Tentang Oase Nusantara

Bagikan artikel ini

Ngaji Sastra Geopolitik

Nusantara itu ibarat oase di sahara (geopolitik) global. Sebuah lubuk nan hijau, indah, sejuk lagi sexy. Selain “air”-nya tak pernah kering, anginnya sepoi-sepoi, juga “buah”-nya pun aneka macam.

Melalui penelitian 30 tahun kemudian dituang dalam buku “Atlantis, The Lost Continent Finally Found“, Prof Arysio Santos menengarai nusantara adalah (jejak) Atlantis, sumber segala peradaban. Nenek moyang bangsa-bangsa. Ia merupakan ‘surga bumi’ yang disebut-sebut oleh berbagai tradisi suci dunia. Makanya bumi pertiwi digandrungi —eufemisme diincar mau dicincang— para pelancong dan pencoleng melalui berbagai modus karena faktor takdir geopolitik. Mengapa diksi pelancong dan pencoleng disandingkan? Semata-mata karena fakta empirik bahwa pencoleng sering menyaru sebagai pelancong, dan pelancong kerap menjadi tim aju para pencoleng. Apa boleh buat, begitulah nasib geopolitik nusantara dalam perspektif oase global.

Bayangkan, sejak peradaban pramodern, rempah-rempahnya dicuri banyak pencoleng, ia masih sexy; memasuki abad ke-20: emas, minyak dan gas bumi dikeruk sana-sini, masih tetap sexy. Entah di abad ke-21. Katanya sich nusantara ini berlimpah rare earth alias mineral tanah jarang; bilangnya sich bumi pertiwi berserak lithium, konon ia tempatnya uranium dan seterusnya — raw material industri strategis di masa depan— akankah ibu pertiwi pasrah dirudapaksa lagi oleh para pencoleng dan “madu”-nya dihisap nyaris tanpa perlawanan?

Menganalog Ngaji Tauhid dalam sisi geopolitik, bila negara itu (ibarat) jasad kasar, maka jisim latief atau jasad halus adalah sistemnya. Ada causalitas keduanya: fisik-nonfisik, kasar-halus, negara dan sistem (negara).

Dari perspektif ngaji tadi, kerap kali — mimpi, isyarat, petunjuk, bahkan ilusi pun berawal dari jisim latief. Si jasad halus. Orang mimpi berkelahi, jasad kasar ikut bergerak; mimpi gigi rontok, ada suadara dekat meninggal; mendapat petunjuk-Nya lewat mimpi, jasad halus yang menerima kecuali Nabi mampu secara langsung dari-Nya meski masih ada hijab, atau lewat perantara malaikat. Kenapa? Selain jisim latief dekat dengan ruh, ia juga dekat dengan raga. Jasad kasar. Semacam linking pin. Poin intinya, fenomena jasad kasar (negara) bermula dari jisim latief (sistem).

Dalam bernegara, contohnya, gerak langkah tersurat (haluan negara), seyogianya beranjak dari hal tersirat (sistem negara). Jika tidak: bakal meraba-raba dan ujungnya kesasar!

Lantas, apa antitesis yang bisa dipetik dari analogi tesis (sastra geopolitik) di atas?

Ya. Jika ingin melemahkan negara, “bengkok”-kan dulu sistemnya; bila akan menghancurkan sebuah sistem, lemahkan dulu intelijen dan lembaga penelitian yang ada; kalau ingin melemahkan intelijen dan institusi penelitian, taruh orang tanpa kompeten dan tak punya integritas pada kedua organ tersebut. Maka organisme apapun bakal punah tanpa peperangan karena ‘mata’ dan ‘telinga’-nya buta dan tuli.

Pertanyaannya ialah: “Bagaimana sistem atau jisim latief di bumi pertiwi, yang katanya Santos merupakan surga bagi berbagai tradisi suci dunia?”

Semenjak empat kali amandemen UUD 1945 (1999 – 2004) —ini sistem— republik ini terlihat lemah. Apakah sistemnya dibengkokkan? Banyak indikator di hulu dan di hilir.

Bahwa “ruh” dalam bernegara adalah kedaulatan rakyat. Pemilik kedaulatan tertinggi. Dan hari ini, ia telah diambil oleh para pemilik modal secara senyap melalui amandemen UUD 45. Tanpa letusan peluru. Jadi, hakiki amandemen ialah pengambilalihan kedaulatan dari tangan rakyat ke genggam para pemilik modal.

Tak dapat disangkal, peristiwa ini membidani apa yang disebut oligarki dengan berbagai varian. Intinya: persenyawaan kekuasaan dengan kekayaan, persekutuan antara penguasa dan pengusaha, kata Prof Jeffry Winter.

Bagaimana kiprah dan peran partai politik dan anggota parlemen pada masanya sehingga terjadi pengambilalihan kedaulatan rakyat oleh kaum pemodal?

Ada beberapa puzzle sebagai indikator. Antara lain sebagai berikut:

1) pasca-jatuhnya orde baru, muncul euforia demokrasi dan semangat ‘asal berubah’ usai 30-an tahun terkungkung orde otoriter. Gilirannya, kondisi itu kebablasan dan/atau dibablaskan;

2) alergi terhadap semua hal yang berbau rezim lama. Jadi, hampir semua piranti sistem diubah serta diganti, sehingga usulan amandemen pun disetujui. Nah, pada poin ini, parlemen 1999-2004 sangat abai bahwa Indonesia adalah oase global yang diincar para pencoleng dengan beragam modus. Maka dalam tempo sesingkat-singkatnya UUD 45 dan hampir semua aturan di bawahnya diubah menjadi pro-pasar atas nama neoliberalis;

3) dalam gegap reformasi tidak ada ruptura pactada, pola pembersìhan dari unsur-unsur rezim lama. Yang dijalankan justru reforma pactada, dimana ‘sisa’ organ lama diakomodir bahkan menjadi aktor dalam geliat reformasi;

4) ada stigma bahwa segala hal terkait rezim lama dianggap buruk di satu sisi, nah — di sini si pemilik pemodal melalui power uang dan jaringan (politik) global membonceng kepentingan dalam deras perubahan di sisi lain. Dan dampak euporia berlebih tersebut, maka UU pun ditawar, pasal-pasal pun diobral dengan harga murah. Hari ini, banyak beroperasi UU pro-pasar dan sangat berpotensi membawa uang dan kekayaan alam bangsa lari ke luar;

5) dan lain-lain.

Sampailah pada simpulan kecil dari ngaji sastra geopolitik ini. Ada dua poin utama:

Pertama, bahwa amandemen UUD 1945, selain merupakan ujud pengambilalihan kedaulatan negara dari tangan rakyat ke pemilik modal, ia juga bentuk nyata dari pembengkokkan sebuah sistem negara. Ini adalah upaya senyap kaum pencoleng guna menjarah kekayaan dan sumber daya bumi pertiwi. Istilahnya: “penjajahan senyap melalui sistem”;

Kedua, pada sistem yang bengkok, niscaya tak bakal mampu mengantar sebuah bangsa pada tujuan dan cita-cita luhur bernegara. Kenapa? Sebab tak sedikit sub-sistem dibuat melenceng, selain keluar dari jalur semestinya, justru menguntungkan dan kerap berpihak pada para pencoleng.

Dengan demikian, apabila dikaji dari perspektif ngaji sastra (geopolitik), jika bangsa dan negara ini ingin kembali ‘jejeg‘ — seyogianya kudu kembali dulu ke UUD 1945 asli dan menata lagi causalitas antara jasad kasar (negara) dan jisim latief (sistem) sebelum kian jauh kesasar atau tersesat.

Dan pada ujung catatan ini, saya teringat ucapan Jenderal Charles de Gaulle (1890 – 1970), pemimpin militer dan negarawan Prancis: “Yang alergi dengan kedaulatan rakyat/pribumi hanya dua, penjajah asing dan budak asing”.

End

M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com