Geopolitik Membaca Gerak Perubahan Metode Kolonialisme

Bagikan artikel ini

M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)

Apa yang disebut pakar, entah itu pakar ekonomi, atau pakar politik, pakar marketing, sosial budaya, dan lain-lain sejatinya ia hanya man power (tenaga ahli) dari sebuah sistem. Ya man power atas metode yang secara intens digunakan oleh “sistem” tersebut.

Terkait tren geopolitik global akhir-akhir ini, sebenarnya hanya sebuah konsekuensi atas dinamika dari sistem kolonialisme (penjajahan) di muka bumi, dimana isu global paling aktual selain pergeseran epicentrum geopolitik dari Atlantik ke Asia Pasifik, juga terbaca ada perubahan power concept dari kekuatan militer ke power ekonomi dalam konstelasi geopolitik. Oleh karena itu, silahkan cermati kemana “metode” para adidaya bergerak dan bermuara maka disitulah (asumsi) bersemayam proses penjajahan. Istilahnya, “follow the methode“. Mari kita cermati baik dari hulu ataupun hilir secara simultan.

Sebelum jauh melangkah, sebaiknya membahas sekilas ideologi di balik kolonialisme. Tak boleh dipungkiri, bahwa sistem kolonialisme apapun, basisnya adalah kapitalisme dan komunisme. Kenapa? Keduanya serupa tapi tak sama, berbeda tetaplah sama. Jika ciri kapitalis itu monopoli modal atau akumulasi kapital, sedang ciri komunis adalah akumulasi massa atau monopoli (kekuatan) rakyat. Watak keduanya sama, yakni mencari bahan baku semurah-murahnya dan mengurai pasar seluas-luasnya.

Tatkala komunis Cina kini telah mengubah diri menjadi negara kapitalis —one country and two system— hakikinya tidak ada kendala signifikan dalam proses perubahan dimaksud karena komunis merupakan kapitalis plat merah, atau kapitalis negara. Justru itulah puncak kesaktian kolonialisme di muka bumi karena mampu menggabungkan dua ideologi —basis kolonialisme— dalam satu tarikan nafas.

Apabila di masa klasik doeloe, modus penjajahan cenderung memakai kekuatan militer untuk meluaskan hegemoni, maka di era kini, kolonialisme lebih mengkedepankan power ekonomi. Soft power. Tanpa hiruk-pikuk militer (hard power) bisa menduduki target, kendati kerap masih dijumpai penggunaan smart power yakni gabungan antara hard power dan soft power namun dengan intensitas berbeda. Itulah perubahan power concept dalam dinamika geopolitik global sebagaimana sepintas diurai di muka.

Dalam konteks kolonialisme, bila melihat mall, supermarket, hypermarket, dan seterusnya sesungguhnya itulah implementasi the law of capital accumulations, teori Karl Marx tentang hukum akumulasi kapital. Arahnya kemana? Tak lain adalah memakan perusahaan kecil atau mencaplok level di bawahnya. Ya, hypermarket melumat toko-toko kecil, supermarket menggilas warung-warung kelontong di sekitarnya. Itulah praktik kolonialisme modern di depan mata atas nama modernisasi, tren peradaban, dan seterusnya.

Ketika mereka (kaum kapitalis dan komunis) menguasai sumber-sumber raw material seperti pertambangan, kehutanan, air, bahan mineral, dan lain-lain melalui dukungan dua lembaga penyedot dana publik yakni bank dan pasar modal, maka arahnya ialah guna berlaga di persaingan pasar agar produknya berharga murah, tentu akan memenangkan kompetisi, serta pasarnya kian meluas. Sekali lagi, itulah wataknya, mencari bahan baku semurah-murahnya serta mengurai pasar seluas-luasnya.

Keberadaan BUMN di negara manapun selalu menguasai sektor-sektor strategis terkait hajat hidup orang banyak, seperti air misalnya, atau pangan, energi, dan seterusnya juga listrik, telekomunikasi, transportasi beserta simpul-simpul (pelabuhan udara dan laut)-nya, dan seterusnya. Nah, menjadi keniscayaan bahwa BUMN pun tak akan lepas dari incaran dan target ekspansi kolonialisme secara soft power semacam privatisasi, misalnya, dan modus privatisasi ini selain melalui perubahan UU agar setiap kebijakan pro pasar dan swasta, juga yang teraktual kini melalui debt trap alias jebakan utang yakni melalui gelontoran utang bunga tinggi dengan tempo singkat terhadap proyek-proyek infrastruktur ke negara cq BUMN-nya. Ketika negara target tidak mampu mengembalikan utang plus bunga sesuai tempo maka aset-aset strategis dari negara dimaksud pun diakuisisi. Inilah modus debt trap. Hal ini telah terjadi di beberapa negara seperti Srilangka, Maladewa, Angola, Zimbabwe, Djibouti, dan lain-lain. Itulah modus paling aktual dalam skema penjajahan gaya baru atau modern.

Merujuk uraian di atas, tampaknya tesis John Adams Jr (1735-1826) kini terbukti, “Ada dua cara menaklukkan sebuah bangsa. Pertama, dengan pedang/militer, kedua melalui utang”.

Sampun…

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com