Merenungkan Kembali Keberhasilan dan Kegagalan Mustafa Kemal Ataturk

Bagikan artikel ini
Mustafa Kemal yang lahir pada 12 Maret 1881, putra seorang pegawai kecil yang merupakan saudagar kayu. Masuk akademi militer di Istambul pada 1899, dan lulut dengan pangkat kapten pada Januari 1905.
Sejak menempuh studi di akademi militer dan di masa-masa awal tugasnya sebagai militer, Kemal bukan saja ikut aktif dalam gerakan politik yang sasaran jangka panjangnya adalah mengubah Turki dari bentuk kerajaan menjadi republik. Bahkan lebih jauh dari itu, Kemal ikut dalam gerakan rahasia para Pemuda Turki melawan kekaisaran Usmaniah yang dpimpin Sultahn Hamid II.
Akibatnya pada 1905-1906 ketika masih berpangkat kapten sudah berani-beraninya melawan pemerintah dan tentunya juga melawan para perwira tinggi yang setia pada Sultan Hamid II, Kemal ditugaskan ke Suriah, yang sebenarnya merupakan pembuangan agar menjauh dari pusat kegiatan politik di sekitar Istambul.
Namun karena dasarnya sudah berjiwa aktivis, dibuang ke luar negeri bukannya jera dan jadi perwira militer baik-baik, malah justru makin gila-gilaan. Pada 1906, justru di Suriah, tempat dia bertugas sekaligus tempat pembuangan, dia dan para pemuda Turki membentuk organisasi yang bernama Kelompok Tanah Air dan Masyarakat Bebas.
Kalau melihat daro fase ini, tak heran jika pada 1922 ketika Kemal dan beberapa perwira menengah menggulingkan Kesultahan Usmaniah, menerapkan tipe kudeta Breakthrough coup. Artinya, gerakan yang dimotori tentara namun dengan basis ideologis yang kuat, yaitu nasionalisme Turki, dan punya basis dukungan yang cukup strategis dari elemen-elemen sipil yang mendukung skema menjadikan Turki menjadi sebuah republik berbasis nasionalisme.
Hanya sayangya cita-cita sosialnya yang kabur. Beda dengan Gamal Abdel Nasser dari Mesir, yang basis ideologisnya adalah republik berbasis nasionalisme Arab, seraya menegawskan bahwa cita-cita sosialnya adalah Sosialisme Islam. Dalam konteks ini, Nasser dari Mesir dan Khadafi dari Libya, punya garis ideolologis yang sama, dan tuntas menjabarkan pendirian nasionalismenya seraya penegasan cita-cita sosialnya berbasis sosialisme Islam.
Kembali ke Mustafa Kemal. Setelah ikut bergabung dengan Kelompok Tanah Air dan Masyarakt Bebas pada 1906 di Suriah, Kemal kemudian ditugaskan ke Salonika, dan lagi-lagi aktivitas politiknya malah makin aktif. Kali ini bergabung ke dalam perkumpulan pergerakan yang jauh lebih praktis jangka pendek: Komite Gabungan dan Kemajuan.
Nah melalui organ inilah, Komite Gabungan dan Kemajuan, yang tentunya merupakan aliansi strategis sipil-militer, pada perkembangannya memkado landasan memulai dicetuskannya revolusi Pemuda Turki pada Juli 1908. Inilah yang dalam tulisan saya terdaulu, saya sebut sebagai Gerakan Turki Muda. Ternyata, di gerakan Turki Muda inipun, Kemal yang pada 1908 masih berpangkiat kapten, ikut memainkan peran yang cukup penting dari kalahan sayap kemiliteran.
Begitupun, prestasi kemiliterannya di lapangan juga cukup cemerlang meskipun aktif bergiat dalam bidang pergerakan politik. Pada 1911, misalnya, Kemal dinaikkan pangkatnya jadi mayor, karena dinilai berprestasi dalam perang di Libya melawan Italia.Antara 1912-1913 Kemal menjadi komandan militer yang menjaga benteng pertahanan Dardanella pada masa Perang Balkan. Reputasinya sebagai perwira militer semakin moncer, ketika kemudian menjadi atase militer Turki di Bulgaria.
Dalam Perang Dunia I, meskipun Turki yang bersekutu dengan Jerman menjadi negara kalah perang, namun buat Mustafa Kemal sepertinya malah membawa berkah tersendiri. Di beberapa fron pertempuran, seperti di Galipoli pada 1915, berhasil memukul mundur invasi Inggris dan sekutu-sekutunya. Ketika berdinas di Kaukasus dan Suriah, sempat memimpin kelompok khusus tentara sebelum gencatan senjata yang ditandatangani pada Oktober 1918.
Namun salah satu momentum bersejarah yang tanpa disadari Kemal telah memupuk kesadaran nasionalnya sebagai perwira militer maupun pemimpin bangsa, yaitu keterlibatannya dalam peristiwa 1915. Waktu itu, Tentara Yunani mencaplok Izmir di pesisir Anatolia pada 15 Mei 1919. Jadi peristiwa ini berlangsung setahun sejak berakhirnya Perang Dunia I.
Dalam penyerbuan militernya ke Izmir, Yunani tidak sekadar menginvasi wilayah kedaulatan Turki itu secara militer. Bahkan membantai rakyat sipil dan penduduk setempat. Waktu itu, Kemal ditunjuk sebagai Inspektur Pasukan Ketiga di Anatolia. Begitu tiba di Samsun pada 19 Mei 1915, Kemal segera melakukan penyatuan gerakan-gerakan nasional Turki dan melakukan perlawanan bersenjata.
Menelisik kiprah Kemal menggalang kekuatan perlawanan menghadapi invasi Yunani ini, nampak jelas betapa Kemal bukan saja berbakat sebagai perwira militer profesional, melainkan melekat juga bakat khususnya sebagai pemimpin pergerakan nasional.
Ironisnya, di tengah kekalahan dan keterpurukan Turki akibat kekalahannya pada Perang Dunia I yang berakhir pada 1917, Kesultanan Turki justru bersikap lunak. dan bahkan setuju dengan pencaplokan ibukota dan pembagian wilayah-wilayah nasional Turki atas restu dari Inggris dan negara-negara pemenang perang. Meski persetujuan pihak kesultanan dinyatakan secara diam-diam.
Dalam perjanjian Sevres, misalnya, pemerintahan Istambul menyetujui kontrol Yunani atas beberapa bagian Anatolia. Sebaliknya Kemal dengan dukungan para perwira menengah yang sehaluan dengannnya, menentang sikap pemerintah kesultanan yang pasrah begitu saja terhadap sekutu.
Alhasil, Mustafa Kemal tidak saja mendorong terus perlawanan bersenjata melawan pendudukan Yunani terhadap Izmir, bahkan meperluas perlawanan terhadap pemerintahan kesultanan di ranah politik.
Di rahan politik, pada April 1920 Kemal membentuk pemerintahan sementara di Ankara. Di ranah kemiliteran, Kemal tak kalah gemilang. Pada Agustus 1921 berhasil mengalahkan Yunani di Sakarya dan Dumlupinar pada Agustus 1922. Dan yang paling melegenda tentu saja, dengan merebut kembali Izmir pada September 1920.
Namun prestasi gemilang yang sesungguhnya justru sebagai pemimpin dan pelopor pergerakan nasional mengubah kekaisaran menjadi sebuah repiblik. Langkah yang ditempuhnya dengan membentuk pemerintahan sementara di Ankara pada 1920, nampaknya menandai awal delegitimasi terhadap kesultanan Turki. Pada 1 November 1922, berakhir sudah kekuasaan Dinasti Usmaniah. Kemudian Republik Turki diproklamirkan pada 29 Oktober 1923. Dengan Mustafa Kemal jadi presidennya. Sejak itu namanya ditambah jadi Mustafa Kemal Ataturk. Karena Ataturk artinya Bapak Turki.
Kiprahnya yang cemerlang baik sebagai perwira militer maupun sebagai tokoh pergerakan nasional, mengundang kekaguman di kalangan beberapa tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia yang pada waktu melawan penjajahan Belanda.
Antara lain Sukarno, dan belakangan di kalangan TNI, seperti Jenderal Abdul Harris Nasution. Bahkan menjadi tokoh yan menginspirasi dan mengilhami, meskipun tidak bermaksud meniru model pergerakan nasional Turki. Di Mesir, Gamal Abdel Nasser dan Anwar Sadat, yang pada 1952 juga memotori gerakan penggulingan Raja Faruk di Mesir, juga terinspirasi dari gerakan Ataturk. Begitu pula dengan Moamar Khadafi.
Sayangnya seperti yang saya singgung sekilas di awal tulisan, Kemal gagal menyelaraskan bentuk negara Turki sebagai republik yang berbasis nasionalisme sekuler dengan kejelasan cita-cita sosialnya. Kemal terlalu fokus pada program reformasi penghapusan kekhalifahan yang mendasari otoritas para sultan berikut semua lembaga-lembaga keagamaan, dan menghapuskan konstitusi sementara yang menyatakan Islam sebagai agama negara, namun tidak mengedepankan sebuah kontra skema untuk menggantikan sistem lama tersebut.
Padahal, sasaran strategis gerakan para nasionalis Kemalis ini justru bukan sekadar mengganti penguasa, melainkan merombak sistemnya. Seharusnya, seiring runtuhnya sistem baru, segera dimunculkan kontra skema sebagai dasar untuk menggantikan sistem baru di Turki.
Dikarenakan terjadinya kevakuman sistem baru sementara sistem lama sudah diruntuhkan, konsepsi nasionalisme sekuler Turki kemudian justru menjadi pintu masuk ke arah proses pembaratan alias westernisasi. Inilah kesalahan strategis Kemal Ataturk justru di pasca keberhasilannya meruntuhkan pemerintahan kesultanan Usmaniah. Memodernisasikan Turki berarti mengikuti sepenuhnya model negara-negara di Eropa Barat.
Lebih disayangkan lagi, ketika pada 1931 Ataturk mencanangkan ideologi yang belakangan disebut Kemalisme dan Ataturkisme, sama sekali tidak lebih memperjelas apa kontra skema yang ditawarkan. Kemalisme dan Ataturkisme menyatakan enam prinsip: republikanisme, nasionalisme, populisme (kerakyatan), kenegaraan, sekularisme, dan revolusionisme. Frase-frase kata yang sifatnya merupakan jargon dan slogan ketimbang memperjelas sebuah cita-cita sosial-politik dan cita-cita kenegaraan.
Dalam perbandingan dengan Indoensia, kiranya jauh lebih jelas dan koheren ketika para Bapak Bangsa merumuskan Cita-Cita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 dengan dinyatakannya Pancasila sebagai dasar filsafat negara dan UUD 1945. Dibandingkan Kemalisme dan Ataturkisme, Cita-Cita Proklamasi 17 Agustus 1945 melalui Pancasila dan UUD 1945 jauh lebih jelas dan sistematis dalam menyelaraskan antara bentuk negara dan cita-cita nasional.
Di sinilah bahayanya ketika konsepsi nasionalisme tidak selaras dengan cita-cita sosial, sehingga yang berkembang kemudian adalah nihilisme, seperti yang pernah diingatkan oleh Bung Karno ketika menegaskan perlunya menyelaraskan antara nasionalisme dan sosialisme dalam kerangka sebuah negara berbentuk republik.
Pelajaran pahit dari Turki telah mengingatkan kita semua, betapa ketika nasionalisme sekadar dijadikan landasan bagi negara untuk mencapai modernisme, maka sebuah negara-bangsa terancam mengalami kekosongan spiritual dan dekadensi moral.
Inilah harga dari terjadinya involusi pada sebuah bangsa dan negara, ketika nilai-nilai lama runtuh dan tergerus, namun nilai-niai baru sama sekali belum terbentuk. Sepertinya, involusi tersebut masih tetap dialami masyarakat dan bangsa Turki sampai sekarang.
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com