Aspek paling rawan dari Budapest Convention on Cybercrime (BCOC) yang diresmikan pada November 2001 tersebut adalah klausul yang terdapat dalam pasal 32. Pada pasal 32 BCOC tentang trans-boarding access to independent states data without their agreement, pada praktiknya akan membuka peluang bagi AS maupun negara-negara sekutunya untuk mendapatkan informasi yang masuk kategori sensitive dari negara-negara lain. Dan data yang mereka dapatkan itupun, tidak ada kewajiban untuk dibagikan kepada negara-negara anggota BCOC lainnya.
Baca artikel saya sebelumnya: Budapest Convention on Cybercrime (BCOC) Instrumen Hukum Internasional AS Untuk Menguasai Dunia di Bidang Cyber
Ketika bocoran rahasia NSA terungkap ke publik ihwal adanya persekongkolan antara instansi keamanan dan beberapa perusahaan IT Internasional, maka skema BCOC sebagaimana terjabarkan dalam pasal 32 tersebut tadi, merupakan bukti nyata yang tak terbantahkan. Bahkan lingkup penyadapan bukan saja ditujukan kepada negara-negara musuh AS, melainkan meluas juga ke negara-negara sekutu Amerika maupun warga masyarakat pada umunya.
Harian terkemuka Inggris the Guardian ketika menerbitkan dokumen rahasia bocoran mantan kontraktor CIA Edward Snowden pada 2013 lalu, menyingkap adanya kerjasama perusahaan-perusahaan pelayan jasa internet seperti Google, Skype, Facebook dan yang lainnya dengan badan-badan intelijen Amerika Serikat dan Inggris, memaksa salah satu jejaring sosial internet terbesar untuk membocorkan informasi warga masyarakat.
Dalam tulisan kami pada 9 April 2012, Global Future Institute sudah mensinyalir bahwa Pemerintah Amerika Serikat nampaknya sudah mulai terganggu dengan maraknya media media alternatif yang mampu mengimbangi infomasi informasi yang disebarkan oleh pihak resmi di Washington terhadap sepak terjang AS di beberapa negara.
Bukan itu saja. Jauh-jauh hari sebelum bocoran NSA yang dirilis oleh mantan kontraktor CIA tersebut, Global Future Institute sempat menginformasikan adanya manuver yang dilakukan oleh Departemen Pertahanan (Pentagon) mendorong beberapa perusahaan pengelola media internet, untuk mengembangkan semacam program rintisan (Pilot Project), agar secara sukarela berbagi informasi terkait dengan semua aktivitas media internet.
Berarti ini merupakan semacam upaya dari Pentagon agar perusahaan perusahaan pengelola internet untuk memainkan peran sebagai unsur unsur garis depan dari operasi intelijen pemerintahan AS.
Bahkan Pentagon mencanangkan kepada publik bahwa media cyber atau internet sebagai wilayah pertempuran baru. Ini tentu saja harus dibaca sebagai indikasi bahwa Pentagon, yang selama ini hanya menangani bidang pertahanan dan kemiliteran ataupun perang militer, ternyata sekarang mulai terjun juga di ranah perang media yang notabene masuk kategori perang non-militer yang seharusnya militer tidak berhak ikut campur.
Seperti halnya penuturan Snowden sendiri:
“NSA telah membangun infrastruktur yang mengizinkan untuk menyadap hampir segalanya. Dengan kemampuan ini, sebagian besar komunikasi manusia secara otomatis ditelan tanpa sasaran. Jika saya ingin melihat surat elektronik Anda atau telepon istri Anda, apa yang saya lakukan adalah menyadap. Saya dapat surat elektronik Anda, kata sandi, catatan telepon, kartu kredit. ”
Penuturan Snowden tersebut merupakan bagian dari kesaksiannnya kepada harian Inggris the Guardian. Sebuah harian terkemuka Inggris yang selalu kritis terhadap praktek-praktek konspiratif dari pemerintah Inggris maupun Amerika kepada publik.
Kepada the Guardian dan harian AS Washington Post, Snowden menyerahkan presentasi dalam format Power Point total berjumlah 41 slide yang berisi rincian program PRISM. Program ini disebut-sebut sebagai operasi mata-mata internet yang dibesut oleh National Security Agency (NSA).
Menurut informasi Snowden, PRISM diduga memiliki akses ‘pintu belakang’ ke 9 server perusahaan Server Provider AS kelas kakap di bidang teknologi seperti: Microsoft, Yahoo, Google, Facebook, PalTalk, AOL, Skype, YouTube dan Apple. Yang fungsinya untuk mencegat lalu lintas data global yang melewati server itu untuk keperluan intelijen.
Tentu saja pada waktu itu sembilan perusahaan tersebut langsung membantah berita yang dilansir oleh The Guardian tersebut. Namun yang pasti, jika informasi Snowden itu benar, maka ada kemungkinan arus lalu-lintas data pribadi dan percakapan via internet di Indonesia ikut disadap dan dicegat oleh PRISM.
Nampaknya inilah yang dimaksud Pentagon tempo hari sebagai Perang Cyber. bahwa dinas keamanan AS memantau data tentang panggilan telepon dari data Verizon dan internet dari perusahaaan-perusahaan besar seperti Google dan Facebook.
Sejak diriisnya BCOC yang dimotori AS, tak diragukan lagi Washington sedang dilanda kepanikan. Keterlibatan langsung Pentagon dalam perang cyber melawan yang mereka anggap sebagai musuh musuh di ranah informasi dan pemberitaan, menggambarkan secara jelas betapa AS mulai tersudut dalam perang informasi berskala global.
Melalui rencana strategis Perang Informasi Pentagon di ranah media internet, pada perkembangannya telah melibatkan juga Departemen Keamanan Dalam Negeri AS (Department of Homeland Security).
Berarti, skema perang cyber tersebut telah berkembang menjadi gerakan lintas kementerian, dan juga melibatkan sektor sektor swasta strategis, untuk mengidentifikasi dan menjinakkan aksi aksi informasi dari negara-negara dan kelompok kelompok strategis non negara, yang mereka anggap bakal menghancurkan infrastruktur strategis AS dan para sekutu barat lainnya.
Dokumen Edward Snowden yang dibocorkan pada 2013 lalu juga menyingkap operasi spionase NSA memata-matai secara intensif salah satu negara sekutu andalan AS pasca Perang Dingin, Jerman dan Prancis.
Terungkapnya dokumen Snowden mengirim sebuah pesan tersirat yang cukup penting dalam membaca konstelasi global saat ini. Pada satu sisi, gencarnya penyadapan NSA terhadap Cina dan Rusia memang merupakan hal yang patut dimaklumi mengingat posisi kedua negara tersebut sebagai lawan ideologis maupun pesaing antar sesama negara adikuasa.
Namun fakta lain dari bocoran Snowden tersebut mengungkap bahwa NSA ternyata juga menyadap kedutaan negara sahabat yang jumlahnya, menurut file bocoran Snowden pada September 2010, mencapai 38 negara.
Luke Harding dalam bukunya bertajuk: The Snowden Files, Kisah Pembocoran Dokumen Paling Rahasia Sepanjang Sejarah. Jakarta: Gagas Bisnis, 2015, menulis bahwa Jerman dan Prancis yang notabene merupakan sekutu strategis AS dan sesama anggota pakta pertahanan atlantik utara (NATO), ternyata melalui dokumen Snowden AS memandang kedua negara Eropa Barat tersebut sebagai fair game. Artinya, meskipun sekutu dekat, kedua negara tersebut tidak termasuk Five Eyes, klub negara-negara yang berbahasa Inggris seperti Australia, Selandia Baru dan Inggris.
Menariknya lagi, menurut catatan NSA, Prancis dan Jerman dipandang sebagai mitra asing ketiga. Bahkan Jerman berada di level teratas dalam daftar negara yang dimata-matai oleh AS, sama seperti Cina, Irak, dan Arab Saudi.
Hendrajit, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)