Penyebab dan Solusi
Maraknya buzzer dan munculnya istilah tersebut di publik, barangkali sejak hajatan pemilu di Indonesia bermodel one man one vote (satu orang satu suara) atau pemilihan langsung (pilsung) pada tahun 2004 yang diikuti 24 partai politik, 5 pasangan calon presiden/wapres dan berjalan dua putaran serta mengantar SBY-JK sebagai presiden dan wakil.
Memang belum ada penelitian sejak kapan buzzer diikutsertakan dalam politik. Namun jika menengok era sebelum pilpres pilsung, istilah buzzer hampir tidak ditemui. Boleh jadi dulu juga sudah ada, mungkin dengan nama lain, misalnya, atau dalam skala kecil. Tidak semarak-semasif seperti sekarang. Dan tak boleh dipungkiri, revolusi industri 4.0 yang berciri digitalisasi turut berperan meriuhkan fenomena tersebut.
Tujuan buzzer tak lain ialah mensupport habis-habisan si kandidat peserta pemilu yang didukungnya. Entah pilkades, pilkada dan khususnya pilpres. Tak bukan. Motifnya macam-macam. Ada faktor simpati terhadap kandidat karena program yang diusung masuk akal; visinya mewakili aspirasi rakyat serta selaras dengan kepentingannya; atau karena performance; atau sebab integritas moral; track record masa lalu dan seterusnya lantas timbul empati, kemudian turut mensukseskan bahkan berupaya memenangkan kandidat dengan harapan bila calonnya berkuasa, “mimpi”-nya bisa terealisir.
Ciri buzzer di atas biasanya cenderung logis, dialogis, rela berkorban dan punya militansi sepanjang si kandidat yang didukung timbul tenggelam bersama rakyat. Sebaliknya, mereka akan marah dan kecewa besar tatkala kandidat dipersepsikan telah “mengkhianati” perjuangan.
Namun ada pula buzzer bayaran. Maaf, tidak ada diksi lain mengistilahkan fakta empiris ini. Dengan kata lain, mereka dibayar untuk memenangkan salah satu kandidat. Model buzzer semacam ini sebenarnya tidak punya militansi, sifatnya unlogical, reaktif, impulsif, “pokok e”, manuvernya tergantung arahan si mentor, dan kontennya kerap seragam baik ketika mem-bully maupun saat menyerang pihak lawan, atau ketika menggebyarkan sebuah program dari kandidat yang didukung.
Mereka layaknya ‘pasukan tempur’ di dunia maya tetapi beramunisi sesat pikir atau istilah kerennya: logical fallacy. Saya pilih diksi ‘mereka’ karena mayoritas punya akun tak cuma satu atau dua, tetapi banyak. Kenapa? Konon bocorannya, setiap posting status (berupa dukungan atau bully dan lain-lain) ada nilai “rupiah”-nya. Luar biasa. Mungkin karena faktor itu mereka dijuluki buzzeRp oleh khalayak.
Seyogianya, aktivitas —peperangan— para buzzer berhenti dan masing-masing kubu membubarkan diri ketika rangkaian pemilu telah usai yang ditandai dengan “kalah-menang” para peserta pemilu. Warga seyogianya kembali bersatu membangun negeri. Tetapi praktiknya out of control. Lepas kendali. Mereka masih ada, nyata, dan tetap eksis hingga kini walau hajatan pemilu usai. Kuat disinyalir ada upaya mengorganisir bahkan membuat permanen kelompok buzzer dan melestarikan kegaduhan di publik.
Secara geopolitik, bahwa kegaduhan akibat permanenisasi dan/atau pelestarian “könflik” sangat menyedot energi bangsa, selain tanpa disadari terjadi pembelahan bangsa secara signifikan. Ini sungguh sangat memprihatinkan.
Sekali lagi, dari perspektif geopolitik, rasa persatuan dan kesatuan bangsa sebagai anasir untuk mengakumulasi kekuatan nasional, akhirnya terpecah-belah; bhineka tunggal ika menjadi porak-poranda; dan rasa kebangsaan sebagai konsep untuk hidup bersama semakin melemah. Inilah potret “politik glamour” di Bumi Pertiwi, yaitu konstelasi politik yang terkesan ‘mewah’, seolah-olah megah lagi gaduh, tetapi tidak menyentuh sama sekali ke Kepentingan Nasional RI.
Silahkan dicermati. Materi gaduh dan konten yang diusung para buzzer berkutat masalah hilir belaka. Isu residu. Ecek-ecek. Bukan serta jauh dari perdebatan masalah hulu bangsa terkait kedaulatan pangan dan energi.
Nah, fenomena ini jika tidak segera dihentikan, niscaya akan terus berulang secara terstruktur, sistematis dan masive karena dianggap legal secara konstitusi, khususnya saat musim pilkada atau pilpres tiba. “Kita kumpul lagi, kita tempur lagi”.
Bila terus dibiarkan, diprakirakan bakal muncul industri baru berbasis dinamika para buzzer bertajuk: “Industri Kegaduhan”. Kenapa? Konon gaji atau insentif para buzzer cukup lumayan bahkan bagi sosok tertentu tergolong menggiurkan dalam hal nominal.
Bagaimana cara tepat untuk menghentikan atau minimal mengurangi kegaduhan para buzzer?
Sebenarnya tidak sulit dan ada beberapa cara, misalnya: 1. adanya pengawasan secara keras dan tegas atas komitmen dan konsistensi terhadap hal-hal yang telah disepakati bersama sebelum hajatan pemilu digelar; 2. adanya penegakkan hukum tanpa pilih bulu dan tegas.
Menurut hemat penulis, perlu creative destruction (terobosan yang merusak) guna menghentikan atau mengurangi kegaduhan karena ulah para buzzer. Apa itu? Lenyapkan sumber kegaduhan atau akar masalahnya, yakni dengan meninggalkan sistem pemilu bermodel one man one vote alias pilsung di setiap tingkatan pemilu, terutama pilpres. Lalu, apa solusi?
Ya. Hajatan pemilu kembali menggunakan model “musyawarah mufakat”, ajaran dan nilai adiluhung leluhur yang telah dicampakkan oleh segenap anak bangsa.
Demikianlah adanya, demikian sebaiknya.
M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)