Sejak reformasi bergulir sebagai orde, kedaulatan rakyat lenyap dibajak oleh sekelompok reformis gadungan melalui apa yang disebut dengan istilah ‘kudeta konstitusi’ pada awal reformasi. Silent invasion. Inilah yang sesungguhnya terjadi di republik tercinta.
Praktik pembajakan kedaulatan (rakyat) tersebut berupa amandemen empat kali terhadap UUD 1945 (1999-2002), terutama amandemen ke-4 tahun 2002 melalui cara mengubah status MPR dari Lembaga Tertinggi Negara menjadi Lembaga Tinggi Negara. Itu poin pokoknya.
Jadi, di era reformasi sekarang ini rakyat tidak lagi berdaulat. Ulangi, “Rakyat tidak lagi berdaulat”. Dan peristiwa amandemen ke-4 dimaksud, ada yang mengistilahkan ‘bunuh diri massal ala reformasi’.
Lho, kok begitu?
Ya, MPR selaku penjelmaan rakyat, sekali lagi, di- downgrade menjadi lembaga tinggi (dari lembaga tertinggi) pada amandemen ke-4 alias sesi paling akhir dalam amandemen UUD 1945 (2002).
Maka, apabila diibaratkan orang bunuh diri, si bapak membunuh dirinya sendiri (amandemen ke-4) setelah anak-anak dan istrinya (amandemen ke-1, 2 dan 3) duluan dibunuh. “Bunuh diri massal”.
Dampak paling vital akibat amandemen ke-4 ialah: “UUD yang sekarang berlaku tidak bernomor alias nomor Ketetapan/TAP MPR-nya kosong”, kenapa demikian? Sebab, ‘bapak’ (MPR)-nya sudah bunuh diri pada sesi terakhir sehingga MPR tidak sempat/tidak bisa lagi menerbitkan TAP yang sifatnya regeling atau mengatur.
Lantas, kedaulatan mana yang kini dijalankan?
Yang berlaku kini ialah kedaulatan konstitusi. Memang tidak keliru. Namun, mengendalikan negeri besar yang terdiri atas ribuan pulau; aneka suku bangsa dan bahasa; pasar nan potensial karena faktor demografi; posisi silang di antara dua benua dan dua samudera; lintasan jalur Sealanes of Communication, negeri kaya SDA dan lain-lain, bahwa persepsi kedaulatan konstitusi tidak cukup dan rawan akan penyimpangan (abuse of power), karena kekuasaan tertinggi hanya hukum semata.
Lantas, apa dampak akibat tidak adanya kedaulatan rakyat?
Ya. Selain tidak ada lagi ‘pucuk piramida’ guna memimpin perubahan di negeri ini (bayangkan bila sebuah perusahaan tanpa top management), sedang perubahan adalah keniscayaan; tidak ada GBHN sebagai representasi politik rakyat; cenderung lambat bahkan buntu dalam merespon perubahan (deadlock); tidak ada lagi Mandataris MPR sebagai pengejawantahan petugas rakyat dan/atau petugas negara, dan lainnya.
Yang kini muncul justru ‘petugas partai’. Ini efek dibajaknya kedaulatan rakyat oleh kaum reformis gadungan lalu kedaulatan dimaksud diserahkan ke partai politik. Boleh saja. Namun, terlalu riskan untuk mengelola sebuah negara besar seperti Indonesia karena akan cenderung menciptakan kultus (individu) melalui pencitraan dan ego sektoral. Gilirannya power tends to corrupts. Kekuasaan akan cenderung korup. Inilah realitas politik yang tengah berlangsung secara terstruktur, sistematis dan masive.
Balik sebentar ke kedaulatan konstitusi. Intinya, konstitusi merupakan sumber kekuasaan tertinggi di negara. Tak peduli apakah hukum dan UU —regulasi turunan konstitusi— ‘dibelokkan’ menjadi instrumen pelanggengan kekuasaan, atau untuk kepentingan segelintir kelompok guna mengeduk SDA, ini salah satu kelemahan kedaulatan konstitusi. UU dapat ‘dimainkan’ bahkan diorder sesuai hasrat para elit (oligarki politik dan ekonomi). Apalagi ketika mekanisme check and balance tidak optimal, bahkan terjadi kongkalikong antara eksekutif, legerlatif, dan yudikatif, sedangkan mekanisme untuk menghentikan penyimpangan konstitusi sekarang relatif berliku, melalui ‘jalan panjang’, serta sarat rekayasa.
Akan tetapi, syukurlah (bangsa ini penuh syukur yach), republik ini masih mempunyai kedaulatan lainnya. Memang. Ada lima teori kedaulatan yang diakui secara universal yakni kedaulatan Tuhan, kedaulatan rakyat, kedaulatan negara, kedaulatan raja, dan kedaulatan konstitusi.
Kaum reformis gadungan lupa, meski kedaulatan rakyat dibajak pada sesi terakhir (amandemen ke-4) lantas diserahkan partai politik, dan diganti dengan kedaulatan konstitusi — republik ini masih memiliki dua kedaulatan lain yakni kedaulatan Tuhan dan kedaulatan negara.
Secara filosofi, dua kedaulatan tersebut tidak akan terampas, dan tak mungkin bisa dibajak melalui cara apapun, kapanpun, dan oleh siapapun.
Kenapa, dan mana buktinya?
Pertama, negeri ini berdiri atas berkat rahmat Allah, Tuhan Yang Mahakuasa;
Kedua, republik ini berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa; dan
Ketiga, negara melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia sebagaimana termaktup dalam Pembukaan UUD 1945.
Ada hubungan vertikal dan timbal balik (qisas) antara negara —wilayah, rakyat dan pemerintah— dengan Tuhannya. Hal ini terindikasi, setiap ada upaya kelompok tertentu mencoba men-sekuler-kan bangsa dan negara, niscaya menuai penolakan publik secara signifikan lagi berujung gagal. Banyak contoh. Isu elgebete, misalnya, pasti ditolak hingga kapanpun. Ini ulasan singkat soal implementasi kedaulatan Tuhan. Dinamika sosial politik (harus) berbasis ajaran-ajaran langit.
Sedangkan praktik kedaulatan negara, contohnya, dibentuk/adanya lembaga atau institusi-institusi bela negara, sishankamrata, pelindung rakyat dan lain-lain adalah cermin kedaulatan negara.
Nah, keberadaan TNI-Polri adalah ujud kedaulatan negara. Keduanya adalah alat negara, bukan alat pemerintah. Adanya BPK, KPK, MK pun demikian. Ia ujud perlindungan negara atas kesewenang-wenangan penguasa terhadap penggunaan keuangan negara (rakyat) dan hukum. Kalau pun kiprah lembaga-lembaga dimaksud masih sedikit agak error akibat side effect atas dominannya kedaulatan konstitusi, itu hanya oknum. Hal yang berbeda. Artinya, selain faktor profesionalisme, budaya buruk dan kurangnya proporsionalis terkait gaji serta kesejahteraan, kemungkinan juga good governance clean government belum optimal.
Di Thailand sebagai contoh, beberapa kali rezim penguasa (Perdana Menteri/PM) melakukan korupsi, abuse of power, seketika militer pun bertindak cepat menyelamatkan negara dari ulah oknum PM. Inilah ujud kedaulatan negara. Negara merupakan alat utama bagi rakyat untuk meraih tujuan nasionalnya.
Kalau di Myanmar lain lagi. Kiprah militer di sana malah sekadar proxy dari kekuatan eksternal atas nama proxy war di Thailand guna melawan adidaya global lainnya.
Konstitusi kita —UUD 1945 Naskah Asli— terkandung tiga kedaulatan sekaligus yakni kedaulatan Tuhan, kedaulatan rakyat dan kedaulatan negara.
Hingga hari ini, yang dibajak oleh kaum reformis gadungan adalah kedaulatan rakyat diganti dengan kedaulatan konstitusi. Namun, kedaulatan Tuhan dan kedaulatan negara tetap bersemayam di lubuk hati Ibu Pertiwi.
Kedaulatan konstitusi —yang kini berjalan— tanpa dibarengi kedaulatan negara dan kedaulatan Tuhan secara optimal, apalagi ketiadaan kedaulatan rakyat, akan berujung buntu di setiap perubahan. Terutama bagi negara yang belum matang secara demokrasi.
Dalam merespon perubahan, misalnya, sekali lagi — akan menemui jalan buntu, terutama tatkala para elit pokitik ingin memuaskan serta meluaskan nafsu kekuasaan, sedang UU-nya belum ada, atau aturannya tidak memadai. Mau mengubah konstitusi, pasti deadlock. Macet. Sebab, tidak ada ‘pucuk piramida’ selaku unsur pemimpin perubahan.
Dalam kedaulatan konstitusi, biasanya kerap terbit Perppu ataupun Dekrit atas nama ‘kegentingan memaksa’ (atau dipaksakan), atau negara dalam keadaan bahaya. Inilah yang akan terjadi bagi negara penganut kedaulatan konstitusi, sementara kedaulatan Tuhan dan kedaulatan negara dipinggirkan, sedang kedaulatan rakyat malah ‘dibunuh’.
Pertanyaan pamungkas kepada para pakar hukum tata negara di republik ini, “Adakah kedaulatan rakyat pasca Amandemen UUD 1945?”
Hay, kalian reformis gadungan! Sadarlah!
Di Bumi Pertiwi ini masih banyak kembang sore dan bunga-bunga sedap malam.
T a m a t
M Arief Pranoto, Pengkaji Geopolitik Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments