Akhirnya Ratu Mariyuana Menghirup Udara Bebas

Bagikan artikel ini

Penulis : Jacob Rambe *)

Ratu Mariyuana, Schapelle Leigh Corby, yang menyelundupkan 4,2 kilogram ganja di Bandara Ngurah Rai, Bali memperoleh pembebasan bersyarat dari pemerintah pada 7 Februari 2014. Menkumham, Amir Syamsuddin menyatakan pemerintah mengabulkan pemberian pembebasan bersyarat kepada 1.291 narapidana di Indonesia, salah satu diantaranya adalah sang ratu mariyuana yang selama ini mendekam di lembaga permasyarakatan (LP) Kerobokan, Denpasar. Pada 10 Februari 2014, Corby dikeluarkan dari LP Krobokan dan mendapat liputan ramai dari pers Australia.

 

Kasus Schapelle Leigh Corby, warga negara Australia adalah kasus seorang pengedar narkoba kelas berat yang masuk ke Bali dari Australia dengan menyamar sebagai turis. Ia diadili dan terbukti sebagai pengedar narkoba kelas dunia ia adalah seorang yang tergolong penjahat narkoba kelas berat, sehingga Corby dihukum penjara 20 tahun.

Kemudian ia mendapat grasi 5 tahun dari Presiden SBY, meskipun berbagai fihak masyarakat Indonesia menolak grasi tersebut. Narapidana yang seharusnya masih harus menjalani hukumannya selama 15 tahun mengajukan bebas bersyarat dan berhasil disetujui oleh Presiden SBY. Para penasihat hukum Presiden SBY berdalih Schapelle Leigh Corby memenuhi syarat seperti disebut oleh UU Tentang Pembebasan Bersyarat. Disinilah sebenarnya mulai muncul sebuah misteri, apakah UU Pembebasan Hukuman dengan Syarat tersebut.

Pemberian bebas bersyarat kepada seseorang narapidana memang dimungkinkan berdasar UU RI yang resmi dan dibuat oleh DPR. Belum jelas hadiah semacam itu pernah diberikan kepada siapa dalam kasus apa; dan sebenarnya faktor pertimbangan “X” apakah seseorang narapidana Narkoba bisa diberikan anugerah bebas bersyarat, disamping syarat-syarat formal yag ada. Artinya siapakah narapidana kelas berat sebelum Schapelle Leigh Corby yang pernah dianugerahi bebas bersyarat yang tentu disamping syarat-syarat formal seperti berkelakuan baik dsb, narapidana tersebut mengantongi pula pertimbangan-pertimbangan khusus/keistimewaan “X” tertentu sebagai kompensasi, mengapa ia dianugerahi bebas bersyarat.

Demikian pula Schapelle Leigh Corby pasti memiliki pertimbangan-pertimbangan khusus/keistimewaan “X” sebagai kompensasi, sehingga permohonannya untuk mendapatkan bebas bersyarat diberikan. Kalau hanya syarat-syarat berkelakuan baik, patuh, rajin dll, pasti hampir setengah jumlah narapidana narkoba memenuhi syarat untuk itu dan bisa dibebaskan dengan syarat.

Dalam hal ini sebenarnya perlu dibaca penjelasan dari pasal pemberian keputusan bebas bersyarat yang ada dalam UU dimaksud. Apa latar belakang falsafah hukum dari Pasal tersebut, sehigga apakah tepat diberikan kepada penjahat kelas berat seperti Schapelle Leigh Corby.

Rakyat sebenarnya hanya ingin tahu apakah pertimbangan-pertimbangan khusus/keistimewaan “X” yang dimiliki Schapelle Leigh Corby tersebut, dan kompensasi apakah yang diharapkan Pemerintah RI akan diperoleh dari Pemerintah Australia (Sponsor permintaan bebas bersyarat atas Schapelle Leigh Corby) dengan membebaskan Corby, seorang penjahat narkoba kelas berat tersebut dari penjara Kerobokan di Denpasar, Bali.

Rakyat Indonesia juga heran betapa jeli Lawyer Schapelle Leigh Corby , bahwa di Indonesia ada UU yang bisa memberikan kebebasan bersyarat kepada penjahat kelas berat, sedangkan hampir pasti diantara rakyat Indonesia sendiri tidak banyak yang tahu adanya UU Pemberian Bebas Bersyarat, tersebut.

Menurut catatan penulis, dalam sejarah Indonesia, seorang penjahat yang pernah dibebaskan dengan bersyarat adalah Alan Pope, seorang penerbang Amerika yang membantu Permesta. Ia dibebaskan oleh Presiden Soekarno dengan kompensasi peralatan militer dari Presiden JF Kenedy. Presiden AS, JF Kenedy adalah Presiden AS satu-satunya yang menghormati Presiden Soekarno, sehingga permintaan agar Alan Pope dibebaskan dengan kompensasi disetujui Presiden Soekarno.

Banyak masyarakat yang tidak puas, tidak rela, berkeberatan dan bahkan mendesak Presiden menolak permohonan Schapelle Leigh Corby, karena Schapelle Leigh Corby adalah Penjahat Narkoba Kelas Berat, bahkan seharusnya dihukum mati. Pemerintah pasti menyembunyikan pertimbangan-pertimbangan khusus “X” mengapa kepada Schapelle Leigh Corby diberikan bebas bersyarat.

Oleh karena itu, wajar jika pemberian bebas bersyarat kepada Corby mendapat tentangan dari berbagai kalangan, mulai dari politisi di Senayan sampai pada kelompok penggiat anti narkoba serta kelompok oposisi yang selalu berseberangan dengan pemerintah SBY. Sebelumnya pemerintah mengeluarkan keputusannya, delapan anggota DPR RI menyurati Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) melalui Menkunham menolak pemberian pembebasan bersyarat kepada yang bersangkutan karena Indonesia sendiri merencanakan bebas narkoba pada 2015. Pembebasan ini dianggap tidak memberi efek jera bagi pelaku tindak kejahatan narkoba. Meski pemerintah sudah memjutuskan memberikan bebas bersyuarat, anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDIP, Eva Kusuma Sundari menyatakan bahwa Komisi III akan menyurati Menkumham agar membatalkan pembebasan tersebut. Tuntutan yang lebih keras datang dari Koordinator Gerakan Indonesia Bersih (GIB) Adhie M Massarrdie yang meminta kepada DPR RIO agar mau menggunakan hak interpelasi terkait pembebasan bersyarat tersebut, karena bila hal tersebut dibiarkan maka akan menggoncang pemberantasan narkoba di Indonesia. Kalau DPR tidak mau melakukan interpelasi, pihaknya meduga mafia narkoba juga sudah bekerja, termasuk di DPR tentunya.

Corby sendiri dianggap memperoleh keistimewaan dari pemerintah Indonesia, ketika disidangkan Corby dituntut hukuman penjara seumur hidup dan denda Rp 100 juta pada 21 April 2005. Namun pada 13 Mei 2005, pemerintah Australia mengirim surat ke pengadilan Indonesia yang mengabarkan bahwa ganja dalam tas Corby itu disusupkan oleh sindikat narkotika. Akhirnya PN Denpasar memvonis Corby 20 tahun penjara dan denda Rp 100 juta pada 27 Mei 2005. Corby kemudian mengajukan banding, dan pengadilan banding memutuskan mengurangi masa penjaranya menjadi 15 tahun, pada 12 Oktober 2005.Tapi, Corby kembali harus gigit jari lantaran keputusan kasasi Mahkamah Agung, yang dirilis 12 Januari 2006, kembali memvonis Corby 20 tahun penjara. Tetapi Presiden SBY kemudian memberikan grasi pada Corby melalui Keppres No. 22/G Tahun 2012 sehingga mendapat pengurangan hukuman menjadi 15 tahun. Dalam kurun waktu 2006 s/d 2011, Corby juga mendapatkan remisi sebesar 25 bulan, sehingga pembebasan bersyarat dapat dilakukan karena sudah menempuh masa hukuman separuhnya.

Pembebasan Corby juga sempat memunculkan berbagai isu negatif, seperti terkait tukar guling dengan Adrian Kiki, pelaku tindak pidana bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) terkait Bank Surya yang sedang diproses tim Kejakasaan. Namun dalam wawancara dengan Metro TV pada 10 Februari 2014, Deny Indrayana (Wamenkumham) telah meluruskan isu tersebut. Menurutnya, tidak benar jika pembebasan Corby dikaitkan tukar guling dengan Adrian Kiki, pelaku tindak pidana BLBI terkait Bank Surya. Sementara itu kelompok yang selalu berseberangan dengan pemerintah SBY, Gerakan Indonesia Bersih nampaknya menggunakan kasus Corby untuk kembali menyerang SBY. Kelompok ini tidak pernah berhenti menyuarakan aspirasinya untuk menggulingkan pemerintah SBY ditengah jalan. Salah satunya dengan selalu menuntut DPR agar segera menggunakan hak interpelasinya setiap kali terjadi satu permasalahan. Apalagi jika mereka beranggapan bahwa kesalahan tersebut merupakan tanggung jawab Presiden SBY, padahal masa kepemimpinan pemerintahan SBY hanya tinggal beberapa bulan saja.

Film Corby

Koran Australia, The Sydney Morning Herald edisi 7 Februari 2014 memberitakan bahwa salah satu televisi di Australia, Nine berencana akan meluncurkan telefilm terbaru tentang Corby yang berjudul “Schapelle”. Menurut The Herald, film Schapelle tersebut diperkirakan bakal memantik kontroversi baru, karena dalam episode 165 telefilm itu menampilkan adegan Corby tengah dikunjungi oleh ayah tirinya (Mick) di Lembaga Pemasyarakatan Kerobokan, Bali. Ketika berbincang dalam film itu, Corby mengatakan kepada ayahnya, bahwa seorang mantan tahanan lapas ini menyarankan kepada saya supaya mengaku bersalah saja, agar bisa cepat dikeluarkan dari penjara. Naskah pembicaraan Corby itulah yang dikhawatirkan bakal mengundang kontroversi karena menyinggung otoritas hukum Indonesia.

Telefilm tersebut dibuat berdasarkan buku jurnalis Eamonn Duff berjudul “The Sins of The Father”, menurut hasil liputan The Herald, sejauh ini belum diperoleh tanggapan warga Australia atas rencana pemutaran film tersebut. Tidak tertutup kemungkinan beberapa pers dari Australia juga akan mewawancarai tokoh-tokoh yang mendukung pembebasan Corby, dengan tujuan sebagai bentuk “sindiran” terhadap Indonesia. Hal itu untuk memancing situasi tidak kondusif di Indonesia terkait masalah ini, sebagai pengalihan isu atas sejumlah kesalahan Australia di Indonesia seperti kasus penyadapan serta penyelundupan manusia (manusia perahu). Terkait kasus manusia perhau, Hikmahanto Juwana (pakar hukum internasional UI) menyatakan, pemerintah harus tegas terhadap Australia dengan menolak pengembalian “manusia perahu” dari Australia, sebagai ekses dari pembebasan Corby.

Upaya Mendiskreditkan Pemerintah

Apapun tindakan yang dilakukan pemerintah yang sedang berkuasa apalagi dalam suasana demam Pemilu seperti saat ini, setiap langkah atau tindakan yang berpotensi memunculkan tanggapan pasti digunakan oleh kelompok yang kontra untuk menyerang kubu pemerintah sedahsyat mungkin. Hal ini tentu saja bertujuan untuk meningkatkan elektabiltas mereka dan sedapat mungkin melemahkan bahkan menurunkan elektabiltas kubu yang sedang berkuasa. Karena itu pemerintah perlu menghimbau kepada para pemuka opini terutama pimpinan lembaga tinggi negara agar membantu menyampaikan penjelasan kepada masyarakat melalui media massa, bahwa pemberian pembebasan bersyarat kepada Corby sudah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia.

*) Penulis adalah penulis senior Fordial Jakarta

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com