Melihat Praktik Kedaulatan Di Setiap Orde

Bagikan artikel ini
Cerpen Kecil Geopolitik tentang Penanganan Orang Asing
Hingga usia republik ini tiga/per empat abad lebih, belum ada satu pun era, orde, atau tatanan politik di republik tercinta yang menjalankan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Inilah premis dan/atau asumsi awal pada cerita pendek (cerpen) bernapas geopolitik.
Persoalan utama ialah, kalau tidak berganti-ganti (trial and error) konstitusi sebagaimana dulu di era Bung Karno (BK); atau tafsir tunggal Pancasila ala Pak Harto yang konon represif lagi otoriter; paling ‘sadis’ dan tidak punya adab —menurut hemat penulis— justru penggantian konstitusi (UUD 1945) karya agung The Founding Fathers and Mothers sebanyak empat kali (1999, 2000, 2001 dan 2002) dibarengi drama absurd ‘jatuh cinta’-nya sebagian anak bangsa kepada si penjajah alias fenomena stockholm syndrom.
Meski baru tiga era atau masa, namun episode alias babaknya nyaris lengkap. Ada babak coba-coba, ada episode tafsir tunggal alias bener e dewe, dan ada ‘babak penggantian’ karya agung para pendiri bangsa. Komplit.
Semoga ke depan, narasi di tiga era sebelumnya menjadi rujukan utama untuk era ke-4 (orde pasca reformasi). Harapannya, tak ada lagi trial and error, tidak ada pula tafsir tunggal, dan tidak ada episode penggantian konstitusi. Amiin. Entah apa sebutan orde tersebut nantinya.
Tak dapat dipungkiri, meskipun Indonesia sudah dipimpin tujuh presiden mulai dari BK, Soeharto, Habibie dan seterusnya sampai Jokowi, namun secara era, negeri ini baru menjalani ‘tiga orde’ sebagaimana diulas sekilas di atas yaitu orde lama, orde baru dan orde reformasi.
Jika cermat melihat, sungguh unik bahwa antara orde yang satu dengan orde lain (penggantinya), bukan-lah kesinambungan tatanan politik atau berkelanjutan, yang terjadi justru antitesis yaitu pertentangan (yang benar-benar) antar-orde. Bahwa orde yang lahir merupakan hasil ‘pertentangan oposisi’ secara optimal melawan rezim yang sah. Setiap orde, selalu terbidani akibat pergolakan politik. Orde baru contohnya, adalah antitesis orde lama; pun demikian dengan orde reformasi merupakan antitesis dari orde baru. Nyaris tidak ada sintesis. Sintesis itu percampuran yang selaras, atau kelanjutan orde sebelumnya.
Sekali lagi, orde demi orde bukanlah kesinambungan (sustainable), tetapi antitesis daripada tatanan politik sebelumnya.
Retorika mencuat, apakah sejak Proklamasi 17 Agustus 1945, hakiki (langkah) Indonesia itu ‘jalan di tempat’?
Retorika memang tidak untuk dijawab. Kalaupun dijawab pun, tidak letterlijk seperti itu. Terlalu sarkas. Namun, retorika di atas bisa iya (benar), bisa juga keliru. Kenapa begitu, meski secara fisik terlihat ada (pembangunan) perubahan, namun secara nonfisik — jalan di tempat. Sebab, tiap-tiap orde saling menganulir. Setiap orde menihilkan jasa orde pendahulu. Mikul nduwur mendem jero hanya sekadar wacana.
Ilustrasi ekstrim guna memotret perjalanan orde-orde dimaksud, ibarat perkembangan (maaf) orang idiot. Fisik terus bertumbuh, tetapi secara nonfisik (mental)-nya tetap, alias jalan di tempat.
Terkait judul di atas, ada asumsi khusus pada perjalanan republik ini terkait kedaulatan negara khususnya penanganan orang asing: “Bahwa seburuk-buruknya orde lama dan orde baru dalam ‘menafsirkan’ Pancasila dan UUD 1945, namun kedua orde tidak pernah memobilisir orang asing untuk masuk dan menetap di Indonesia dalam waktu lama”. Apapun agenda dan alasan. Entah atas nama investasi asing, atau second home visa, demi pertumbuhan ekonomi, dan lain-lain.
Kenapa?
Usai Perang Dingin, jauh-jauh hari — geopolitik mengingatkan, bahwa memasuki abad ke-21 ancaman keamanan bukan berasal dari state actor (aktor negara), tetapi nonstate actors (aktor nonnegara). Seperti korporasi misalnya, atau kelompok lobi, person, dan lainnya. Dengan kata lain, banyak negara kini menerapkan strategi kuda troya, asymmetric war, jebakan utang (debt trap), proxy war, dan invasi-invasi senyap lain dalam mengimplementasikan ‘geostrategi’-nya lewat aktor nonnegara.
Di bawah ini, sepintas digambarkan praktik kedaulatan di beberapa orde terkait penanganan orang asing.
Dulu, di era BK ada isu politik cukup dahsyat terkait kedaulatan negara berupa pengusiran orang-orang asing (China) di Bumi Pertiwi.
Peristiwa tersebut bermula dari Peraturan Pemerintah (PP) No 10/1959 tentang pelarangan warga China berdagang di bawah tingkat kabupaten. Sasaran PP ini sebenarnya WNA China, tetapi dampaknya meluas hingga mengimbas kepada semua warga keturunan (China) yang berdagang di desa. Tidak peduli mereka WNA atau WNI. Apakah implementasi PP 10/59 out of control?
Nah, akibat imbas negatif PP 10/1959 meluas, ratusan ribu WNA dipulangkan ke negeri leluhurnya kecuali keturunan Arab dan Eropa. Apa boleh buat. Isu tersebut sempat menimbulkan ketegangan hubungan antara RRC-Indonesia, yang akhirnya dapat dirampungkan via perundingan antara BK dan Chou En Lai, PM China pada masanya, melalui Perjanjian Dwi Kewarganegaraan Indonesia-RRC yang berlaku 1960-1962.
Dalam tempo dua tahun, masyarakat China di Indonesia memungkinkan memiliki dua kewarganegaraan, dan mereka bebas keluar masuk pada kedua negara serta berhak menjalankan usaha/bisnisnya. Akan tetapi, di awal orde baru berkuasa, perjanjian tersebut tidak dipakai lagi. Orang China yang masih memegang dwi kewarganegaraan dianggap stateless. Tidak diakui sebagai WNI. Itulah salah satu sikap geopolitik di era Pak Harto.
Menginjak 1966-an ke atas, banyak masyarakat China menjalani proses naturalisasi. Dan pada tahun 1969, Perjanjian Dwi Kewarganegaraan pun secara resmi dicabut atau dibatalkan. Para stateless akan ditangkap, lalu diusir dari wilayah Indonesia.
Pertanyaan sekarang, dengan berduyun-duyunnya TKA khususnya WNA China di orde reformasi kini, prakiraan apa yang bakal muncul apabila merujuk peristiwa pada orde-orde sebelumnya?
Let them think let them decide!
T a m a t
M Arief Pranoto, Pengkaji Geopolitik Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com