Ada Vuca Di Atas Vuca

Bagikan artikel ini
Sastra (Junta) Geopolitik
Sejujurnya, pagelaran yang hendak dihampar oleh griya tua cukup menggelegar: “Satukan kaum nasionalis dan religi dalam satu tarikan napas demi kepentingan 2030”.
Lho, memang ada apa di tahun itu? “Tahun girap-girap,” kata pakde Singer. Agar kapal yang muram tidak hancur berkeping dihantam armada hantu yang konon melaju tanpa cahaya.
Sungguh visi dan cita-cita luhur dari segelintir anak bangsa pilih tanding guna menyelamatkan negeri tercinta. Patut diapresiasi sedalam-dalamnya. Tabik.
Seandainya pagelaran sesuai skenario, kelak ia merupakan modal dan investasi (geo) politik super dahsyat di masa depan dengan berbagai alternatif skenario menuju puncak, karena pagelaran dimaksud merupakan sketsa lama kejayaan nusantara. Entah siapapun calon atau kandidat dipilih. Ya, dipilih melalui hak bicara, bukan dilotre oleh hak suara. One man one vote.
Tetapi, apalah daya — sesungguhnya manusia itu lemah, kikir lagi tergesa-gesa. Oleh karena praktiknya, skenario out of control. Lepas kendali. Mengapa begitu, selain berserak pamrih (tidak ikhlas), VUCA diabaikan, misalnya, terburu yang dikejar apa – lambat yang ditunggu siapa.
Si dalang tidak cermat mengharmonisasi fluktuasi lingkungan. Gilirannya, selain alur babak tidak linier, drama bertajuk nasionalis-religius pun terdangkalkan seperti entitas tua: “Kebo dan Sarung” (terbaca: Kebo Sarungan). Guooblok, teriak si nganu. Inilah yang tengah berlangsung di bawah permukaan.
Pertanyaannya adalah: “Kenapa pagelaran nan luhur itu bisa out of control?”
Ada asumsi A1 untuk menjawabnya, tetapi simpan dahulu. Sang pujangga coba mengais puzzle lain supaya ada alternatif sekaligus asumsi pembanding. Bukankah era kini disebut era kompetitif melalui pebanding lagi serba diuji? Baik uji klinis, uji akademis, dan utamanya uji (geo) politis. Contohnya? Vaksin merah putih, misalnya, boleh jadi ia lulus uji klinis dan akademis, namun belum tentu lolos uji geopolitis. Ini sekedar permisalan.
Pertanyaan usil muncul, “Bagaimana mungkin dibandingkan, sementara yang A1 justru disembunyikan?” Jawabannya simpel, simpan dulu nyinyiranmu, kita lanjutkan sastra ini.
Ada beberapa asumsi (dinilai) sebagai indikasi kenapa babak demi babak dalam pagelaran tidak berjalan sesuai harapan. Prakiraan penyebabnya sebagai berikut:
1) timbul friksi antara mbah Jos melawan mbah Gandos secara senyap justru ketika skenario itu tengah berjalan. Entah mengapa. Khusus poin ini perlu kajian tersendiri. Dan akibat friksi tadi, tayangan yang nampak justru peperangan telik sandi antarsesama jawara dunia abu-abu;
2) si pion kerap bertindak sontoloyo (over acting) bahkan cenderung gegabah selaku wayang sehingga aksinya justru membuka cover, menguak jaringan pendukung, bahkan struktur gelap di atasnya. Ah, pion memang tak bisa mundur, apalagi serong atau meloncat seperti kuda. Tak bisa. Ia cuma bisa maju dan maju, atau dikorbankan sebagai tumbal;
3) ternyata ada skenario lain (counter scenario/CS). Dan CS ini tak dapat dibendung oleh para dalang. Kalau istilah di era revolusi 4.0 cukup keren: “ada VUCA di atas VUCA”. Entah siapa bermain VUCA di lapis atas. Manusia setengah dewa, kata nyanyian Iwan Fals.
Dan tidak ada kebetulan dalam sistem manapun, bahwa pertikaian antara si semprul dan sempril meski ujungnya happy ending, side effect-nya justru menguak pagelaran melalui penggal-penggal lepas kontrol dalam episode, termasuk ‘jalur samping’ yang seharusnya tak terbaca oleh publik, akhirnya terang (bagi yang jeli). Mengapa? Politik ternyata kompromi. Seandainya ia pedang pilih tanding, mungkin drama dan jalur samping masih tersimpan rapat, atau justru semakin terbuka sebab pion pasti “nyanyi” sebelum ia dijadikan tumbal. Wis wayah e, jare wong – wong.
Passwordnya ialah: jangan ada dusta di antara “kita”. Bila nanti Timur menjadi tiga, kata nganu, “Aku akan bertakhta di sana”. Semprul tenan!
Ada pertanyaan gelisah menggelitik: “Bagaimana dengan pagelaran nan luhur?”
Kemungkinan ia terus berjalan. Tetap melaju meski kedodoran. Lantas, solusi terbaik ke depan? Seyogianya ganti pion, selayaknya ganti dalang agar armada hantu tak asal main hantam, dan jalannya pagelaran tidak tertatih-tatih.
Di Bumi Pertiwi ini, masih banyak kembang sore dan bunga-bunga sedap malam ..
M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com