Agen Ekonomi Neoliberal dalam Pusaran Pemerintahan RI

Bagikan artikel ini

Sudarto Murtaufiq, Peneliti Senior Global Future Institute

Untuk memahami perkembangan dan mekanisme dunia saat ini, kita perlu terlebih dahulu memahami neoliberalisme yang menjelma menjadi ideologi yang sulit ditandingi oleh ideologi apapun, terlebih sejak digaungkannya gagasan tersebut oleh Margaret Thatcher. Semenjak 1970-an hingga kini, neoliberalisme mulai menanjak naik menjadi kebijakan dan praktek negara-negara kapitalis maju, dan didukung oleh pilar-pilar badan dunia, seperti Bank Dunia, IMF dan WTO. Melalui pilar-pilar itulah, negara-negara di dunia, terutama negara-negara yang sedang berkembang seperti Indonesia, setidaknya merasakan dampak yang begitu besar hampir di segala bidang. Pelbagai propaganda dan kampanye neoliberal telah berhasil membongkar karakter dasar dan fondasi kokoh sebuah negara. Maka persoalan yang bisa diajukan adalah, dari mana dan sejak kapan paham neoliberalisme itu mewarnai wajah NKRI kita.

Kampanye neoliberal untuk memelucuti NKRI ini tidak lengkap kalau tidak menyebutkan kelompok intelektual, terutama ekonom dan para pakar di bidang politik. Lewat mereka ini paham neolib disebarkan dan dimimplementasikan; mereka memberi kuliah-kuliah, menjadi bagian dari tim penasehat, menjadi menteri, memberi seminar dan sebagainya. Kita bisa belajar dari pengalaman di negara-negara Amerika Latin, seperti Bazil, Cile, Argentina, dan Meksiko, Bagaimana negara-negara tersebut terperosok dalam skema neolib. Melalui sejumlah ekonom paling berpengaruh, seperti Cardosa (Presiden Brazil, pada saat itu), Foxley, Cavallo, Aspe dan Evelyn Matthei, negara-negara tersebut telah mengadopsi pemikirian-pemikiran yang beraliran neolib. Kelima tokoh tersebut, dalam rekam jejak karir pendidikannya, memang terlahir dari rahim universitas-universitas AS yang beraliran neolib, seperti University of Chicago, Harvard University dan MIT.1

Bagaimana dengan Indonesia. Harus diakui Indonesia juga terpengaruh oleh pemikiran-pemikiran neolib melalui sekelompok intelektual dengan gelar Ph.D di bidang ekonomi dan ekonomi politik yang mereka peroleh dari pelbagai universitas terkemuka di AS, seperti Harvard, Cornell dan University of California di Berkeley. Mereka kebanyakan berprofesi sebagai dosen di perguruan terkemuka di Indonesia. Peran yang mereka mainkan adalah dengan mnegajarkan paham neolib untuk mengurangi intervensi negara, dan juga memberikan ruang gerak yang tak terbatas kepada ekonomi pasar.

Di sini, layak kiranya menyebut bahwa meraka, secara sadar atau tidak sadar, masuk dalam jangkar Washington Concensus yang menjadi semacam kredo yang memayungi semua pegiat neoliberal. Washington Concensus lahir dari konsensus tidak resmi antarpejabat dalam lingkaran institusi internasional dan pengusaha tentang pembangunan ekonomi yang mensyaratkan adanya pasar, liberalisasi perdagangan, dan tentu pengurangan peran negara dalam ekonomi.2

Bertolak dari pengalaman penulis di sela-sela pertemuannya dengan mantan presiden RI KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) di kediamannya, Ciganjur, pada saat masih nyantri dulu, Gus Dur pun menyadari betapa Indonesia sudah lama terperangkap dalam jerat-jerat kepentingan neolib. Gus Dur mengakui, saat pemerintahannya berupaya keras mengurangi tingkat ketergantungan terhadap bantuan ekonomi dari lembaga-lembaga internasional, betapa banyak ekonom dan ahli politik dalam negeri yang mendesak agar Gus Dur sewaktu menjabat presiden melunak dengan tawaran bantuan ekonomi dari luar. Gus Dur pun bersikeras pada sikapnya yang tidak sejalan dengan mereka, termasuk dalam menempatkan orang-orangnya di pos-pos strategis, seperti menkeu, menko perekonomian, menhan dan kepala Bapenas.

Diakui Gus Dur, bahwa upaya untuk melengserkannya dari kursi kepresidenan pun karena banyak di antara kebijakan-kebijakan pemerintahannya yang tidak sama sebangun dengan kepentingan agen-agen neolib. Maka, pelbagai upaya untuk menjatuhkannya pun terjadi. Melalui kasus yang dialamatkan kepadanya seperti Bruneigate dan Buloggate, Gus Dur pun berhasil dilengserkan meski secara hukum, Gus Dur tidak terlibat. Hal ini sesuai dengan kesimpulan Kejakgung bahwa Gus Dur memang tidak terlibat sama sekali dalam kedua kasus itu.

Singkat kata, terkait atas kedua kasus yang dialamatkan kepadanya, Gus Dur mengakui secara hukum pihaknya tidak bersalah, namun secara politik pihaknya kalah dan dikalahkan. Itulah potret riil bagaimana kelompok intelektual yang sudah menggurita hampir di pelbagai pos strategis turut mewarnai jalan di mana republik ini melangkahkan kakinya.

Dari pendangan penulis di atas, jelaslah sudah bahwa Indonesia sudah lama terjerat dalam kepentingan ekonomi neolib melalui individu-individu dan juga lembaga-lembaga konsultasi. Ideologi neolib ini telah mengilhami cara berpikir banyak orang dan amat sulit untuk dideteksi dan diukur. Ideologi ini sepertinya sudah melembaga dalam benak banyak orang dan telah berhasil mengalahkan bentuk-bentuk ideologi yang lain.

Catatan Kaki
1. Saori Katada, The Global Economic Crisis and East Asian Regionalism (New Yoork: Routledge, 2012), Hal. 65. Lihat juga Elizabeth Fuller Collins, Indonesia Betrayed: How Development Fails (Honolulu: University of Hawai’i Press, 2007), 176.

 

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com