Dalam sebuah laporan yang dimuat di Global Times, China akan merilis laporan penelitian 2020 tentang kehadiran militer AS di kawasan Asia-Pasifik di tengah meningkatnya aktivitas militer AS di dekat China, termasuk berulang kali masuk tanpa izin ke perairan teritorial China di Laut Cina Selatan dengan sejumlah kapal perang tahun ini. Karena itu, potensi konflik antara kedua negara adidaya tersebut harus segera dicegah agar tidak menyulut konflik yang lebih meluas.
Laporan itu akan dirilis oleh National Institute for South China Sea Studies China pada Selasa besok. Laporan tersebut merinci kebijakan keamanan AS, kehadiran dan penyebaran militer, kegiatan militer baru-baru ini dan hubungan keamanan di wilayah tersebut.
Laporan juga menyorot perubahan yang dibawa oleh kembalinya AS ke kompetisi kekuatan besar es-Perang Dingin terhadap hubungan militer China-AS, dan mengevaluasi peran positif hubungan militer China-AS dalam menstabilkan hubungan bilateral di era baru, demikian menurut abstrak laporan yang dikirim lembaga kajian tersebut ke Global Times pada Minggu kemarin.
Laporan tersebut mencatat bahwa sejak menjabat sebagai presiden AS pada awal 2017, Trump kerap menyauarakan adanya “persaingan kekuatan besar,” yang mengingatkan pada Perang Dingin, untuk pertama kalinya dalam dokumen strategi keamanan nasional, dan strategi Indo-Pasifiknya yang dibuat pada akhir 2018. Strategi AS pada akhirnya bertujuan melindungi supremasi AS dalam urusan global dan regional, tidak hanya mencakup masalah keamanan tetapi juga masalah politik dan ekonomi.
Menurut laporan itu, AS memiliki 375.000 anggota tamtama dari Komando Indo-Pasifiknya, termasuk 60 persen kapal Angkatan Lautnya, 55 persen Angkatan Daratnya, dan dua pertiga Korps Marinirnya. Selain itu, dengan 85.000 tentara yang dikerahkan dan sejumlah besar teknologi tinggi dan persenjataan baru, militer AS telah mempertahankan supremasi absolutnya di Asia-Pasifik selama bertahun-tahun, sementara juga terus mencari penyebaran baru, anggaran dan sumber daya sebagai respon atas pengembangan militer China dan Rusia, dua negara yang selama ini menjadi kompetitor utama AS.
Pada tahun 2020, AS mengambil serangkaian langkah untuk mengendalikan China, dengan topik termasuk COVID-19, Hong Kong, Taiwan, teknologi tinggi dan militer. Baru-baru ini, kapal perang AS berulang kali masuk tanpa izin ke perairan teritorial China di sekitar pulau Xisha dan Nansha, melakukan operasi di Laut Cina Selatan dan melintasi Selat Taiwan. Bahkan AS telah mengerahkan tiga kapal induknya ke wilayah tersebut.
Ahli militer China mengatakan kepada Global Times bahwa China telah mengusir kapal perang AS yang masuk tanpa izin dan melakukan latihan untuk meningkatkan kemampuan tempurnya, sembari menunjukkan kemauan dan kemampuannya untuk menjaga kedaulatan dan integritas teritorialnya.
Operasi militer AS dapat dengan mudah memicu konflik dan sengketa, yang berpotensi meningkatkan ketegangan di kawan, demikian kata para ahli.
Mengingat kedekatan mereka dengan hubungan negara-ke-negara dan keamanan nasional, tidak ada keraguan bahwa konfrontasi dan bahkan memburuknya hubungan militer antara China dan AS akan secara substansial meningkatkan kemungkinan terjadinya konflik, atau bahkan krisis dalam hubungan bilateral mereka.
Laporan tersebut juga menyebutkan, konflik antara kedua negara adidaya tersebut tentu tidak diharapkan bakal oleh negara-negara lain di kawasan itu. Hal ini cukup beralasan, mengingat ketika konflik itu terjadi, negera-negara di sekitarnya akan dipaksa untuk memilih pihak-pihak antara China dan AS karena setiap konflik militer antara kedua negara akan membuat mereka terlibat.
China telah secara aktif dan tepat mampu menangani masalah hubungan militernya dengan AS sesuai dengan prinsip-prinsip non-konflik, non-konfrontasi, saling menghormati dan kerja sama saling menguntungkan. Dengan demikian, kedua negara tersebut perlu fokus pada pengelolaan perbedaan mereka dan mencegah konflik.
AS, di sisi lain, telah mengerahkan sejumlah besar pasukannya ke depan, memperkuat dan memperdalam aliansi militernya dan melakukan kegiatan provokatif intensif yang ditargetkan menyasar China, meninggalkan China tanpa alternatif selain meningkatkan anggaran militer dan membangun pasukan militernya yang sesuai untuk menegakkan keamanan nasionalnya.
Laporan itu juga menyarankan agar kedua negara bisa menjaga saluran komunikasi tetap terbuka, menerapkan pembangunan kepercayaan militer dan perjanjian pencegahan krisis. Selain itu, keduanya juga juga diharapkan mampu menciptakan kondisi untuk komunikasi dan dialog tentang keamanan nuklir, dunia maya, ruang luar angkasa dan kecerdasan buatan untuk mengelola perbedaan mereka dan mencegah konflik.
Sudarto Murtaufiq, peneliti senior Global Future Institue