Seiring dengan dicanangkannya dua doktrin yang dirilis Pentagon(Kementerian Pertahanan AS) pada era kepresidenan Donald J Trump, the National Security Strategy dan the National Defense Strategy pada 2017 dan 2018, yang mencanangkan Cina dan Rusia sebagai musuh utama AS. Maupun pada era sebelumnya, ketika George W Bush terpilih sebagai presiden AS dan masuk Gedung Putih pada 2001, juga mencanangkan Cina dan Rusia sebagai musuh utamanya lewat blueprint-nya bertajuk Project New American Century (PNAC),
Maka itu tidak mengherankan ketika bidang cyber kemudian menjadi sasaran strategis penguasaan dan hegemoni AS seraya menarik negara-negara di perlbagai belahan dunia dan kawasan agar masuk dalam orbit pengaruhnya atau menjadi sekutu.
Sebut saja salah satunya adalah upaya yang dilancarkan AS sejak 2018 lalu agar negara-negara yang tergabung dalam perhimpunan bangsa-bangsa di Asia Tenggara (ASEAN) agar bersedia bergabung dalam Budapest Convention on Cybercrime (BCOC).
Untuk gambaran lebih rinci tentangn BCO baca:
KAJIAN EU CONVENTION ON CYBERCRIME DIKAITKAN DENGAN UPAYA REGULASI TINDAK PIDANA TEKNOLOGI INFORMASI
Ada beberapa negara yang selama ini merupakan sekutu AS baik dari Eropa maupun Asia sudah bergabung dalam BCOC. Namun beberapa negara yang tergabung dalam skema BRICS(forum kerjasama Brazil, India, Rusia, India, Cina dan Afrika Selatan) dan dekat dengan Cina dan Rusia dalam skema SCO (Shanghai Cooperation Organization) seperti Brazil dan India, menolak ikut bergabung. Hal ini sejalan dengan sikap Rusia dan Cina yang oleh kedua doktrin Pentagon tersebut ditetapkan sebagai musuh utama AS.
Maka tidak mengejutkan jika pada Maret 2020 lalu AS berupaya melakukan pendekatan kepada Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Washington agar Indonesia bersedia bergabung dengan BCOC. Manuver AS tersebut secara benderang memperlihatkan betapa Washington telah melakukan operasi khusus lewat beberapa jejaring pendukungnya di beberapa negara ASEAN, termasuk Indonesia, tanpa pemberitahuan secara resmi kepada kedutaaan besar mereka masing-masing, dengan dalih fighting against cybercrime (perang terhadap kejahatan cyber).
Indonesia menjadi sasaran utama dari Washington mengingat fakta bahwa Indonesia selain negara terbesar di ASEAN, juga berpenduduk Muslim terbesar di Asia Tenggara. Belum lagi keunggulan advantage-nya dalam geopolitik baik dari segi kandungan sumberdaya alamnya maupun lokagi geografisnya yang strategis.
BCOC yang sejatinya bertentangan dengan skema yang ditawarkan oleh Rusia melalui apa yang disebut Russia-Open-Ended Working Group on Cyber Security , telah berhasil membujuk beberapa negara ASEAN untuk bergabung dalam BCOC. Yaitu Filipina, Singapura, Thailand dan Malaysia.
Negara-negara yang berkeberatan bergabung dalam BCOC sebagai instrumen hukum internasional beralasan karena BCOC tidak mampu menghadapi tantangan dan acaman global di bidang cyberspace dewasa ini maupun masa depan seperti SPAM Activity dan Netwokr Crime (praktek penipuan).
Bahkan bukan itu saja. Pada pasal 32 BCOC tentang trans-boarding access to independent states data without their agreement, pada praktiknya akan membuka peluang bagi AS maupun negara-negara sekutunya untuk mendapatkan informasi yang masuk kategori sensitive dari negara-negara lain. Dan data yang mereka dapatkan itupun, tidak ada kewajiban untuk dibagikan kepada negara-negara anggota BCOC lainnya.
Dengan demikian, BCOC dari awal dirancang untuk melayani kepentingan sepihak AS dan sekutunya, bukannya untuk melayani kepentingan seluruh anggota BCOC yang saat ini beranggotakan 43 negara. Maka jika Indonesia setuju untuk bergabung dalam BCOC, berarti akan membahayakan kedaulatan nasional negara berpenduduk 250 juta jiwa itu.
Selain daripada itu, BCOC tidak bisa dijadikan sebagai dasar untuk menciptakan International Mechanism in the Field of Information Security. BCOC mengindikasikan adanya niat dari AS maupun negara-negara Barat sekutunya, untuk secara terbuka bermaksud mendominasi dan menghegemoni dalam bidang Keamanan Informasi. Termasuk menandantangani keunggulan teknologi mereka.
Skema BCOC ini secara jelas bakal merugikan kepentingan nasional Indonesia maupun negara-negara lainnya yang tidak ikut serta dalam BCOC. Saat ini sudah 43 negara yang menandantangani BCOC termasuk Amerika Serikat. BCOC sendiri diresmikan pada November 2001 lalu.
Menyadari hal tersebut, sekadar pembanding, menarik skema yang diajukan oleh pemerintah Rusia melalui Rusia-Open-Ended Working Group on Cyber Security. Berbeda dengan AS, Rusia melalui Rusia-Open-Ended Working Group on Cyber Security berpandangan bahwa ancaman melalui Cyber Space memang harus ditangkal, namun tidak boleh terintegrasi dalam skema military strike/serangan militer yang dirancang Pentagon. Artinya, gagasan dasarnya adalah untuk membangun kerjasama multilateral bukannya bertumpu pada asas pengkutuban tunggal/unilaterisme sebagaimana tergambar dalam skema BCOC.
Baca: Menangkal Ancaman Cyber Space Tidak Boleh Diintegrasikan Dengan Skema Operasi Militer ala Pentagon
Maka dari itu, Indonesia yang menganut politik luar negeri bebas dan aktif dan tetap diilhami oleh salah satu butir Dasa Sila Bandung 1955 menentang penjajahan dalam segala bentuk dan manifestasinya, harus menggalang kerjasama internasional untuk bersatu membuat Undang-Undang untuk menangkal ancaman cyber atas dasar cyber security yang berlaku untuk semua negara atas dasar keadilan dan kesetaraan.
Hendrajit, pengkaji geopolitik, Global Future Institute (GFI).