Yaman: Perang Obama Selanjutnya? (3)

Bagikan artikel ini

Dina Y. Sulaeman

Somalia berbatasan dengan Arab Saudi di utara, Laut Merah di Barat, Teluk Aden dan Laut Arab di selatan, di seberang Teluk Aden ada Somalia, Jibouti. Di sebelah Jibouti berderet Eritrea, Sudan, dan Mesir. Dengan demikian, semua negara itu (Arab Saudi, Mesir, Somalia, Jibouti, Eritrea, Sudan, dan Yaman saling berhadapan dengan Selat Mandab (Bab el Mandab) yang super-strategis. Tanker-tanker minyak dari Teluk Persia harus lewat ke Selat Mandab, baru kemudian melewati Kanal Suez, dan menuju Mediterania.

William Engdahl dari Global Research menganalisis bahwa jika AS punya alasan yang diterima opini publik internasional untuk memiliterisasi Selat Mandab, AS akan punya kartu truf di hadapan Uni Eropa dan China bila mereka ‘berani’ di hadapan AS. Suplai energi China dan Eropa sangat bergantung dari Selat Mandab. Bahkan Selat Mandab bisa dipakai AS untuk menekan Arab Saudi agar tetap melakukan transaksi dalam dollar Amerika (sebagaimana pernah diberitakan media, Arab Saudi dan beberapa negara –termasuk Iran-pernah melontarkan keinginan untuk melakukan transaksi tidak dengan dollar). Engdahl juga menyebutkan adanya informasi dari Washington bahwa ada sumber minyak yang luar biasa besar di Yaman, yang sama sekali belum dieksplorasi.

Engdahl kemudian menyoroti kasus bajak laut Somalia yang membuat kacau di Selat Mandab selama dua tahun terakhir. Pertanyaannya: bagaimana mungkin bajak laut dari negara gagal ranking satu sampai punya senjata dan logistik yang canggih sampai-sampai dalam dua tahun terakhir mampu membajak 80 kapal dari berbagai negara? Bahkan pembajak Somalia itu memakai gaya-gaya penjahat di negara maju: menelpon langsung kantor koran Times di Inggris, memberitahukan bahwa mereka sudah membajak.

Merajalelanya perompak Somalia di Selat Mandab memberi alasan kepada AS untuk menaruh kapal perangnya di sana. Pemerintah Mesir, Sudan, Jibouti, Eritrea, Somalia, Arab Saudi, sudah terkooptasi oleh AS sehingga diperkirakan tidak akan memberikan reaksi negatif bagi militerisasi AS di Selat Mandab. Kini, masih ada satu negara di sekeliling Selat Mandab yang masih perlu ditaklukkan: Yaman.

Pemerintah Yaman memang pro-AS, tapi masalahnya, Presiden Ali Abdullah Saleh tidak cukup kuat untuk mengontrol negaranya. Republik Yaman baru terbentuk pada tahun 1990 dengan menyatukan Yaman Utara dan Yaman Selatan. Perang saudara di Yaman sudah lama berlangsung dan pemerintah Yaman tak mampu mengontrolnya (baca lagi karakter weak states di bagian 2). Karena itu, strategi yang selama ini dipakai AS di Irak akan diulangi lagi: agar AS bisa menguasai Yaman (minimalnya, mengatur pemerintah Yaman agar sesuai dengan kehendak AS), Yaman harus disibukkan dengan konflik internal. AS akan mendukung satu kelompok dalam melemahkan kelompok yang lain.

Kali ini, kelompok yang dijadikan kambing hitam lebih dari satu: di Yaman Utara ada gerakan Houthi yang dipimpin Husein Al-Houthi (bermazhab Syiah Zaidiyah), di Yaman selatan ada Southern Movement Coalition yang dipimpin Al Fadhli (yang bermazhab Sunni Salafi). Kedua kelompok ini selama bertahun-tahun telah beroposisi pada Presiden Saleh yang mereka anggap despotik.

Untuk memberangus Houthi, isu Syiah dan Iran dihembus-hembuskan (catatan: bahkan media-media Islam Indonesia macam Sabili dan era Muslim ikut berpartisipasi dalam isu ini). Houthi dituduh ingin melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan Presiden Saleh (yang Sunni) dan mendapatkan bantuan Iran untuk mendirikan negara Syiah. Bahkan, Arab Saudi dan AS ikut ‘membantu’ pemerintah Yaman dengan membombardir wilayah Yaman utara pada pertengahan Desember 2009. Ratusan suku Houthi tewas.

Sedangkan untuk membungkan perlawanan kaum Sunni di Yaman Selatan, tak lain tak bukan: isu terorisme dihembuskan. Tiba-tiba saja, Al Qaida buka ‘cabang’ di Yaman, lalu ada agennya yang membawa bahan peledak di pesawat AS. AS pun menggelontorkan dana ratusan juta dollar untuk membantu Presiden Saleh memberantas terorisme (baca bagian 1). Jauh-jauh hari, Al Fadhli, pemimpin gerakan Koalisi Selatan yang beraliran Salafi dalam wawancaranya Al-Sharq al-Awsat (14/5/ 2009) membantah keras keterkaitannya dengan Al Qaida. Namun, ‘kebetulan’ pula, pada hari yang sama—melalui internet—Al Wahasyhi, pimpinan Al Qaida’cabang Yaman’ menyatakan dukungannya pada perjuangan Al Fadhli.

Menyikapi isu keterkaitan Iran-Houthi: menurut saya, itu terlalu dibuat-buat dan hanya ingin mendistorsi opini publik. Iran dan Houthi sama-sama Syiah, tapi beda mazhab. Houthi yang Zaidiyah tidak akan pernah mau berpatron pada Iran yang beraliran “12 Imam”.

Menyikapi isu merebaknya Al Qaida di Yaman dengan alasan bahwa Yaman adalah ‘negara gagal’, saya kutip saja kalimat parodik dari BBC, “And in this weapon-happy country, militants do not need al-Qaeda basic training camps as everyone here already knows how to use the weapons of guerrilla warfare.”

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com