Diolah dari Artikel F. William Engdahl bertajuk:
The WEF Agenda Behind Modi Farm Reform
Pada September 2021 mendatang, Perserikatan Bangsa-Bangsa akan menyelenggarakan Konferensi Tingkat-Tinggi bernama A. Food System Summit. Tujuan di balik KTT Sistem Pangan tersebut adalah untuk menata ulang Sistem Pertanian dan Produksi Pangan sesuai dengan Skema UN Agenda 2030 terkait Sustainable Agriculture. Undang-Undang Pertanian baru yang diprakarsai oleh Perdana Menteri India Narendra Modi pada September tahun lalu, nampaknya sejalan dengan arahan dari UN Agenda2030.
Tiga undang-undang yang dirilis oleh perdana menteri India Modi terkait lahan pertanian itu sangat merugikan rakyat, sehingga memicu gelombang protes dari berbagai serikat tani agar tiga undang-undang tersebut dicabut.
Sepertinya program reformasi pertanian dan pertanahana pemerintahan Modi tersebut erat kaitannya dengan agenda yang dicanangkan oleh World Economic Forum (WEF) yaitu Visi Baru Untuk Pertanian, dalam kerangka Great Reset yang digagas oleh Klaus Schwab. Bagian dari the UN Agenda 2030 berkaitan dengan korporasi.
Berbagai elemen masyarakat tani nampaknya beralasan untuk menentang ketiga undang-undang tersebut. Lantaran melalui undang-undang tersebut, korporasi diberi kebebasan untuk membeli lahan tanah pertanian dan menyimpan komoditas pertanian dengan tujuan untuk mengontrol harga komoditas pertanian agar tidak merugikan kepentingan korporasi di bidang agrobisnis. Bukan itu saja. Lewat undang-undang tersebut, perusahaan-perusahaan multinasional bisa melangkahi pasar di tingkat daerah maupun pusat melalui mana selama ini produksi pertanian dapat dijual dengan harga yang sepantasnya. Sekarang lewat undang-undang agrarian tersebut, pihak korprasi bisa mengadakan transaksi langsung dengan para petani.
Skema di balik keluarnya ketiga undang-undang tersebut, pada perkembangannya akan melemahkan dan melumpuhkan puluhan juta pengusah-pengusaha menengah dan kecil yang bergerak di sektor pertanian.
Undang-undang yang dirilis oleh perdana manteri Modi sejatinya atas desakan dari Bank Dunia dan IMF yang sejak 1990an agar sektor pertanian dan lahan pertanian sejalan dengan skema beberapa korporasi global bidang agrobisnis yang dipelopori oleh Rockefeller Foundation. Yang mana selama beberapa decade terakhir India selalu menentang upaya untuk melemahkan aspirasi para petani, yang mana merupakan lapisan terbesar dari penduduk India.
Argumen yang jadi dasar Modi untuk mendukung keluarnya ketiga undang-undang tersebut adalah agar para petani India pendapatannya dalam meningkat dua kali lipas pada 2022 mendatang. Sebuah klaim yang tentu saja sangat diragukan validitasnya. ‘
Betapa tidak. Lewat ketiga undang-undang tersebut, korporasi agrobisnis asing bisa membeli lahan pertanian pada skala nasional sehingga beberap perusahaan agrobisnis besar, seperti perusahaan pengolahan bahan pangan, dan para eksportir, dalam menanam investasi di sekor pertanian, sementara perusahaan-perusahaan agrobisnis berskala kecil tidak punya peluang sama sekali.
Siapa yang dibelakang keluarnya undang-undang pertanian yang merugikan masyarakat tani tersebut. Undang-undang tersebut tidak bisa dilepaskan dari upaya terus-menerus dari World Economi Forum, khususnya New Vision for Agriculture Initiative, dalam menggolkan regulasi semacam ini sejak 12 tahun terakhir ini.
India hanya salah satu sasaran dari skema World Economic Forum dan New Vision for Agriculture. Selain India yang masuk kawasan Asia, juga dilancarkan terhadap Afrika dan Amerika Latin. Dan di kawasan Asia, India merupakan taget mereka yang paling utama. Yang mana sasaran strategisnya adalah menghancurkan sistem pertanian dan pangan tradisional. Komunitas pertanian berskala kecil harus menjual hasil pertaniannya kepada beberapa korporasi agrobisnis besar. Adapun perlindungan negara terhadap kepentingan komunitas pertanian berskala kecil dan menengah dihapus.
Sehingga frase sustainable agriculture hanya berlaku bagi korporasi agrobisnis dan konglomerasi raksasa, tapi sama sekali tidak sustainable bagi komunitas pertanian berskala kecil dan menengah.
Untuk memuluskan agenda global sesuai skema New Vision for Agriculture tersebut, WEF menciptakan kelompok kepentingan yaitu the NVA India Busineess Council. Mereka ini membahasakan dirinya sebagai kelompok kepemimpinan tingkat tinggi bersifat informal, untuk mendukung kolaborasi antar berbagai sektor swasta untuk menggerakkan sustainable agriculture di India.
Adalah melalui NVA India Business Council ini, termasuk di dalamnya Bayer Crop-Science, juga Mosanto yang memperakarsai rekayasa genetika (Genetically Modified Organism-GMO), Cargill, Dow Agro-Science, DuPont, Wal-Mart India, Nestle India Ltd, PepsiCo India, Rabobank International, Swiss Re Service, perusahaan asuransi India Private Limited, dan grup bisnis Adani Group yang merupakan bagian dari Gautam Adani, dan bergerak sebagai perusahaan kimia, dan merupakan orang terkaya kedua di India.
Rupanya selain Gautam Adani, perdana menteri Modi juga punya dukungan keuangan yang cukup kuat di lingkup WEF dan NVA, yaitu Mukesh Ambani, yang duduk sebagai anggota dewan direktur Klaus Schwab’s World Economic Forum. Adapun Ambani sendiri merupakan Chairman dan Managing Director Reliance Industries, sebuah konglomerasi terbesar di India. Ambani tercatat sebagai orang terkaya kedua di Asia, dengan kekayaan sebesar 74 miliar dolar AS. Dialah yang merupakan salah seorang pendukung gigih keluarnya undang-undang pertanian tersebut di atas.
Kepentingan korporasi global agrobisnis untuk menguasai sektor pertanian India nampak terang-benderang. Fakta bahwa saat ini India berpenduduk 1,4 miliar jiwa, setengahnya bergerak di sektor pertanian. Sehingga hingga kini merupakan benteng pertahanan nasional menghadapi upaya korporasi asing mendominasi produksi pangan India.
Manuver the Gates and Rockefeller Foundations, the UN 2021 Food Systems Summi, tata ulang sistem pangan dunia dalam kerangka the WEF in the world “food systems” reset, dan keluarganya tiga undang-undang pertanian India yang diprakarsai oleh perdana menteir Modi seperti halnya juga diterapkan di kawasan Afrika, nampaknya bukanlah sebuah kebetulan. Tujuan di balik itu adalah memasukkan India ke dalam jaringan kendali kontrol jaringan korporasi-korporasi agrobisnis global.