Cukup Sudah Penjajahan Ekonomi dan Pertambangan Amerika Serikat di Papua

Bagikan artikel ini

Freeport bukan sekadar hitung-hitungan investasi ekonomi, melainkan merupakan simbol penjajahan ekonomi Amerika Serikat di Papua. Selain itu, kontrak pertambangan dengan Freeport merupakan kali pertama kontrak yang menguntungkan perusahaan asing.

Imperialisme ekonomi Amerika Serikat di Papua bermula di era awal pemerintahan Presiden Suharto pada 1967. Adalah John D Rockefeller yang sudah menyiapkan sebuah draf undang-undang untuk ditandatangani Suharto. Presiden Indonesia kedua ini dipaksa untuk membubuhkan tanda tangan di beberapa carik kertas UU No 1/1967 tentang Penanaman modal asing. Sekadar informasi, John D Rockefeller merupakan putra dari John D Rockefeller Sr. Sang ayah  merupakan industriawan terkaya di Amerika sekaligus filantropis terbesar dunia. Salah satu korporasi migas-nya yang terkenal adalah Standard Oil.

Cerita selintas tentang dinasti Rockefeller itu hanya untuk menggambarkan betapa peralihan pemerintahan Presiden Sukarno kepada Presiden Suharto sejak 1966, sudah sarat dengan pengaruh dan tekanan kepentingan asing, khususnya Amerika Serikat, agar perusahaan-perusahaannya bisa beroperasi di Indonesia bebas hambatan dan gangguan.
UU No 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing, merupakan salah satu keberhasilan korporasi asing dalam merembeskan kepentingannya melalui produk hukum dan perundang-undangan. Apalagi di era pemerintahan Suharto, meskipun semua produk-produk perundang-undangan harus melewati DPR, namun pada prakteknya semuanya tergantung pada instruksi dan arahan Suharto sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara.
Maka, sebagai tindak-lanjut dari UU No 1/1967 itu, Freeport Sulphur yang kelak berganti nama menjadi Freeport McMoran Copper & Gold, merupakan perusahaan asing pertama yang berurusan dengan pemerintahan Suharto. Melalui kontrak pertambangan dengan Freeport ini pula, merupakan kali pertama yang menandai kontrak yang menguntungkan perusahaan asing.
Ketika Sukarno masih berkuasa, kontrak dengan perusahaan asing selalu menguntungkan Indonesia. Lantas, bagaimana ceritanya sampai bisa lahir UU No 1/1967 yang pada gilirannya sangat menguntungkan Freeport itu?
Mengembangkan Penelitian dan Temuan Jean Jaques Dozy di Gunung Esberg
Cerita bermula pada 1936, ketika seorang warga Perancis bernama Jean Jaques Dozy menulis sebuah laporan penelitian, semacam catatan perjalanan ilmiah di Gunung Esberg, Papua Barat. Catatan Dozy ini tersimpan lama di perpustakaan Belanda, sebelum akhirnya ada seorang Belanda, Direktur Pelaksana East Borneo Company Jan van Gruisen menemukan dan mendalami secara intensif isi laporan tersebut.
Gruisen menggambarkan laporan Dozy soal Gunung Esberg di Papua Barat itu sebagai sebuah temuan yang sangat luar biasa. Dozy bercerita tentang keindahan dan kekayaan alam Papua Barat yang sangat indah dan melimpah.
Khusus untuk Gunung Esberg, Dozy menggambarkan bahwa ada bijih tembaga yang bisa langsung dipungut dari permukaan tanah di gunung itu, tanpa harus menggali.
Cerita Gruisen nampaknya menyebar luas, sehingga pengusaha tambang asal Amerika, Forbes Wilson, jadi tertarik. Karena waktu itu Forbes, lagi kebingungan gara-gara pemimpin revolusi Kuba Fidel Castro yang baru saja menggulingkan rejim sayap kanan Fulgensio Batista, telah menasionalisasi semua perusahaan asing yang ada di Kuba.
Freeport Sulphur, yang sudah siap menghasilkan nikel di Kuba, akibatnya gagal jadi tamban uang baginya. Maka, cerita yang dia dengar tentangt prospek tembaga yang tinggal dipungut di Gunung Grasberg, tentu saja dia pandang sebagai berita baik yang tak disangka-sangka.
Dengan tak ayal, Wilson memutuskan untuk melakukan survey lanjutan dengan menggunakanh dasar laporan survei awal yang dilakukan Dozy. Dan ternyata memang benar. Selain menemukan “harta karun terpendam” di Gunung Esberg, juga ditemukan bijih emas dan perak.
Maka tanpa buang-buang waktu lagi, Wilson atas nama Freeport Sulphur dan Jan van Gruisen atas nama East Borneo Company melakukan nota kesepahaman (MoU) untuk bekerjasama mengambil-alih bijih tembaga di Papua. Dalam perhitungan Wilson saat itu, Gunung Grasberg bisa dijadikan pengganti kerugian Freeport Sulphur di Kuba.
Lepasnya Papua dari Tangan Belanda, Menggagalkan Rencana Freeport Sulphur dan Eas Borneo Company
Tapi Wilson nampaknya salah perhitungan dalam membaca situasi yang saat itu berkembang di Papua. Papua saat itu masih menjadi isu internasional karena sejak 1954 Presiden Sukarno sudah membawa masalah Papua Barat ini ke Perserikatan Bangsa-Bangsa agar Papua bisa kembali dalam kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Artinya, Papua Barat masuk agenda PBB dalam kerangka Dekolonisasi Papua Barat, agar Belanda menyerahkan kemerdekaan Papua kepada Indonesia.
Namun langkah diplomasi Indonesia itu selalu gagal karena Amerika Serikat selalu  berpihak kepada Belanda atas pendudukannya di Papua Barat. Alhasil, Presiden Sukarno hilang kesabaran. Lalu memanfaatkan ketegangan perang dingin antara Blok Barat dan Blok Uni Soviet, seraya memutuskan hubungan diplomatik dengan Belanda pada Agustus 1960.
Indonesia juga membeli persenjataan militer secara besar-besaran dari sejumlah negara Blok Timur.
Sehingga kemudian sejarah mencatat  bahwa Indonesia membeli peralatan perang besar-besaran dari Uni Soviet, Italia, Jerman Barat, dan Yugoslavia. Langkah ini ternyata menjadi negara yang amat diperhitungkan di kawasan Asia.
Sekadar catatan, saat itu Indonesia punya 41 helikpter MI-4, 9 helikopter MI-6, 30 pesawat jet MIG-15, 49 pesawat buru sergap MIG-17, 10 pesawat buru sergap MIG-19, dan 20 pesawat pemburu supersonic MIG-21.
Di matra laut, kita juga Berjaya. Kita waktu itu punya 12 kapal selam kelas Whiskey, puluhan korvet dan satu buah kapal penjelajah kelas Sverdlov(sekarang KRI Irian), kapal perang jenis MTB (Motor Torpedo  Boat) khas Jaguar dari Jerman Barat, 22 pesawat pembom ringan Iliyushin II-28, 14 pesawat pembom jarak jauh TU-16, dan 12 pesawat TU-16 versi maritime yang dilengkapi dengan persenjataan peluru kendali anti kapal(rudal) air to surface jenis AS-1 Kennel.
Bukan itu saja. Ada juga 26 pesawat angkut ringan jenis II-14 dan AQvia-14, 6 pesawat angkut berat jenis Antonov AN-12B, dan 10 pesawat angkut berat jenis C-130 Hercules.
Manuver Presiden Sukarno yang berkiblat kepada Uni Soviet dan Blok Timur, pada akhirnya mengundang kekhawatiran Presiden John F Kennedy. Sehingga posisi diplomatik Indonesia dalam memperjuangkan kembalinya Papua Barat ke pangkuan Indonesia, mulai mendapat posisi yang menguntungkan.
Sehingga dalam kaitan Freeport, Kennedy yang mulanya mendukung MoU Wilson bersama Gruisen, ternyata kemudian berubah sikap, mendukung Presiden Sukarno. Dan mendesak Belanda agar keluar dari Papua. Akibatnya, kesepakatan kerjasama antara Freeport dan East Borneo Company antara Wilson dan Gruisen akhirnya buyar dan berantakan.
Freeport Terlibat Penggulingan Presiden Sukarno?
Bisa dibayangkan betapa marahnya Wilson ketika menghadapi kenyataan bahwa begitu Belanda keluar dari Papua, maka rencana Freeport untuk menguasai kekayaan emas dan tembaga di bumi Papua, gagal total.
Maka sejak itu, Freeport mulai menyusun operasi politik menyingkirkan Presiden Sukarno dan Presiden Kennedy sekaligus. Rupanya, justru Kennedy lebih dulu yang tersingkir, menyusul tewasnya presiden Amerika Serikat yang ke-35 itu, pada November 1963. Kemudian digantikan oleh Lyndon B Johnson pada 1964. Dan setelah itu, ini yang menarik. Oranng penting Freeport, Augustus C Long, ternyata merupakan tokoh penting di balik keberhasilan pemilihan dan kampanye Presiden Johnson.
Menurut catatan Lisa Pease, Augustus C Long, disamping merupakan direktur di Freeport Sulphur, Long ternyata juga punya saham besar di perusahaan Texaco yang saat itu ternyata juga mengoperasionalisasikan perusahaan Caltex yang joint venture dnegan Standard Oil of California untuk eksplorasi minyak di Indonesia.
Bisa dibayangkan betapa marahnya C Long ketika Sukarno secara sepihak pada 1961 membuat kebijakan baru bahwa dalam kontrak tambang minyak, 60 persen keuntungannya diserahkan kepada Indonesia. Sehingga Caltex yang ketika itu merupakan operator minyak terbesar di Indonesia sangat terpukul.
Maka Long kemudian sampai pada sebuah kesimpulan, agar bisnis Freeport dan Caltex bisa kembali lagi ke tangan para pengusaha besar Amerika Serikat, satu-satunya jalan adalah menggulingkan Sukarno.
Bukan sebuah kebetulan, ketika pada Maret 1965, C Long secara tiba-tiba pension dari Freeport dan Caltex, lalu diangkat sebagai direktur Chemical Bank, salah satu perusahaan bank milik keluarga Rockefeller. Secara analisis intelijen, penempatan di pos baru ini meski terkesan tidak penting, justru sangat strategis. Karen melalui sektor perbankan ini, C Long dalam posisi yang cukup berpengaruh untuk mengatur dana-dana politik AS saat itu. Inipun nampaknya hanya merupakan manuver antara, yang belum menggambarkan peran sesungguhnya C Long sebagai “operator politik” dinasti Rockefeller.
Yang lebih mengejutkan lagi, 4 bulan kemudian, pada Agustus 1965, Long diangkat Presiden Johnson Ketua Dewan Penasehat Intelijen Kepresidenan untuk masalah luar negeri. Sehingga pos baru C Long ini bisa dibaca untuk menempatkan dirinya dalam posisi yang berpengaruh dan berwenang dalam menentukan operasi-operasi rahasi8a plus pendanaannya terhadap negara-negara sasaran dari operasi tersebut, termasuk Indonesia.
Karenanya, meskipun sarat dengan kontroversi, namun Long dianggap ikut berperan dalam penyusunan skenario kudeta terhadap Sukarno, dan mendorong pengalihan kekuasaan kepada Suharto. Sehingga adalah C Long pula, yang merupakan tokoh penting di balik rencana Rockefeller untuk memaksa Suharto menandatangani kontrak karya baru Freeport dengan Indonesia pada 1969, sebagai balas jasa mendukung Suharto sebagai presiden Indonesia.
Melalui konstruksi cerita di atas, nampak jelas bahwa yang krusial ke depan yang harus dihadapi pemerintahan Jokowi-Jk bukan soal kemerdekaan Papua atau Organisasi Papua Merdeka (OPM), melainkan kepentingan Freeport dan AS atas apa yang terkandung di Gunung Grasberg.
Maka, Cukup Sudah Penjajahan Ekonomi dan Pertambangan Amerika Serikat di Papua.

Penulis: Hendrajit, Pengkaji Geopolitik Global Future Institute (GFI) dan Faizal Rizki Arief, Research Associate Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com