Menyorot Politik HAM Belanda di Indonesia

Bagikan artikel ini

Sepak-terjang berbagai kalangan politisi parlemen dan aktivis Hak-Hak Asasi Manusia (HAM) Belanda dalam memprakarsai berbagai advokasi pelanggaran HAM di Indonesia belakangan ini semakin gencar. Pada 10 April 2015 lalu, International People’s Tribunal on 1965 Crimes Against Humanity in Indonesia menggelar seminar bertema 1965 Massacre: Unveiling The Truth Demanding Justice (Pembantaian 1965: Mengungkap Kebenaran, Menuntut Keadilan). Acara tersebut berlangsung di di sebuah gedung tua Nieuwe Kerk yang dibangun pada abad ke-17 sebagai gereja utama di Den Haag, dan dipugar menjadi pusat kongres dan konser musik.

Acaranya diisi dengan ceramah dan diskusi yang membahas berbagai aspek, dengan para nara sumber dari kalangan ilmiah, aktivis dan praktisi hukum. Nama-nama yang tertera sebagai pembicara adalah orang-orang yang sudah punya reputasi panjang dalam bidangnya, antara lain Prof. Dr. Saskia E. Wieringa, Dr. Johannes Pieter (Jan) Pronk, Dr. Gerry van Klinken, dan dari Indonesia Nursyahbani Katjasungkana, SH, dan Dr. Todung Mulya Lubis, SH.

Adapun  International People’s Tribunal sejatinya merupakan sebuah yayasan yang bertujuan untuk melakukan penelitian dan diskusi publik yang menurut mereka sebagai pembantaian 1965 terkait PKI, lalu mengajukan gugatan terbuka kepada pemerintah Indonesia sebagai suatu Pengadilan Rakyat.

Maka, seminar ini merupakan rangkaian dari acara yang diprakarsai oleh IPT1965 dan akan mencapai puncaknya pada akhir tahun ini, ketika gugatan secara simbolis diajukan di Pengadilan Rakyat di Den Haag, lengkap dengan berkas-berkas yang dikumpulkan secara seksama oleh para relawan.

Masalahnya kemudian, jika menelisik politik HAM kalangan anggota parlemen maupun LSM di Belanda, pada aspek apa kasus 1965 tersebut hendak diungkap? Benar-benar bermaksud untuk membuka inti kisah sesungguhnya peristiwa 1965 atau hanya sekadar tebar isu dalam rangka mengolah tema-tema pelanggaran HAM di Indonesia semata-mata untuk dijadikan alat politik pemerintah Belanda menekan Indonesia?

Pertanyaan semacam ini sangat layak untuk kita ajukan karena manuver berbagai kalangan politisi parlemen maupun aktivis LSM Belanda dalam mempolitisasi isu HAM sudah berlangsung berkali-kali, bahkan di era pemerintahan Suharto.

Mari kita buka kembali tumpukan berita lama. Pada 2001 lalu, sejumlah anggota parlemen Belanda dari berbagai partai politik sempat berkunjung ke beberapa wilayah Indonesia seperti Aceh, Papua, dan Maluku. Mereka mengadakan pembicaraan dengan beberapa LSM di Indonesia.

Dalam sebuah wawancara yang dilakukan oleh Radio Nederland Wereldomroep, salah seorang anggota parlemen Belanda dari Partai Kiri Hijau, Mohammad Rabbae, ditanya kesan-kesannya di Indonesia. Menurut Rabbae, Indonesia merupakan negara yang sangat besar dan indah, namun memiliki permasalahan sosial dan politik yang kompleks. Begitu banyak suku dan bahasa dengan sejumlah kawasan yang dilanda konflik. Sistem politiknya yang dilanda krisis. Pendek kata, Rabbae bermaksud mengatakan bahwa situasi sosial-politik Indonesia sangat kompleks dengan wilayah-wilayah yang rawan kerusuhan.

Nah, pandangan dan opini yang amat tendensius bukan? Dari pernyataan anggota parlemen dari Partai Kiri Hijau Belanda yang keturunan Maroko ini, nampak jelas misi sesungguhnya kunjungan sejumlah anggota parlemen Belanda ke Indonesia. Yaitu memusatkan misinya untuk menyorot kondisi HAM di Indonesia.

Sekadar mengingatkan, bahwa kondisi Aceh pada 2001 masih berlangsung kontak bersenjata antara pemerintah pusat dan Gerakan Aceh Merdeka(GAM), dan belum menandatangani MOU Helsinki. Sehingga pernyataan sejumlah anggota parlemen Belanda seperti Rabbae bahwa situasi dan suasana di Aceh cukup tegang, jelas memperlihatkan adanya upaya pengkonidisian untuk memberi angin kepada pihak GAM.

Begitu juga ketika berkunjung ke Maluku, dengan dalih untuk misi perdamaian antara pihak-pihak Islam dan Kristen Ambon yang bersengketa, juga mengindikasikan adanya campur tangan dari pihak luar negeri. Hal ini terungkap ketika Rabbae menilai bahwa Belanda dan Eropa harus turut serta dalam mencapai perdamaian di Indonesia. Seraya mendukung pengiriman tim pengamat sipil PBB ke kawasan-kawasan yang mereka pandang sebagai “wilayah rawan” seperti Aceh, Papua dan Maluku.

Bahkan lebih lanjut Rabbae menegaskan: Belanda dan Eropa tidak bisa tinggal diam menyaksikan konflik di Aceh saat ini. Karena pelanggaran hak asasi manusia terjadi setiap hari, rakyat diculik, dibunuh. Dengan kata lain, para anggota parlemen Belanda yang berkunjung ke Indonesia kala itu berpendapat bahwa Belanda dan Eropa harus ikut campur di tengah yang mereka pandang sebagai terjadinya pelanggaran situasi hak-hak asasi manusia, sehingga Belanda harus memberikan bantuan konkrit kepada LSM-LSM yang peduli HAM dan berupaya mencari jalan damai dengan pemerintah di Jakarta.

Di sinilah aspek krusial dari Politik HAM Belanda. Karena dengan rekomendasi semacam itu, berarti pemerintah Indonesia dipaksa untuk mengakui eksistensi kelompok-kelompok separatis seperti GAM atau Organisasi Papua Merdeka(OPM). Dengan demikian, kalangan parlemen dan LSM HAM di Belanda telah menanamkan benih-benih menuju internasionalisasi Aceh, Papua dan Maluku.

Pada 2008, Delegasi Parlemen Belanda yang dipimpin oleh Henk J Ormel bertemu Wakil Presiden Jusuf Kalla. Pada kesempatan tersebut Ormel menyampaikan kekhawatirannya kepada Wapres Kalla mengenai persoanal hak asasi manusia khususnya yang terjadi di Papua dan Maluku. Padahal kasus yang menjadi landasan kekhawatiran pihak parlemen Belanda jelas-jelas mengindikasikan itikad sebuah gerakan separatisme. Kasus yang dimaksud pihak Belanda sebagai persoalan pelanggaran HAM tersebut adalah dugaan pelanggaran HAM dalam penanganan para penari cakalele pada 2007 saat kehadiran Presiden SBY dalam acara Keluarga Nasional di Kota Ambon, Maluku. Yang secara tibat-tiba, di depan presiden, mengeluarkan atribut-atribut yang bisa dibaca sebagai simbol-simbol gerakan seapratis RMS(Republik Maluku Selatan) yang kita tahu menuntut negara merdeka lepas dari NKRI.

Terkait politisasi HAM pihak Belanda ini, hubungan Indonesia-Belanda memang beberapa kali sempat mengalami ketegangan. Bahkan di era pemerintahan Suharto, pemerintah Indonesia sempat marah besar dengan ulah Belanda yang selalu melancarkan politisasi HAM dalam menekan maksud-maksud politiknya kepada Indonesia. Sedemikian marahnya pemerintahan Suharto, sehingga Indonesia membubarkan International Governmental Group on Indonesia (IGGI), sebuah lembaga negara-negara yang memberi pinjaman ke Indonesia, dan lembaga ini selalu dipimpin oleh Indonesia. Yang kemudian membentuk lembaga baru Consultative Group on Indonesia, yang memiliki hubungan yang lebih longgar dengan Indonesia.

Salah satu pentolan sekaligus Ketua IGGI asal Belanda yang mengundang antipati berbagai kalangan nasionalis di Indonesia adalah Dr JP Pronk, seorang politisi partai sosial demokrat Belanda. Karena tingkah-lakunya yang bak seorang Gubernur  Jenderal Belanda yang datang ke Indonesia, dan melakukan inspeksi ke daerah-daerah tertinggal di Indonesia. Lebih menjengkelkan lagi, Pronk selalu bersuara sumbang dan mengecam berbagai hal terkait isu HAM.

Bahkan pada 2012, beberapa anggota parlemen Belanda berani-beraninya mengaitkan masalah HAM dengan niatan pemerintah Indonesia untuk membeli 100 tank Leoprard. Sehingga tak urung mengundang reaksi keras dan kecaman dari Komisi I DPR bidang luar negeri dan pertahanan, sebagai pernyataan pihak Belanda yang tidak bersahabat.

Beberapa Sosok Asing di balik Gerakan Pro Papua Merdeka

Salah satu sosok yang harus dicermati adalah Eni Faleomavaega, Ketua Black Caucuses Amerika yang mengkampanyekan Irian Jaya sebagai koloni VOC bukan koloni Belanda di Kongres Amerika. Kabarnya, perwakilan Partai Demokrat dari American Samoa ini memimpin sekitar 38 anggota Black Caucuses yang mengklaim bahwa cepat atau lambat Papua akan merdeka.

Pengaruh tokoh satu ini ternyata tidak bisa dianggap enteng. Mari kita berkilas-balik sejenak.

Pada 2002, tak kurang dari Departemen Luar Negeri AS terpaksa menerbitkan Buku Putih Deplu tentang Papua pada 2002. Disebutkan bahwa Irian Jaya masuk Indonesia pada 1826. Sementara Pepera merupakan pengesahan atau legalitas masuknya Irian Jaya ke NKRI pada 1969.

Bayangkan saja, Departemen Luar Negeri AS sampai harus meladeni seorang anggota parlemen seperti Eni Faleomavaega. Dan ternyata manuver Eni tidak sebatas di Amerika saja. Melalui LSM yang dia bentuk, Robert Kennedy Memorial Human Right Center, Eni dan 9 orang temannya dari Partai Demokrat, melakukan tekanan terhadap Perdana Menteri John Howard, agar memberi perlindungan terhadap 43 warga Papua yang mencari suaka di di Australia. Alasannya, mereka ini telah menjadi korban pelanggaran HAM TNI.

Di Australia, Bob Brown, politisi Partai Hijau Australia, juga santer mendukung gerakan pro Papua Merdeka, dengan mendesak pemerintahan Howard ketika itu untuk mendukung proses kemerdekaan Papua. Tentu saja usul gila-gilaan itu ditampik Howard, namun sebagai kompensasi, pemerintah Australia memberikan visa sementara kepada 42 pencari suaka asal Papua.

Tentu saja hubungan diplomatik Australia-RI jadi memanas, apalagi berkembang isu ketika itu bahwa ke-43 warga Papua cari suaka ke Australia itu sebenarnya merupakan “agen-agen binaan” Australia yang memang akan ditarik mundur kembali ke Australia. Artinya, permintaan suaka itu hanya alasan saja agar mereka tidak lagi bertugas menjalankan operasi intelijen di Papua. Mungkin kedoknya sebagai jaringan intelijen asing di Papua, sudah terbongkar kedoknya oleh pihak intelijen Indonesia.

Dan isyarat ini secara gamblang dinyatakan oleh Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan waktu itu, Widodo AS. Menurut Widodo, pemberian visa sementara kepada warga Papua oleh Australia, telah membenarkan adanya spekulasi adanya elemen-elemen di Australia yang membantu usaha kemerdekaan Papua.

Menurut penulis, dan kami-kami di Global Future Institute, pernyataan Widodo sebenarnya sebuah sindiran atau serangan halus terhadap gerakan asing pro Papua merdeka. Bahwa yang sebenarnya bukan sekadar adanya elemen-elemen di Australia yang membantu kemerdekaan Papua, tapi memang ada suatu operasi intelijen dengan target utama adanya Papua Merdeka terpisah dari NKRI.

Selain Amerika dan Australia, manuver Papua Merdeka di Inggris kiranya juga harus dicermati secara intensif. 15 Oktober 2008, telah diluncurkan apa yang dinamakanInternational Parliaments for West Papua (IPWP) di House of Commons, atau DPR-nya Kerajaan Inggris.

Misi IPWP tiada lain kecuali mengangkat masalah Papua di fora internasional. Meski tidak mewakili negara ataupun parlemen suatu negara, namun sepak-terjang IPWP tidak bisa diabaikan begitu saja. Sebab IPWP bisa menjadi kekuatan penekan agar digelar referendum di Papua, penarikan pasukan TNI dari Papua, penempatan pasukan perdamaian di Papua di bawah pengawasan PBB.

Jelaslah sudah ini sebuah agenda berdasarkan skema Kosovo merdeka. Apalagi ketika IPWP juga mendesak Sekjen PBB meninjau kembali peranan PBB dalam pelaksanaan penentuan pendapat rakyat (pepera) 1969, sekaligus mengirim peninjau khusus PBB untuk memantau situasi HAM di Papua.

Agar kita sebagai elemen bangsa yang tidak ingin kehilangan provinsi yang kedua kali setelah Timor Timur, ada baiknya kita mencermati skenario Kosovo merdeka.

Kosovo terpisah dari negara bagian Serbia pada 17 Februari 2008. Dengan didahului adanya tuduhan pelanggaran HAM di provinsi Kosovo. Papua Barat dianggap mempunyai kesamaan latarbelakang dengan Kosovo. Yaitu, Indonesia dan Serbia dipandang punya track record buruk pelanggaran HAM terhadap rakyatnya. Sehingga mereka mengembangkan isu bahwa Kosovo perlu mendapat dukungan internasional. Inilah yang kemudian PBB mengeluarkan resolusi Dewan Keamanan PBB 244 .

Seperti halnya juga dengan Kosovo yang memiliki nilai strategis dalam geopolitik di mata Amerika dan Inggris, untuk menghadapi pesaing globalnya, Rusia. Begitu pula di Papua, ketika perusahaan tambang Amerika Freeport dan perusahaan LNG Inggris, merupakan dua aset ekonomi mereka untuk mengeruk habis kekayaan alam di bumi Papua. Sekaligus untuk strategi pembendungan AS terhadap pengaruh Cina di Asia Pasifik, khususnya Asia Tenggara.

Penulis : Hendrajit, Pengkaji Geopolitik dari Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com