Meskipun Sudah Meminta Maaf, Pemerintah Jepang Tetap Mempertunjukkan Watak Agresif Dan Ekspansionistik

Bagikan artikel ini

Dalam berbagai kesempatan, pemerintahan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe sudah sempat meminta maaf atas sepak-terjang tentara Jepang pada Perang Dunia II di beberapa negara eks koloninya di Asia Pasifik. Namun meski sudah minta maaf terhadap para perempuan korban perbudakan seksual Jepang Comfort Woman atau Jugun Ianfu, namun perilaku pemerintah Jepang tetap mengesankan tidak merasa bersalah atas kejahatan perangnya di Asia Pasifik.

Pada 2014 lalu, misalnya, seorang menteri kabinet Jepang, Yoshitaka Shindo, Menteri Dalam Negeri dan Komunikasi, pada Januari 2014 mengunjungi kuil Yasukuni. Padahal, Bahkan enam hari sebelumnya, Perdana Menteri Shinzo Abe juga melakukan kunjungan pertamanya sebagai perdana menteri ke kuil itu, untuk menghormati korban perang Jepang, termasuk sejumlah pejabat tingkat tinggi yang dieksekusi karena kejahatan perang setelah Perang Dunia.
Padahal, di mata pemerintah Cina dan Korea (baik Selatan maupun Utara), Kuil Yasukuni dipandang sebagai Kuil Perang Bermasalah. Karena kuil tersebut mengingatkan kedua negara eks jajahan Jepang tersebut sebagai pingingat kebrutalan dan kebiadaban tentara Jepang semasa Perang Asia Timur Raya. Dengan kata lain, Kuil tersebut dipandang sebagai simbol Kejahatan Perang Jepang.
Kalau mau kilas balik lebih jauh lagi ke belakang, hal itu terjadi pada 1993. Ketika itu, merujuk pada sebuah berita dari AFP pada 1993, sebenarnya pemerintah Jepang, melalui jurubicaranya waktu itu, Yohei Kono, telah meminta maaf kepada para korban (Survivors) Jugun Ianfu dan mengakui keterlibatan Jepang sehingga menyebabkan penderitaan lahir dan batin terhadap para korban Ianfu tersebut (In a landmark 1993 statement, then chief Japanese government spokesman Yohei Kono apologized to former comfort women and acknowledged Japan’s involvement in causing their suffering).
Namun anehnya pada 2007, Perdana Menteri Shinzo Abe justru menyangkal keterlibatan Jepang dalam mendukung dan mendorong praktek perbudakan seksual tentara Jepang tersebut, dan bahkan mengatakan tak ada satu bukti pun yang menunjukkan bahwa Jepang secara langsung mendukung adanya perbukan seksual tentara Jepang.
Perdana Menteri Shinzo Abe boleh saja membantah keterlibatan pemerintah Jepang dalam mendukung praktek perbudakan seksual Jepang pada masa sebelum dan saat berlangsungnya Perang Dunia II. Namun dari berbagai sumber pustaka terkait penelitian seputar Jugun Ianfu, setidaknya diperkirakan 100 ribu sampai 400 ribu perempuan muda dipaksa untuk melayani “hasrat seksual” tentara Jepang sebelum dan saat berlangsungnya Perang Dunia II. Khususnya di negara-negara jajahan Jepang di kawasan Asia Pasifik seperti Korea, Cina, Taiwan, Filipina, Timor Leste,  dan tentu saja Indonesia.
Sekadar ilustrasi dalam kasus Indonesia, menarik informasi terbaru yang dilaporkan oleh Eka Hindra, research associate Global Future Institute dan peneliti independen tentang praktek perbudakan seksual yang berlangsung di Indonesia antara 1942-1945. Menurut informasi Eka, berdasarkan penelusuran arsip sementara di kota Solo, Jawa Tengah, terdapat 150 perempuan yang telah dijadikan Ianfu  di dua Ianjo yang diberi nama Fuji Ryokan dan Chiyoda Ryokan , di daerah Gladak. Bahkan secara khusus, Eka sempat mewawancarai Ianfu dari Karang Pandan, bernama Kasinem pada 2008-2011. Dugaan sementara , salah satu dari 150 Ianfu dengan nama Jepang Yako.
Tentu saja ini baru sepenggal kisah tragis perempuan Indonesia yang telah direndahkan martabat dan harga dirinya akibat praktek perbudakan seksual tentara Jepang di Indonesia.
Temuan Eka dari arsip di Solo bisa dinilai cukup kredibel mengingat reputasi dan rekam jejaknya yang  begitu intensif sebagai peneliti maupun advokator Ianfu Indonesia sejak 1999. Kisah Mardiyem asal Yogyakarta dan Suharti di Blitar, merupakan penemuannya yang telah membuka mata dunia. Eka juga sempat bertemu dengan saksi sejarah 67 tahun Silam bernama Sri Sukanti, survivor Ianfu dari Salatiga.
Sukanti mengisahkan sejarah kelam hidupnya dalam suka cita. Ia terlahir sebagai anak ke-11 dari 12 bersaudara dari seorang Wedana bernama Soedirman dan Ibunya, Sutijah, yang berasal dari kalangan rakyat biasa. Kisahnya dimulai pada pertengahan tahun 1945. “Di suatu siang sekitar pukul 11 datanglah dua orang Jepang berpakaian dinas tentara lengkap dengan samurai terselip dipinggangnya, ditemani Lurah desa Gundi bernama Djudi.
Lurah ini menunjukkan kepada kedua tentara Jepang kalau Wedana Soedirman memiliki anak gadis cantik jelita”. Singkat cerita, Sukanti bersaksi bahwa tentara Jepang yang membawanya itu bernama Ogawa. Malam pertama di sana, saya dimandikan, keramasi, dibedaki dan disalini baju oleh Ogawa persis seperti boneka”, kenangnya terpukul.
Untuk kisah selengkapnya, artikel Eka Hindra bisa diakses di (http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=7974&type=9#.UO5PDqxP1kg).
Dalam seminar yang kami adakan pada Oktober 2010 lalu di Jakarta, Sri Sukanti kami hadirkan sebagai salah seorang saksi hidup korban Ianfu. Kehadiran Ibu Sri Sukanti di hadapan peserta seminar sehari tentang Jugun Ianfu, Romusha dan Sejarah Kelam Militerisme di Indonesia Senin 25 Oktober lalu, sempat mengejutkan sekitar 65 orang peserta seminar yang hadir di Hotel Santika, Slipi, Jakarta. Kesaksiannya yang singkat namun penuh emosi tersebut membuktikan betapa kekejaman penjajahan Jepang di Indonesia pada 1942-1945, utamanya lewat kebijakan paksa bagi para perempuan Indonesia untuk menjadi budak seks tentara Jepang memang nyata adanya.
Dalam presentasinya di depan peserta seminar yang diselenggarakan oleh Global Future Institute tersebut, Sukanti berkata: “Selama menjadi Ianfu, saya diperlakukan seperti binatang oleh tentara Jepang. Saya diperlakukan seperti kuda. Setelah merdeka hingga sekarang saya sangat sedih karena tidak pernah ada perhatian dan solidaritas dari masyarakat maupun negara kepada saya yang telah menjadi korban kekejaman tentara Jepang.
Setelah Jepang pergi, saya menikah. Suami saya seorang tukang batu. Dari perkawinan itu saya tidak dikaruniai anak. Mungkin karena waktu menjadi Ianfu saya disuntik oleh tentara Jepang. Kalo tidak salah 16 kali saya disuntik. Dan kalo saya inget suntikan itu sedih saya. Sakit sekali. Pokoknya saya ini merasa hancur.
Yang diinginkan Sukanti, Rosa, Kasinem, dan Icih, sebenarnya sederhana saja. Permintaan maaf dari Pemerintah Jepang. Serta Rehabilitasi Reputasi dan nama baiknya bahwa mereka bukan “Perempuan Nakal” melainkan PSK paksa akibat sistem militerisme tentara Jepang dengan sengaja dan sadar memang memobilisasi dan memaksa para perempuan di negara koloni Jepang untuk jadi Wanita pemuas seks tentara-tentara Jepang.
Jugun Ianfu, Kejahatan Terorganisir ala Fasisme Jepang
Dari berbagai studi dan penelitian seputar Jugun Ianfu ini, memang sulit dibantah bahwa Tentara  Fasis Jepang memang mendukung serta melindungi praktek perbudakan seksual ini lewat sistem dan metode yang diterapkan dengan melibatkan Polisi Militer Jepang Kemp pei tai dan para kolaboratornya di negara-negara eks jajahan Jepang. Mulai dari penculikan, penahanan, hingga penyiksaan fisik. Bahkan bisa dibilang sebagai “pemerkosaan massal yang terorganisir” (organized mass raped). Bahkan data yang terdokumentasi melalui the amazon.com jumlah korban pemerkosaan massal tersebut berjumlah 10 juta orang. Mereka para korban tersebut tewas tanpa direhabilitasi nama dan reputasinya.
Temuan terkini yang tak kalah tragis, kembali dilaporkan oleh Eka Hindra.  Di Desa Emplawas di Kepulauan Babar, Maluku Tenggara Raya, pada Oktober 1944 terjadi pembantaian brutal terhadap 710 penduduk sipil oleh militer Jepang. Ternyata pada waktu itu desa Emplawas merupakan penghasil tembakau yang besar dengan panen yang cukup besar sekitar 6000 kg per tahunnya.
Militer Jepang diwakili oleh Shinohara melakukan tindak kekerasan untuk menguasai tembakau. Hal ini memicu kemarahan penduduk. Sehingga timbul aksi balas dendam dan berakhir dengan pembantaian hamper seluruh penduduk desa.
Sebelum dibantai dengan kejam, 25 perempuan muda termasuk Dominggas, dipisahkan dari penduduk untuk dijadikan Ianfu. Ada 2 Ianjo didirikan di pulau Babar.  Saya sendiri datang menyaksikan sisa-sisa tengkorak penduduk yang dibantai di kali Tiwi, dan berjumpa dengan Mama Domingas dalam keadaan kesehatan yang rapuh.
Kisah pembantaian yang brutal dan mengerikan di Emplawas sampai detik ini tidak diketahui publik Indonesia. Kasus ini pernah diangkat media Soeloeh Ra’jat pada 1947 dan Tempo pada 1986. Sejak itu kisah yang nun jauh di Tenggara Raya ini terkubur zaman.
Para korban Jugun Ianfu sekarang kalau masih hidupnya, usianya paling tidak sudah mencapai 80 tahun. Yang menjadi kekhawatiran kita semua, khususnya Global Future Institute, mereka para korban Ianfu (survivors) yang tersisa, pada akhirnya pun akan meninggal tanpa mendengar permintaan maaf resmi dari pemerintah Jepang, maupun kompensasi bagi para survivors maupun bagi para anggota keluarganya, dari pemerintah Jepang.
Dosa dan kejahatan perang tentara fasisme Jepang di Indonesia dan negara-negara kawasan Asia Pasifik, memang bisa dimaafkan. Namun pelajaran pahit dan sejarah kelam kebiadaban dan kejahatan perang yang dilakukan Jepang secara terorganisir pada saat menjelang dan saat berlangsungnya Perang Dunia II, rasa-rasanya tak mungkin akan kita lupakan sepanjang massa.
Indonesia boleh saja memperoleh keuntungan-keuntungan ekonomis melalui kerjasama erat dengan pemerintah Jepang. Namun Indonesia tidak boleh memperjualbelikan kesengsaraan dan penderitaan dari para leluhur dan nenek moyang bangsa Indonesia sendiri, yaitu kesengsaraan dan penderitaan para perempuan Indonesia yang telah dipaksa oleh pemerintah fasisme Jepang untuk menjadi “Budak Seksual” para serdadu Jepang di Indonesia.
Pada kesadaran ini, kita sebagai anak bangsa, kadang sampai pada sebuah pikiran, bahwa kemajuan dan keberhasilan bangsa Jepang saat ini, sejatinya bertumpu pada derita dan kesengsaraan para leluhur dan nenek moyang bangsa kita. Khususnya para perempuan Indonesia korban Jugun Ianfu.
Maka itu sejak 2011 lalu, Global Future Institute termasuk yang mendukung program penulisan buku tentang Perbudakan seksual militer Jepang di negara bersangkutan untuk dicetak menjadi buku. Untuk mengabadikan sejarah Hitam Bangsa Jepang saat Perang Dunia II di negara-negara eks jajahannya di Asia Pasifik, khususnya Indonesia.
Bicara soal Jugun Ianfu atau perbudakan seksual tentara Jepang, Irish Chang dalam bukunya yang menarik, The Rape of Nanking, The Forgotten Holocaust, mengungkap temuan penting terkait kejahatan perang Jepang di Naking, waktu itu Ibukota Cina di bawah kepemimpinan Jenderal Chiang Kai Shek.
Menurut penuturan Irish Chang, ketika tentara Jepang melakukan pemerkosaan masal terhadap para perempuan Cina pada 1937 ketiika tentara Jepang menginvasi Cina, pemerintah Jepang bukannya mengenakan sanksi hukum dan menuntut tanggungjawab tentara Jepang. Sebaliknya,komandan tingi Jepang malah memerintahkan untuk membuat rencana rahasia. Yaitu menciptakan sistem prostitusi militer rahasia yang super besar, yang pada perkembangannya akan memaksa ratusan ribu wanita dari seluruh Asia yang ketika itu negara-negaranya berada dalam cengkraman tentara Jepang.
Bahkan dalam temuan Irish Chang dalam bukunya yang hingga kini masih menjadi rujukan penting bagi kalangan yang mengkaji soal kejahatan perang Jepang di Asia Pasifik, pasukan ekspedisi Jepang di Cina Tengah, terbukti telah mengeluarkan sebuah perintah untuk menyiapkan rumah-rumah bordil/pelacuran selama masa penjajahan Jepang.
Melalui gambaran sekilas ini saja, sudah bisa disimpulkan bahwa model serupa juga diterapkan di beberapa negara Asia jajahan Jepang kala iu seperti di Filipina, Korea, Timor Leste dan Indonesia.
Sebagaimana penuturan kisah dari Irish Chang, kita bisa bayangkan derita dan rasa malu yang dialami para perempuan yang dipaksa untuk terlibat dalam rumah-rumah bordil yang merupakan bagian integral dari sistem perbudakan seksual yang diterapkan pemerintahan fasis Jepang ketika menjajah negara-negara Asia tersebut di atas.
Para korban Jugun Ianfu yang berhasil bertahan hidup setelah peristiwa kelam tersebut, umumnya menderita rasa malu seumur hidup, dikucilkan dari masyarakat dan lingkungannya karena dianggap sebagai pelacur, mandul, dan kesehatan yang berangsur menurun dan memburuk. Baik secara fisik maupun psikologis.
Kontradiksi Di Balik Permintaan Maaf Jepang Kepada Korea Pada 2015  
Ada baiknya kalau secara khusus menyorot soal Ianfu melalui keanehan dari hubungan Jepang-Korea. Pada 28 Desember 2015 lalu Pemerintah Jepang dan Korea Selatan bersepakat untuk menyelesaikan masalah Jugun Ianfu alias “para korban perbudakan seks” tentara Jepang di negara-negara jajahannya, yang dipaksa bekerja di rumah bordil Jepang selama berlangsungnya Perang Dunia II. Dan melalui Menteri Luar Negeri Fumio Kishida, Perdana Menteri Shinzo Abe menyampaikan permintaan maaf dan ungkapan penyesalan bagi para wanita Korea Selatan.
Membaca berita itu, kita pun patut mengapresiasi pernyataan Menteri Luar Negeri Jepang Fumio Kishida dalam keterangan persnya pada 28 Desember 2015, bahwa pemerintah Jepang mengakui secara tulus bahwa pihak militer Jepang pada Perang Dunia II memang telah merekrut para wanita untuk dijadikan “wanita penghibur” bagi militer Jepang, dan hal ini sangat melukai martabat dan kehormatan wanita.
Sayangnya, permintaan maaf Jepang yang terkesan tulus tersebut, ternyata merupakan manuver diplomatik untuk dijadikan tawar-menarwar politik dengan pemerintah Korea. Sepertinya ada ebuah kontradiksi di balik kesepakatan kedua negara tersebut. Yaitu, adanya desakan dari pihak Jepang agar Pemerintah Korea Selatan memindahkan Patung lambang wanita penghibur yang didirikan para aktivis di Seoul pada 2011 lalu itu, yang berlokasi  di seberang Kedutaan Besar Jepang di Seoul. Agar direlokasi ke tempat lain.
Bagi kami dari Global Future Institute, tentu saja sikap Jepang ini sama sekali tidak mencerminkan sikap resminya pada 28 Desember 2015 yang pada hakekatnya sudah meminta maaf, mengakui kesalahannya, dan merasa menyesal.
Padahal, patung tersebut justru merupakan simbol penderitaan yang dialami oleh para wanita Korea Selatan korban perbudakan seks tentara Jepang. Dan patung remaja juga merupakan lambang perjuangan mereka untuk memperoleh permintaan maaf resmi dan kompensasi dari Pemerintahan Jepang di Tokyo.
Namun sepertinya, sikap kontradiktif antara permintaan maaf pemerintah Jepang dan perilaku politiknya, juga tergambar melalui kebijakan luar negerinya terhadap Korea. Misalnya dalam soal klaim wilayah perbatasan, Jepang tetap bersikukuh untuk mengklaim Pulau Takeshima. Sehingga lagi-lagi membuktikan watak imperialistik dan ekspansionis Jepang masih tetap tidak berubah seperti semasa pemerintahan Fasis Jepang di Perang Dunia II.
Apalagi dalam menyikapi pasal 9 Konstitusi Jepang, pemerintahahan Shinzo Abe secara terang-terangan untuki memberi tafsir baru terhadap pasal 9 mengenai pengertian Pasukan Bela Diri Jepang. Jika tafsir baru pasal 9 ini menegaskan bahwa sudah saatnya sekarang tentara Jepang dijadikan kembali sebagai tentara regular, maka itu berarti tafsir baru pasal 9 akan dijadikan pintu masuk bangkitnya kembali militarisme Jepang. Setidaknya berpotensi besar ke arah itu.
Lagi-lagi, hal ini jadi bukti nyata bahwa permintaan maaf permintah Jepang atas kejahatan perangnya di masa lalu, tidak sejalan dengan perilaku politiknya yang tetap agresif dan ekspansionis seperti tergambar dalam klaim perbatasan dengan Korea Selatan maupun terkait pasal 9 Konstitusi Jepang.
Kalau menelisik kesejarahannya sehingga muncul pasal 9 ini, Sejak Perang Dunia II berakhir, Jepang sebagai negara kalah perang terhadap Amerika Serikat dan negara-negara sekutu, kemudian dilarang untuk memiliki Angkatan Bersenjata. Menurut Pasal 9 Undang-Undang Dasar Jepang, meski Jepang boleh memiliki Pasukan Bela Diri (Collective Self Defense). Namun pasal ini tidak membolehkan pasukan bela diri digunakan untuk tujuan agresi militer. Hanya sebatas untuk tujuan mempertahankan kedaulatan dan integritas territorial Jepang.
Nampaknya, interpretasi terhadap makna bela diri dan pertahanan inilah yang coba diberi makna baru oleh kalangan pendukung kebangkitan kembali kekuatan militer Jepang, atau bahkan militerisme Jepang. Celakanya, prakondisi di dalam negeri Jepang itu sendiri sepertinya mendukung ke arah kebangkitan militer tersebut. Terutama di kalangan ultra nasionalis Jepang baik sipil maupun militer.
Indikasi menguatnya aspirasi kalangan garis keras di Jepang untuk menghidupkan kembali militerisme Jepang, bisa ditelisik sejak 2010.  Menjelang peringatan kapitulasi Jepang pada Perang Dunia Kedua di Asia Pasifik pada 2 September 1945, pemerintahan dan berbagai elemen strategis di Jepang nampaknya mulai melakukan berbagai manuver yang bertujuan merehabiitasi kembali reputasi buruknya sebagai pemerintahan fasis pada era Perang Dunia Kedua. Khususnya terhadap bangsa-bangsa di kawasan Asia Pasifik yang mengalami secara langsung kekejaman pemerintahan Kolonial Jepang seperti di Indonesia, Malaysia, Singapura, Myanmar dan  Korea Selatan dan Cina.
Menurut penelusuran tim riset GFI, pada 15 Agustus 2010 lalu, Perdana Menteri Jepang secara eksplisit menyatakan penyesalannya terhadap “orang-orang” yang menderita akibat sepak-terjang pemerintahan fasis militerisme Jepang pada Perang Dunia Kedua.
Frase “orang-orang” yang digunakan Perdana Menteri Jepang secara jelas mengindikasikan keenggananan Jepang untuk mengakui dan meminta maaf secara terang-terangan terhadap berbagai negara di Asia Pasifik yang secara langsung mengalami penderitaan sepak terjang fasisme pemerintahan Kolonial Jepang. Seperti penerapan sistem kerja paksa (Romusha), dan kebijakan memaksa para wanita di negara-negara jajahan Jepang untuk menjadi Pekerja Seks atau yang kelak populer dengan sebutan Comfort Women (Jugun Ianfu).
Bukan itu saja. Dalam pertemuan para tokoh sayap kanan Eropa yang difasilitasi oleh Issui-kai alias “Masyarakat Rabu” yang juga berhauan fasisme ultra kanan tersebut, pemimpin gerakan tersebut, Mitsuhiro Kimura, terang-terangan meragukan pembunuhan oleh militer Jepang terhadap warga sipil China maupun dalam pemerkosaan Nanking 1937 (yang dikenal dengan peristiwa The Rape of Nanking) yang diperkirakan mencapai ratusan ribu korban jiwa, dan juga menyangkal diterapkannya kebijakan perbudakan seksual atas “wanita sebagai budak nafsu” bagi tentara Jepang.
Indikasi lain yang tidak kalah mengkhawatirkan adalah penyelenggaraan kontes penulisan esay tentang PD II dengan tema ‘True Modern Historical Perspective’ pada 2008 lalu, yang disponsori oleh seorang pebisnis sayap kanan Jepang, Toshio Montoya.
Motivasi Jepang untuk menghapus dosa-dosa sejarah dan kejahatan perang pada PD II terlihat jelas melalui penyelenggaraan kontes penulisan sejarah ini, karena dari 235 peserta kontes, 94 diantaranya merupakan personil Angkatan Udara Bela Diri Jepang (ASDF).
Wajar saja jika hal ini memicu kecurigaan bahwa para personil ASDF tersebut mendapat perintah dan arahan dari para komandannya untuk mengirimkan naskah tulisan yang temanya segaris dengan misi kontes untuk membersihkan dosa-dosa sejarah Jepang pada PD II.
Kontes penulisan yang kemudian dimenangi oleh Kepala Staf Angkatan Udara Bela Diri Jepang, Toshio Tamogami ini memperkuat kecurigaan tersebut. Judul esay yang ditulis oleh Toshio Tamogami; ‘Benarkah Jepang Merupakan Bangsa Agresor?’, sudah jelas menggugat dan membantah peran Jepang sebagai aggressor di Asia Pasifik.
Benarkah Jepang sedang berupaya membangkitkan kembali militerismenya seperti di era Perang Dunia Kedua? Nampaknya ada upaya pemerintah dan beberapa elemen sayap kanan Jepang untuk kembali berjaya secara militer seperti di masa Perang Dunia Kedua.
Beberapa media massa terbitan 28 Juli 2010 lalu, mewartakan bahwa panel para ahli telah merekomendasikan kepada Perdana Menteri Jepang Naoto Kan agar Jepang mengkaji ulang kebijakan pasifisnya. Dan mendesak agar Jepang mengerahkan lebih banyak pasukannya ke wilayah pesisir yang kini sering dilalui angkatan laut Cina. Selain itu. Panel para ahli Pertahanan Jepang itu juga mendesak pemerintah Jepang agar melonggarkan kebijakan tentang transfer senjata nuklir di wilayah negaranya.
Ini tentu saja rekomendasi yang cukup serius karena dengan jelas mengindikasikan bahwa upaya membangkitkan kembali militerisme Jepang sudah pada taraf proses pembuatan dan perumusan kebijakan pertahanan Jepang secara menyeluruh dan mendasar. Jadi bukan sekadar wacana atau keinginan segelintir politisi atau mantan perwira militer berhaluan ultra kanan Jepang. Namun indikasi kebangkitan kembali militer Jepang sudah harus dilihat dalam kerangka kebijakan revisi kebijakan pertahanan Jepang secara menyeluruh.
Apakah rencana perubahan interpretasi pasal 9 UUD Jepang bidang pertahanan ini merupakan tindak lanjut dari rekomendasi panel para ahli? Nampaknya memang seperti itu. Sebab panel para ahli ersebut bahkan sudah sampai pada kata sepakat bahwa panduan pertahanan Jepang di era Perang Dingin sudah kadaluwarsa alias ketinggalan zaman.
Menurut pandangan panel para ahli, untuk menghadapi semakin meningkatnya ancaman dari Semenanjung Korea dan Selat Taiwan, Jepang sudah saatnya besiap dan bersiaga untuk menghadapi segala kemungkinan yang terjadi. Rekomendasi ini bisa diartikan sebagai desakan untuk merubah postur pertahanan Jepang yang tadinya defensif dan cenderung pasifis, menjadi postur pertahanan yang agresif dan bila perlu, kembali ekspansif seperti pada masa Perang Dunia Kedua.
Inilah yang menjelaskan mengapa terjadi kontradiksi antara permintaan maaf pemerintah Jepang pada satu sisi, namun tetap mempertunjukkan sikap agresifnya terhadap beberapa negara tetangga maupun untuk konsumsi masyarakat Jepang itu sendiri.
Penulis : Hendrajit, Pengkaji Geopolitik dan Direktur Eksekutif Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com