Untuk sebuah Joy Flight, Kenapa Diarahkan ke Rute yang Terkenal Angker?

Bagikan artikel ini

Rifky Pradana, Kontributor The Global Review

Aleksandr Yablontsev, pilot Sukhoi Superjet 100 menurut record ternyata 3 kali lakukan kontak dengan Petugas ATC (Air Traffic Control) Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Salah satunya adalah saat Kontak Terakhir yang dilakukannya saat Minta Izin untuk turun dari 10.000 ke 6000 kaki, dan Minta Izin untuk Orbit ke Kanan.

ATC izinkan Permintaan Turun Ketinggian dan Orbit ke Kanan itu dikarenakan masih dalam pantauan ATC dan masih aman dari gangguan gunung.

Namun, seperti diketahui bersama, tak berselang lama, pesawat itu menabrak tebing di Gunung Salak.

Perihal permintaan turun dari 10.000 feet ke 6.000 feet yang sudah atas seizin dari ATC (Air Traffic Control) pada saat 12 menit sesudah pesawat mengudara itu juga telah diakui oleh Herry Bhakti S, Direktur Jenderal Perhubungan Udara Kemenhub RI, maupun oleh Mulya Abdi, Deputi Senior General Manager Bandara Internasional Soekarno Hatta sekaligus General Manager ATC.

Jika melihat posisi tebing yang ditabrak oleh Pesawat Shukoi Super Jet 100, sementara dapat ditarik kesimpulan bahwa arah gerak pesawat tidak sejajar dengan Gunung Salak, akan tetapi lurus mengarah ke Gunung Salak. Dan, sebagaimana diketahui arah terbang pesawat dalam gerak normalnya selalu dalam vektor gerak yang garis lurus dimana jika ada setiap belokan yang sebesar berapa pun derajatnya, maka pilot harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari petugas ATC.

Maka, petugas ATC saat menyetujui penurunan ketinggian jelajah ke 6.000 feet itu apakah di layar radar tak terlihat posisi dan vektor arah gerak pesawat itu sedang menuju ke arah mana ?.

Apakah saat itu petugas ATC saat menyetujui penurunan ketinggian jelajah ke 6.000 feet itu, di layar radar juga sama sekali tak terlihat bahwa posisi pesawat sedang berada / mengarah ke arah Gunung Salak yang setinggi sekitar 7.000 feet ?.

Pertanyaan lainnya yang tak kalah pentingnya, jika merunut sejarah kecelakaan pesawat di Gunung Salak, memang rute itu adalah rute angker yang sudah memakan banyak korban pesawat jatuh dan menabrak tebing gunung. Lalu, mengapa untuk sebuah penerbangan bertemakan ‘Joy Flight’ dari sebuah pesawat komersial sipil yang sedang membawa puluhan penumpang sipil itu koq diberikan rute yang rawan dan berbahaya ?.

Hal lainnya, terkait dengan kemungkinan terjadinyanya ‘mis-komunikasi’ dan ‘mis-interprestasi’ memang sangat dimungkinkan.

Chappy Hakim, mantan KASAU, di Surat Kabar Harian Kompas pada bulan Nopember tahun 2011 pernah menulis dengan judul “Bom Waktu di Atas Bandara Soekarno-Hatta“ yang mengungkap bahwa sudah sejak 16 April 2007 peringkat penerbangan Indonesia masuk dalam kategori dua, yang artinya, jika mengacu pada standar regulasi ICAO (International Civil Aviation Organization) maka penerbangan Indonesia tidak memenuhi syarat keselamatan terbang internasional.

Didalam tulisannya itu disampaikan bahwa peralatan vital pengatur lalu lintas udara -yang berwujud unit pelayanan sistem otomatis lalu lintas udara- di Jakarta umurnya sudah tua.

Situasi itu, tulisnya, juga diperburuk lagi dengan SDM di jajaran ATS sekarang ini sudah bekerja dengan kapasitas yang hampir 200 persen dari kesiapan yang dimiliki, serta fasilitas pendidikan SDM ATS yang sangat terbatas.

Hal itu jika tak segera dibenahi, bisa berpotensi membuka peluang terjadi tabrakan di udara.

Ternyata tak berapa lama, tak lebih dari setahun sejak peringatannya soal itu, terjadi malapetaka ‘joyflight’ Sukhoi Super Jet 100 yang berakhir tidak ‘joy”, namun tragedi yang menewaskan seluruh penumpang dan krunya, lebih dari 40 orang warganegara Indonesia dan 8 orang warganegara Rusia.

Chappy Hakim, terkait dengan tragedi itu sempat mempertanyakan keputusan petugas ATC (Air Traffic Controller) Soekarno Hatta Cengkareng yang mengizinkan Sukhoi Superjet 100 terbang rendah hingga 6.000 kaki dari sebelumnya 10.000 kaki, padahal ada obstacle gunung Salak setinggi 7.152 feet.

Berkait dengan itu, ada beberapa kalangan yang kemudian berspekulasi bahwa jangan-jangan Tragedi Sukhoi di Gunung Salak ini menyerupai dengan Tragedi Garuda di Sibolangit.

Sebagaimana diketahui, kesimpulan ‘resmi’ yang dirilis sebagai penyebab dari Tragedi pesawat Garuda di Sibolangit itu adalah adanya Mis-Komunikasi antara Pilot dengan Petugas ATC.

ATC : GIA 152, turn right heading 046 report established localizer

GIA 152 : Turn right heading 040 GIA 152 check established.

ATC : Turning right sir.

GIA 152 : Roger 152.

ATC : 152 Confirm you’re making turning left now?

GIA 152 : We are turning right now.

ATC : 152 OK you continue turning left now.

GIA 152 : A (pause) confirm turning left? We are starting turning right now.

ATC : OK (pause) OK.

ATC : GIA 152 continue turn right heading 015.

GIA 152 : (scream) Allahu Akbar ! (Translation: God is great!)

Dan pesawat pun menghantam tebing, dimana ratusan nyawa penumpangnya terenggut sebagai korbannya.

Jadi ?, menurut pendapat anda, dalam hal ini, siapa yang kemungkinan bersalah dan berandil besar dalam tewasnya 40-an nyawa manusia itu ?, Pilot Sukhoi Rusia kah ?, atau, Petugas ATC Indonesia kah ?.

Catatan Kaki :

Motif Persaingan Bisnis dibalik Tragedi Sukhoi

www.theglobal-review.com

Keteledoran Tak Sengaja atau Kesengajaan Sabotase ?

Republik Simpang Siur

http://hankam.kompasiana.com/2012/05/11/kenapa-simpang-siur-dan-pertentangan-pernyataan-acapkali-terjadi-pada-peristiwa-kecelakaan-pesawat/

Bom Waktu di Atas Bandara Soekarno-Hatta

http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2011/11/19/12533498/Bom.Waktu.di.Atas.Bandara.Soekarno-Hatta

Perlu Dipertanyakan soal Izin Terbang 6.000 Kaki

http://www.tribunnews.com/2012/05/10/chappy-hakim-pertanyakan-izin-terbang-6.000-kaki

Catatan Kontak antara Pilot dengan Menara Kontrol ATC

http://cahayareformasi.com/2012/05/12/pilot-sukhoi-ternyata-tiga-kali-kontak-menara/

 

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com