Naked Invasion: Antitesis Silent Invasion 

Bagikan artikel ini

Menariknya perilaku geopolitik global selalu berubah dan bergerak sesuai tuntutan zaman. Istilah zaman now misalnya, sesungguhnya hanya ingin menegaskan bahwa ia berbeda dengan zaman old. Di balik itu, ada pola yang berputar seperti jarum jam. Serupa tapi tak sama, berbeda-beda tetaplah sama. Bila dunia marketing ada adagium “follow the market,” jika dunia finansial terdapat kredo “follow the money,” maka di dunia geopolitik berlaku dogma “follow the oil“. Ketiganya, sejatinya serupa karena terkait geoekonomi. Sekali lagi, mereka serupa tetapi tak sama, ketiganya — seperti berbeda namun sejatinya sama. If you would understand world geopolitic today, follow the oil (Deep Stoat). Kenapa? ruh geopolitik tak berubah sepanjang masa yakni meraih geoekonomi. Inti geoekonomi adalah food and energy security. Market itu proses pada tahapan geoekonomi, money itu ujung daripada geoekonomi, pun demikian pula dengan oil alias minyak. Itu sekedar prolog guna mengantar bahasan sesuai judul di atas.

Selanjutnya jika silent invasion (invasi senyap) sebagai ciri peperangan nirmiliter (asymmetric warfare) merupakan antitesa dari invasi militer dalam hingar bingar perang konvensional, tampaknya kini muncul sintesa atas invasi militer di atas yaitu naked invasion (invasi terang-terangan/telanjang), dan/atau naked invasion tersebut merupakan antitesa dari invasi senyap itu sendiri. Pola akademisnya: “Tesis – Antitesis – Sintesis,” maka urutannya adalah invasi militer – invasi senyap – naked invasion. Pertanyaan menggelitik muncul, “Kelak apa lagi antitesis dari naked invasion?” Let them think let them decide. Biarlah waktu yang menjawab.

Istilah naked invasion itu sendiri dicetuskan oleh Dirgo D Purbo pada diskusi terbatas di Whatsapp (WA) dalam forum KENARI (Kepentingan Nasional RI) tatkala mencermati berbagai paradoks geopolitik dan ironi geoekonomi yang berlangsung di republik tercinta ini. Betapa negeri agraris dengan dua musim serta bercurah hujan tinggi, tetapi mengimpor berbagai komoditi yang justru berlimpah di negeri ini, seperti kacang hijau, kedelai, singkong, bahkan kemenyan pun impor, dan lain-lain; negara dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia, namun mengimpor garam, ikan asin, bahkan ikan laut. Lagi-lagi, istilah naked invasion mencuat ketika Indonesia mengimpor beras dikala petani sedang dalam masa panen padi. Inilah yang kini terjadi di republik tercinta ini, peperangan asimetris melalui pintu ‘utang’ belum mampu sepenuhnya diantisipasi oleh segenap elit politik dan komponen bangsa ini, muncul lagi model asymmetric warfare terbaru yakni naked invasion, modus invasi terang-terangan dalam rangka menggerus food and energy security sebuah negara tetapi tanpa letusan peluru – tak ada asap mesiu.

Tiba-tiba saya teringat ucapan Jenderal Charles de Gaulle (1890-1970), pemimpin militer dan negarawan Perancis: “Yang alergi dengan kedaulatan pribumi hanya dua, penjajah asing dan budak asing”.

Terima kasih

M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com