Membaca Skenario Pemilu Melalui Agenda 2024

Bagikan artikel ini
Obrolan di Warung Kopi
Politik praktis itu cair lagi rancu. Cair dalam makna merembes kemana-mana sesuai bidang yang ada, rancu dalam arti tidak sesuai pakem lazimnya. Dan realitas tersebut, kini tengah diperagakan oleh para elit politik di depan publik.
Joko Mania Nusantara (Jokman), contohnya, sejak ia didirikan hingga 2019-an, ‘tugas pokok’-nya adalah mem-bully Prabowo di satu sisi, dan menyanjung Jokowi pada sisi lain. Nah, jelang Pemilu 2024 ini, mereka berubah memuji Prabowo sebagai sosok yang berani lagi loyal. Ya. Jokman kini beralih di belakang Prabowo. Satu per/satu, haluan kapal mulai berbelok mengikuti arah angin. Namun sungguh unik, banyak pendukung Prabowo dalam pemilihan presiden (pilpres) 2014 dan 2019 yang lalu, sekarang tercerai-berai dan sepertinya lari ke Anies.
Tak boleh dipungkiri, Anies sekarang dipersepsikan sebagai sosok pengusung perubahan serta ‘antitesis’ dari Jokowi, meski ada pendapat tokoh lain menyatakan bahwa Anies justru ‘sintesis’-nya Jokowi. Sintesis itu percampuran yang selaras.
Nah, kedua frasa (antitesis dan sintesis) buah dari manuver Anies kini berkelindan di ruang publik. Merajut opini.
Jika ditinjau secara grafik, realitas di atas membentuk persilangan garis (maya) dalam konstelasi politik praktis, misalnya, musuh lama malah mendukung, para pendukung dulu justru menjadi lawan. Itulah yang disebut rancu alias falasifah. Kakaknya kawin dengan adiknya, kakaknya adik mengawini adiknya kakak. Kira-kira begitu ilustrasinya. Sekali lagi, inilah kerancuan hubungan atau falasifah. Dalam hukum agama langit, praktik falasifah dilarang atau haram. Akan tetapi, dunia politik sepertinya blong. Tidak ada pakem. “Halal – haram – hantam”. Tak ada kawan dan lawan abadi melainkan kepentingan yang abadi di satu sisi, sementara pada sisi lain, adagium ‘musuh temanmu ialah musuhmu, lawan dari musuhmu adalah kawanmu’ — ternyata hal tersebut tidak berlaku dalam konteks di atas.
Bisa jadi, episode politik semacam itulah yang membuat para follower sering tersesat tatkala menguntit langkah idolanya, sedang mereka tak cukup bekal serta kapasitas. Gilirannya kecewa dan marah terhadap sang elit, lalu leave atau mengalihkan dukungan ke lain hati. Hal ini sudah jamak di dunia politik, bahkan di internal partai sekalipun persis apa yang terjadi di NasDem, termasuk para pendukung lama (2014 dan 2019) Prabowo.
Pertanyaan muncul, “Bagaimana cara memahami langkah para elit agar followers tak kehilangan jejak sang idola?”
Menguntit jejak para elit sebenarnya tak sulit-sulit amat. Gampang. Kuncinya kudu cermat lagi jeli. Antara lain:
Langkah ke-1: memahami dahulu skema (pagelaran)-nya. Kalau dalam geopolitik, pahami dulu geoekonomi yang hendak diraih. Konflik Syria, misalnya, atau perang Irak versus koalisi militer Barat pimpinan Amerika (AS), skema geokonomi yang dituju adalah penguasaan minyak dan gas di negara target. Jadi, apapun isu, agenda, maupun (geo) strategi yang digelar, entah konflik antar-mazhab (Syiah – Sunni) dalam agama, atau isu senjata pemusnah massal, teroris, ISIS, ataupun isu demokratisasi, pelanggaran HAM, dan lain-lain, publik tidak boleh larut pada isu dan agenda yang di gelar, sedang hal tersebut cuma pintu pembuka. Tak lebih. Sekali lagi, pahami dulu hidden agenda atau skema (tujuan)-nya.
Namun, bila skema tidak terbaca oleh followers, maka langkah ke-2 ialah mengetahui agenda yang hendak digulirkan setelah isu ditebar untuk pintu pembuka.
Hajatan Pemilu 2024 contohnya, tema atau agendanya adalah melanjutkan program infrastruktur Jokowi yang menginduk pada Belt and Road Initiative (BRI) alias One Belt One Road (OBOR)-nya China. Kenapa? Sebab, dua periode masa jabatan presiden (10 tahun) tidak cukup untuk menyelesaikan program infrastruktur ala OBOR-nya China.
Timbul persepsi ancaman yang mengendap, jika bukan Jokowi maka program infrastruktur yang belum rampung akan ‘dimangkrakkan’ alias tidak berlanjut. Atas dasar asumsi atau persepsi ancaman di atas maka beberapa prakiraan skenario pun tergambar:
Skenario I: Jokowi tiga periode. Namun, langkah ini dipastikan gagal, sedang wacana mencawapreskan Jokowi saja ditolak Mahkamah Konstitusi (MK), apalagi tiga periode;
Skenario II: perpanjangan waktu jabatan (extanding extra time) presiden. Skenario ini akan berimplikasi penundaan pemilu sebagai langkah awal atas pertimbangan kegentingan memaksa ataupun ‘kegentingan yang dipaksakan’. Winter is coming;
Skenario III: apabila digelar pilpres, maka kudu dipastikan bahwa kandidat pilihan istana dan oligarki selaku penerus program Jokowi: HARUS MENANG. Tetapi, bila skenario III kurang meyakinkan bagi jago pilihan istana, maka balik lagi ke skenario II: tunda pemilu, lalu lanjut perpanjang waktu jabatan presiden.
Merujuk ketiga skenario di atas, yang paling realistis ialah Skenario II (tunda pemilu) dan Skenario III (pilpres digelar namun harus menang) sebab kedua skenario erat terhubung, saling mengisi dan saling menggantikan.
Akan tetapi, jika dua skenario tadi boleh diperas lagi, maka yang ideal adalah Skenario III. Kenapa demikian, selain minim risiko amuk massa di akar rumput serta timbul gejolak politik dari kelompok elitis, hal tersebut juga selaras dengan konstitusi.
Sekarang kita breakdown anatomi dan prakiraan dinamika pada Skenario III.
Tatkala tema dan agenda Pemilu 2024 bertajuk ‘melanjutkan pembangunan infrastruktur Jokowi’, sesungguhnya jargon ‘Anies antitesis Jokowi’ mengandung plus-minus serta konsekuensi. Ya, jargon dimaksud memang punya magnet besar di satu sisi, khususnya silent majority yang menginginkan perubahan (di luar entitas Kadrun dan Cebong); sedang di sisi lain, jargon ‘antitesis Jokowi’ membuat Anies dianggap common enemy (musuh bersama) oleh pihak sebelahnya terutama partai dan kelompok koalisi istana.
Jargon di atas, memiliki implikasi sangat negatif bagi Anies karena ia dianggap akan melakukan ‘perubahan’ dan berhadap-hadapan dengan kelompok rezim penguasa, sedang tema pemilu ialah melanjutkan program infrastruktur Jokowi. Perubahan seperti apa yang akan dilakukan Anies? Belum jelas apa yang akan diubah.
Retorikanya adalah, “Siapkah Anies dan koalisi pengusung menerima pembusukan, penjegalan, dan apapun cara agar gagal sebelum waktu pendaftaran tiba?” Retorika ini memang sebatas asumsi meski indikasi ke arah ‘itu” sudah bisa dirasakan.
Tak dapat dielak, kunci utama menjatuhkan Anies ada di dua titik. Titik pertama, berupa pencabutan/pembatalan pencapresan Anies oleh Paloh, atau salah satu unsur Koalisi Perubahan melakukan leave group maka ambang batas tak mencapai 20%;
Titik kedua, Anies ditersangkakan oleh KPK sebelum pendaftaran pilpres melalui isu Formula E dan/atau kasus bansos.
Namun, bila dua langkah kunci di atas tidak terjadi, hal itu bermakna antara dua asumsi, yaitu:
1) Paloh benar-benar ingin ada tata ulang kekuasaan; dan
2) Out of control. Anies unstoppable alias tak bisa dbendung. Paloh kehilangan tali kendali atas Anies.
Dengan demikian, satu-satunya jalan membendung Anies ialah mencarikan lawan sebanding dan seimbang. Secara survei, nyaris tidak ada satu pun sosok sejajar dengan Anies kecuali Prabowo Subianto.
Kenapa?
Selain kiprahnya sudah teruji di panggung pilpres. “Pendekar politik”. Dibanting bangun lagi, dijatuhkan berdiri lagi — sosok tahan ‘gebuk’, cinta tanah air, visioner, dan paling utama ia sangat loyal kepada Jokowi berikut program infrastrukturnya.
Adakah skenario lain selain narasi di atas?
Wait and see!
M Arief Pranoto, Pengkaji Geopolitik Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com