengawali gerakannya dengan menemui ratusan eks tentara Heiho yang berada di Jayapura, khususnya yang berasal dari luar Papua yaitu Jwa dan Sumatera. Setelah jalin kontak dengan mereka, dia menyampaikan rencananya tentang aksi pada 15 dan 16 Desember 1945. Sekadar informasi, pada waktu itu banyak Orang Indonesia yang didatangkan Jepang ke Papua sebagai tentara dan buruh. Sebagian dari mereka dibebaskan dan sebagian lagi dipekerjakan sebagai serdadu tentara Pemerintahan Koloonia Belanda.
Lebih jauh lagi, Soegoro bahkan melakukan mobilisasi dan merenanakan pemberontakan dengan melibatkan siswa di kota Nica, juga anggota battalion Papua, antara lain Corinus Krey, Marcus Kaisiepo, Lukas Rumkoren, Lisias Rumbiak, Frans Kasiepo, dan dua orang asal Sumatera yaitu Sutan Hamid Siregar dan Aran Panjaitan.
Sayangnya, rencana pemberontakan itu sendiri gagal dilaksanakan. Sekitar 250 orng bekas Heiho asal Jawa dan Sumatera ditahan pihak  Belanda. Bahkan Soegoro pun dipenjara di Jayapura (Holandia).
Namun demikian, meski di dalam bui, Soegoro sama sekali tidak kehilangan inisiatif politik. Di dalam penjara Soegoro menyusun rencana mengadakan dua aksi pada Juli 1946 dan Januari 1947. Yang melibatkan Marthen Indey, Corinus Krey, Bastian Tauran, dan 11 orang Ambon yang profesinya tukang reparasi, lima tentara KNIL (Konindklijk Nederlantds-Indisch Leger), seorang anggota batalion Papua, dan 30 pemuda Papua yang berasal dari daerah sekitar Danau Sentani.
Singkat cerita, rencana ini pun gagal. Sehingga pemerintah  Belanda segera menangkap dan menginterogasi sekitar 25 orang, termasuk Soegoro Admoprasodjo, Sutan Hamid Siregar, Aran Panjaitan dan Corinus Krey. Soegoro sendiri dikenakan hukuman 14 tahun penjara. Mula-mula di Jayapura, kemudian dipindahkan ke Tanah Merah, Merauke. Willem Nottan(asal Tual, Kei) ditahan 10 tahun. Dan Muhammad Yusuf kena 8 tahun penjara.
Rupanya itu bukan berarti akhir dari riwayat Soegoro. Bersama Nottan dan lima tahanan lainnya, Soegoro berhasil melarikan diri dari penjara Merauke menuju Papua Nugini yang waktu itu masih berada dalam kekuasaan Australia.
Bagi JPK van Eechoud yang selama ini menganggap Soegoro merupakan anak emasnya, nampaknya salah perhitungan. Soegoro sejatinya merupakan seorang nasionalis. Meskipun melalui buku karya Dr Meteray, Van Eechoud memandang bahwa kebanyakan yang melakukan aktivitas politik adalah penduduk non-Papua yang dikoordinasikan oleh Soegoro Atmoprasodjo bersama kelompok Heiho asal Jawa, Sumatera, dan kelompok lain asal Ternate dan Tidore. Namun fakta sejarah ini tetap membuktikan bahwa dialah orang pertama Indonesia yang berperan besar mempengaruhi orang Papua menentang Belanda sesudah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945.
Gerungan, Marthen Indey, Corinus Krey dan Komite Indonesia Merdeka (KIM)
Selain Soegoro Atmoprasodjo, tokoh pencetus nasionalisme Indonesia di Papua adalah J Gerungan, yang memprakarsai pendirian Komite Indonesia Merdeka (KIM) pada 16 November 1946. J Gerungan merupakan seorang dokter wanita yang sebelumnya bekerja pada beberapa rumah sakit, seperti Central Burgelijk Ziekenhuis (CBZ) di Surabaya pada 1937, rumah sakit zending Immanuel di Bandung pada 1941, Rumah Sakit Gereja di Minahasa pada 1945, dan sanatorium rumah sakit Noongan di Minahasa, dan akhirnya dipindahkan ke rumah sakit di Papua.
Menurut keterangan Corinus Krey dalam bukunya berjudul Riwayat Hidup Corinus Krey, seperti juga dirujuk oleh Dr Meteray, bahwa untuk dirinya bersama J Gerungan mendirikan KIM sebagai organisasi politik pertama di Papua. Didirikan di Holandia(Jayapyura), tujuan utamanya memperjuangkan Indonesia merdeka. Anggota KIM berasal dari berbagai suku, di antaranya Poedjosoebroto (Jawa), petugas Dinas Penerangan, Corinus Krey, da Petrus Wettebossy (Papua), mantra di rumah sakit Hollandia Binnen, Marthens Indey (Papua), Lattuperisa, bekas pengajar di Sekolah Pamong Praja, Pani Nasution, dan Bastian Tauran.
Para penggerak KIM yang dimotori oleh Marthen Indey, Corinus Krey dan Nicolaas Jouwe, pada 13 Desember 1946 mengirim pernyataan sikap kepada residen Papua yang mana isinya sebagai berikut:
  1. Irian harus dimasukkan dalam federasi Indonesia, dari Sabang sampai Merauke, sesuai dengan yang sebelumnya dikenal sebagai Nederlands Indies.
  2. Menolak pernyataan Belanda yang tidak mau mengirim wakil Irian ke konferensi Bali. Orang Irian mempunyai hak untuk  berbicara d depan parlemen Negara Indonesia Serikat.
  3. Selama menjadi koloni Belanda, Pemerintah Belanda tidak pernah mengakui hak orang Irian dalam pemilihan, berpendapat, dan mengajukan pokok pikiran.
Pernyataan sikap Marthen Indey dan Corinus Krey Cs menggambarkan adanya  sikap elit Papua yang tidak setuju dengan pandangan Pemerintah Belanda untuk memisahkan Papua dari Wilayah Indonesia. Pada awalnya sikap elit Papua, seperti Nicolaas Jouwe, Lukas Jouwe, Marthen Indey dan Corinus Krey, sependapat untuk terus mendukung Papua menjadi bagian dari Indonesia. Namun belakangan, Nicolaas Jouwe dan Lukas Jouwe kemudian berubah pikiran dan mendukung usulan residen Belanda agar Papua tetap menjadi koloni Belanda.
Meski mendukung bergabungnya Papua  menjadi bagian Indonesia dalam kerangka negara federasi, namun harus diakui sikap konsisten Marthen Indey dan Corinus Krey beserta pengikut mereka dalam upaya memperjuangkan Papua masuk federasi Indonesia.
Menurut analisis Dr Meteray, kebijakan pemerintah kolonial Belanda yang mengambangkan status Papua dalam perundingan Linggarjati antara Indonesia dan Belanda, telah memicu menajamnya konflik antara elit politik Papua itu sendiri. Antara yang ingin Papua jadi bagian dari wilayah Indonesia, dan yang ingin Papua memiliki status tersendiri di luar Indonesia sebagaimana dijanjikan oleh pemerintah Kolonial Belanda.
Begitupun, seperti terungkap melalui arsip-arsip pemerintahan kolonial Belanda yang berhasil diakses Dr Meteray, kiprah KIM nampanya cukup mengkhawatirkan Belanda, karena semakin meluasnya gerakan yang dimotori oleh Marthen Indey dan Corinus Krey. Kedua tokoh sentral KIM ini dinilai punya andil besar dalam membangun opini terhadap masyarakat Papua dalam menyosialisasikan hasil perundingan Linggajati seraya mengupayakan Papua masuk ke dalam federasi Indonesia.
Tersemainya benih-benih nasionalisme Indonesia dalam diri orang Papua, nampaknya tidak lepas dari pengaruh dan peran Soegoro dan Gerungan, sehingga yang awalnya  Van Eechoud sebagai figure utama pejabat Pemerintah Belanda berupaya membangkitkan identitas dan kesadaran kepapuaan pada diri orang Papua sehingga bisa membangun daerahnya sendiri meski tetap dalam kerangka Pemerintahan Kolonial Belanda, namun Eechoud belakangan baru menyadari bahwa tujuannya yang semula sebatas untuk Percepatan Pembangunan Papua dan identitas Kepapuaan, kemudian meluas dan mengembang ke arah Pembangunan Keindonesiaan.
Penulis: Hendrajit, Pengkaji Geopolitik Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com