Poros Baru Menghadapi Proxy War di Semenanjung Korea

Bagikan artikel ini

Indra Denni, dari Ikatan Alumni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (IKA GMNI) dan Fungsionaris Partai Demokrat.

(Sebuah catatan dari Seminar Terbatas Global Future Institute (GFI) bertajuk “Membaca Kebijakan Luar Negeri AS terhadap Korea Utara serta Dampaknya Bagi Indonesia,” pada 9 November 2017).

Awal abad ke-20, bencana pertama kali turun di Semenanjung Korea. Kekuasaan Kekaisaran Semenanjung Korea runtuh dan terbelah menjadi dua. Ini “dosa” Jepang yang sulit di-maafkan atau dilupakan oleh negara dan bangsa Korea.

Jepang pada tahun 1905 pertama kali melakukan aneksasi di Semenanjung Korea. Dampak kekalahan Jepang pada Perang Dunia II (1945) adalah awal pembagian “kavling” atau kavling project di wilayah Asia Timur, antara Uni Soviet dan Amerika Serikat.

Korea Utara, secara resmi disebut Republik Demokratik Rakyat Korea (RDRK) memiliki luas 120.540 km2 dengan jumlah penduduk mencapai 24,9 juta jiwa. Negara dan bangsa Korea Utara bergantung sumber ekonomi-nya dari 43,1% sektor industri, 23,3% pertanian dan 33,6% sektor jasa.

Presiden pertama RDRK Kim Il Sung dilanjutkan tongkat estafet kekuasaan kepada Kim Jong Il dan saat ini sebagai penguasa Korea Utara adalah Kim Jong Un.

Kini mata dunia tersentak kepada RDRK, negara bangsa yang belum berumur satu abad, tepatnya baru 68 tahun berdiri sebagai negara merdeka.

Pasca-perang saudara tahun 1950-1953 atau lebih dikenal Perang Korea, RDRK memulai produksi senjata yang menakutkan umat manusia yaitu pengembangan senjata nuklir.

Program nuklir RDRK awal dirintis tahun 1950-an. Memasuki 1969, RDRK telah mengembangkan senjata nuklir. Untuk tidak dicurigai dunia internasional, Korea Utara tahun 1974 bergabung dengan IAEA (Badan Energi Atom Internasional).

Pada tahun 1985, RDRK menandatangani perjanjian non-proliferasi nuklir (NPT), bahwa program nuklir Pyongyang semata untuk energi listrik.

Reaktor Nuklir Yongbyon pada tahun 1986 mulai produksi pengayaan uranium dan plutonium. Tujuh tahun kemudian 1993 RDRK keluar dari perjanjian non-proliferasi nuklir, karena menolak memberikan detail program nuklirnya kepada IAEA.

Satu tahun kemudian, 1994, Pyongyang dan Amerika Serikat melakukan Agreed Framework, kembali kepada energi fosil dan meninggalkan energi nuklir.

Tahun 1998 Amerika Serikat menuduh Korea Utara telah mengembangkan senjata nuklir dan telah melanggar perjanjian Agreed Framework.

Pada akhirnya enam negara melakukan perundingan di Beijing pada tahun 2003. China, Korea Utara, Korea Selatan, Amerika Serikat, Rusia dan Jepang membahas program reaktor nuklir Korea Utara.

Puncaknya, tahun 2005, Pyongyang secara terbuka menyatakan memiliki senjata nuklir dan menolak dari pembicaraan enam negara. Beberapa bulan kemudian RDRK bergabung kembali kepada NPT dan mempersilakan IAEA melakukan audit forensik fasilitas reaktor nuklir Pyongyang.

Tepat tahun 2006, dunia digegerkan dengan tiba-tiba Korea Utara pertama kali melakukan uji coba senjata nuklirnya, dengan hulu ledak berkisar satu kiloton.

Di tahun yang sama, Korea Utara kembali melakukan uji coba nuklir dan meluncurkan sejumlah rudal balistik jarak pendek. Kekuatan ledakan nuklir hampir mendekati lima kiloton.

Pada tahun 2013, uji coba nuklir ketiga dilakukan Pyongyang di bawah tanah. Diperkirakan ukuran ledakan mendekati 7 kiloton.

Kembali Pyongyang pada Mei 2015 telah mengklaim memiliki senjata nuklir yang mampu menjangkau wilayah Amerika Serikat.

Beberapa bulan kemudian tepatnya Desember 2015 Kim Jong-un menyatakan berhasil menciptakan bom hidrogen.

Korea Utara mengumumkan sukses melakukan tes bom hidrogen tahun 2016. Pada September 2016 RDRK melakukan uji coba nuklir kelima yang paling kuat. Korea Selatan mengatakan mendeteksi gempa buatan berkekuatan 5,3 Skala Richter.

Delapan bulan baru lalu, April 2017, Pyongyang kembali uji coba rudal baru. Korea Utara menembakkan empat rudal balistik yang tiga di antaranya jatuh di zona ekonomi eksklusif (ZEE) Jepang.

Ada apa di Semenanjung Korea?

Bila melihat geografis, wilayah Korea Utara terlindungi China dan Rusia. Pintu depan-nya berhadapan dengan Korea Selatan dan Jepang. Apakah dengan kekuatan militernya, Pyongyang akan melakukan invasi Korea Selatan ataupun Jepang? Apakah Perang Saudara tahun 1950 di Semenanjung Korea akan terulang lagi di abad ke-21?

Pertanyaan fundamental adalah kepentingan strategis apa yang ingin dicapai Pyongyang dengan melakukan invasi kepada Korea Selatan ataupun Jepang? Apakah sasaran antara?

Jepang dan Korea Selatan adalah negara “satelit” kekuatan hegemoni Amerika Serikat di kawasan Asia Timur. Bila dua negara sekutu Paman Sam tersebut dikuasai Korea Utara, semakin mengecil hegemoni Amerika Serikat.  Dan tentu mengganggu stabilitas keamanan kawasan Asia Pasifik, khususnya kepentingan Amerika Serikat dan sekutu-nya.

Pasca uji coba rudal balistik antar Benua Korea Utara, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) menjatuhkan sanksi embargo ekonomi untuk Pyongyang bulan Agustus 2017. China dan Rusia ikut menyetujui sanksi embargo ekonomi untuk Korea Utara, padahal selama ini, dua negara besar itu merupakan “pelindung” setia Pyongyang.

Pada September 2017, Bank Sentral China atau People’s Bank of China menyatakan telah menginstruksikan kepada perbankan melakukan penutupan atas rekening yang terkait dengan Korea Utara. Dan China telah membatasi ekspor produk minyak yang telah dimurnikan ke Korea Utara sebesar 500.000 barrel.

Beragam spekulasi bermunculan, bahwa China telah melakukan “konsesi” dengan Amerika Serikat khususnya untuk wilayah Laut Cina Selatan.

Dan pengamanan project jalur sutra modern China yang melintasi 62 negara, project ambisius China The Silk Road Economic Belt and the 21st-century Maritime Silk Road, better known as the One Belt and One Road Initiative (OBOR).

Rezim Xi Jinping melalui tangan Kim Jong Un melakukan manuver untuk menekan Amerika Serikat, melalui berbagai uji coba hulu ledak nuklir mengancam keamanan kawasan Asia Pasifik.

Lalu apakah Paman Sam mempercayai “nothing tulus” China membantu penyelesaian masalah Korea Utara? Walau China telah ikut menyetujui dilakukannya embargo ekonomi terhadap Pyongyang.

Amerika Serikat telah melakukan mobilisasi dan demobilisasi sejumlah armada kapal perang ke Semenanjung Korea, Amerika Serikat telah mengaktifkan sistem anti-rudal Terminal High Altitude Area Defence (THAAD).

Konon moncong THAAD diarahkan ke Beijing bukan ke Pyongyang. Argumentasi Amerika Serikat dan diperkuat Korea Selatan bahwa sistem tersebut dipasang untuk menghalau rudal Korut.

China dan Rusia berpendapat berbeda, bahwa pengerahan THAAD tak hanya akan mengganggu keseimbangan keamanan regional namun juga bisa menghambat kemampuan balistik dua negara.

Kawasan Asia Pasifik memiliki beragam konflik dan menjadi “bom waktu” suatu ketika akan meledak. Peta konflik ini antara lain; Semenanjung Korea (Amerika Serikat, Korea Selatan, Korea Utara, China), Konflik Teluk Taiwan (China-Taiwan), Konflik Laut Cina Selatan dan Kepulauan Paracel (China, Taiwan, Vietnam, Filipina, Malaysia, Indonesia dan Brunei), Konflik Sengketa Kepulauan Utara (Jepang-Rusia), sengketa Takeshima-Tokdo (Korea Selatan-Jepang, sengketa Kepulauan Pedra Branca (Singapura-Malaysia), sengketa wilayah Limbang (Malaysia-Brunei).

Proxy War atau Perang Asimetris Abad 21

Agitasi Donald Trump, akan menghancurkan Pyongyang apabila Kim Jong Un terus melakukan “provokasi udara” terhadap Amerika Serikat dan sekutu-nya.

Dan Kim Jong Un pun melakukan balasan agitasi dengan mengatakan, “Trump terganggu mentalnya dan Korea Utara akan melakukan langkah perlawanan dengan kadar kekerasan tertinggi sepanjang sejarah.”

Sepertinya perkembangan diplomasi internasional akhir abad 21 mengalami kemunduran drastis, satu garis simetris atau satu nafas kemunduran peradaban di dunia.

Diplomasi internasional masa ke-emas-an terjadi di awal abad ke-21, angin perubahan globalisasi menghempaskan etika diplomasi internasional. Perubahan geo-politik global dari bi-polar menjadi multi-polar, era ketergantungan (interdependensi) antar negara bangsa dan saling keterkaitan  (inter-connection) antar masalah.

Pasca Perang Dingin berganti menjadi proxy war, diplomasi internasional sebagai “ruang” utama penyelesaian konflik berganti menjadi perang menggunakan pihak ketiga sebagai pengganti berkelahi satu sama lain secara langsung.

Di dalam proxi war atau Perang Asimetris memerlukan “aktor” sebagai “proxy agent” sebelum sasaran strategis tercapai, sebagaimana peristiwa Arab Spring dan Marawi di Filipina.

Proxy agent bisa berlatar belakang LSM, perusahaan multinasional, media massa dan civil society. Perang Asimetris akan “menari” di dalam issue-issue sensitive, seperti hak asasi manusia, senjata biologi/nuklir, humaniter, demokrasi, terorisme, good governance, lingkungan hidup, dll.

Proxy war antara Korea Utara versus Amerika Serikat akankah mencapai titik klimaks menjadi bencana kemanusia yang paling dahsyat dipermukaan bumi, hulu ledak berterbangan menghiasi langit antar benua?

Estimasi terburuk bila Kim Jong Un merasa di-“khianati” oleh China dan Rusia yang telah mendukung Amerika Serikat di dalam embargo ekonomi terhadap Korea Utara, hulu ledak nuklir antar benua melesat sebagai justifikasi Kim Jong Un untuk membela diri dari ancaman kedaulatan negara bangsa-nya.

Kemungkinan terburuk itu memiliki latar belakang yang saling mendukung, karena ruang diplomasi telah “usang” digantikan peran-nya dengan Perang Asimetris yang bisa menjadi “bola liar” dan sulit dikelola karena beragam aktor non-pemerintahan dapat terlibat secara langsung.

Posisi Indonesia dalam Konflik Semenanjung Korea

Bagaimana peran ASEAN dalam menyikapi konflik di Semenanjung Korea? Dalam kurun waktu 20 tahun peran aktif ASEAN dalam mengatasi konflik di kawasan Asia-Pasifik khususnya wilayah regional mengalami kemunduran, seperti konflik Marawi di Filipina dan krisis kemanusiaan di Myanmar terhadap etnis Rohingya.

Negara-negara yang tergabung di dalam ASEAN sibuk berjalan masing-masing, mungkin ini salah satu dampak perubahan strategis lingkungan global pasca Perang Dingin berakhir.

Sepertinya Indonesia sulit mempergunakan jalur diplomasi membawa “gerbong” ASEAN, di dalam penyelesaian konflik di Semenanjung Korea.

Pada 7 Januari 1965 Presiden Soekarno membentuk “aliansi” baru beranggotakan empat negara, Indonesia, China, Korea Utara dan Vietnam Utara. Poros Jakarta-Peking dan Poros Jakarta-Phnompen-Hanoi-Peking-Pyongyang.

Dan dibentuk-nya Conference of The New Emerging Forces (CONEFO) dibentuk untuk mengimbangi dua kekuatan blok Uni Soviet dan blok Amerika Serikat.

Hubungan Presiden Ir. Soekarno pertama kali dengan Kim Il Sung Presiden Korea Utara sejak tahun 1964, ketika kunjungan resmi Bung Karno ke Pyongyang dan dibalas kunjungan Kim Il Sung beserta Kim Jong Il ke Indonesia April 1965.

Festival “Kimilsungia” setiap tahun dirayakan hingga kini, merupakan sejarah mengenang penghormatan hubungan Korea Utara dan Indonesia. Bunga Anggrek Dendrobium hasil penyilangan dari Bung Karno diberikan kepada Kim Il Sung sebagai hadiah dan diberikan nama oleh Presiden Soekarno “Dendrobium Kimilsungia” sebagai simbol hubungan erat Indonesia dan Korea Utara.

Tuduhan Amerika Serikat dan Uni Soviet bahwa Bung Karno sedang membangun kekuatan di Asia Timur, untuk mengimbangi kekuatan hegemoni AS dan US beserta Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Pasca keluar-nya Indonesia dari PBB memperkuat dugaan tersebut, serta Indonesia yang membidani kelahiran Konfrensi Asia-Afrika pada tahun 1955.

KAA memiliki tujuan kerjasama ekonomi dan kebudayaan serta melawan neokolonialisme Amerika Serikat, Uni Soviet dan negara imperialis lainnya.

Sebanyak 29 negara peserta KAA yang mewakili lebih dari setengah total penduduk dunia pada saat itu mengirimkan wakilnya.

Presiden pertama Indonesia Ir. Soekarno masa itu, mampu mengimbangi hegemoni blok-blok kekuatan seperti AS dan US. Negara yang baru lahir, di luar dugaan, telah diperhitungkan dunia internasional.

Kedekatan hubungan “emosional” Indonesia dan Korea Utara mengalami pasang surut, ketika rezim orde baru berkuasa hubungan “dua sahabat” ini merenggang jarak.

Namun hubungan “bawah tanah” non-pemerintah tetap berjalan baik, seperti Indonesian National Student Movement dan mahasiswa Korea Utara.

Konflik Semenanjung Korea adalah momentum bangkit-nya diplomasi “konfrontasi” Indonesia, untuk menjadi “bandul” penyeimbang di dalam konflik tersebut.

Dengan kedekatan “bathin” Indonesia dan Korea Utara, diharapkan mampu meredam ketegangan Korea Utara versus Amerika Serikat.

Dampak negatif yang ditimbulkan bila perang konvensional terjadi di Semenanjung Korea terhadap Indonesia, antara lain; Hujan butiran  radioaktif, dimana Angin dibelahan Utara akan berbenturan dengan angin bagian Selatan dan bertemu di ekuatorial khatulistiwa.

Jarak Semenanjung Korea hanya 2.200 kilometer dari Papua dan 4.700 kilometer dari Jakarta. Kalau terkena radiasi, ini bisa menimbulkan mutasi genetik.

Indonesia baru akan mengoperasikan alat pendeteksi radiasi CTBT di enam lokasi diantara-nya; Medan, Riau dan Makassar.

Dampak ekonomi akan terjadi persoalan dalam hal penjualan LNG ke Korea Selatan, Jepang dan Republik Rakyat China (RRC).

 

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com