Keputusan pemeritah AS dan negara-negara sekutunya yang tergabung dalam NATO untuk meningkatkan paket bantuan militer dan persenjataannya kepada Ukraina, bukan saja akan semakin memperpanjang konflik bersenjata Rusia versus Ukraina. Melainkan juga, berpotensi memicu meningkatnya kembali aksi-aksi terorisme di pelbagai belahan dunia.
Ambillah kasus invasi AS dan NATO ke Afghanistan pada 2001 lalu dengan slogan: War on Terror. Namun berkebalikan dengan slogan AS yaitu perang untuk membasmi terorisme, pada prakteknya aksi-aksi terorisme di pelbagai kawasan dunia justru malah semakin meningkat.
Selama 20 tahun masa pendudukannya di Afghanistan, warga sipil Afghanistan yang pada dasarnya non-combatant malah mengalami kerusakan sarana-sarana fisik, teror, intimidasi dan tindak kekerasan.
Yang sudah pasti dan terbukti, selama masa pendudukan militer AS, Afghanistan mengalami kehancuran infrastruktur dan sarana-sarana umum, yang pada perkembangannya menimbulkan penderitaan seluruh warga sipil Afghanistan. Dan hal itu terus berlangsung hingga pasukan AS ditarik mundur pada 2021 lalu.
Yang lebih menyedihkan lagi, selama 20 tahun masa pendudukan militer AS di Afghanistan, telah menewaskan 66 ribu personel militer dan polisi Afghanistan. Belum lagi ratusan ribu warga sipil Afghanistan. Mengingat kejahatan kemanusiaan yang telah dilakukan AS selama masa pendudukan militer di Afghanistan, sudah selayaknya asset-aset AS yang justru seharusnya dibekukan, untuk membiayai rekonstruksi Afghanistan. Aset-aset AS sudah seharusnya dibekukan untuk memberikan kompensasi kepada anggota-anggota keluarga korban yang tewas pada saat tentara AS menduduki Afghanistan.
Namun pada kenyataannya justru kebalikannya. AS lah yang justru menyita dan membekukan asset-aset Afghanistan, sehingga malah semakin menyengsarakan warga sipil Afghanistan. Sehingga mereka saat ini hidup dalam kemiskinan.
Invasi AS ke Irak juga membawa dampak buruk yang sama. Pendudukan tentara AS di Irak telah menghancurkan infrastruktur dan perekonomian Irak. Hingga kini semua kerusakan akibat pendudukan militer AS di Irak belum pernah dihitung secara rinci berapa besar kerusakan material maupun immaterial yang diderita warga sipil Irak.
Bahkan sebelum tentara AS menyerbu Irak pada 2003, sanksi Perserikatan Bangsa-Bangsa yang dikenakan kepada Irak atas arahan AS, telah menewaskan 500 ribu anak-anak. Bahkan menurut beberapa studi, mencapai total 1,5 juta jiwa warga sipil tewas.
Pada masa Perang Teluk Kedua yang juga bertema War on Terror, ratusan ribu warga sipil Irak tewas antara 2003 hingga 2011. Ironisnya, besarnya korban jiwa pada masa pendudukan militer AS di Irak tersebut akibat meningkatnya aksi-aksi terorisme. Padahal invasi AS ke Irak dengan dalih untuk membasmi terorisme.
Dalam aksi militer yang dilancarkan AS dan NATO untuk menggulingkan Presiden Moammar Khadafi, juga telah menewaskan ratusan ribu warga sipil Libya. Namun hingga kini, NATO sama sekali belum menunjukkan tanggungjawab moralnya atas kerusakan infrastruktur, perekonomian maupun tewasnya ratusan ribu warga sipil Libya.
Menariknya, di manapun tentara AS dan NATO bergerak ke suatu wilayah , di situ pula beberapa kelompok terorisme juga beroperasi. Sehingga sangat logis jika kita sampai pada kesimpulan bahwa AS dan sekutu-sekutunya yang tergabung ke dalam NATO itulah yang sejatinya telah menciptakan kelompok-kelompok teroris tersebut bermunculan, sebagai akibat dari kebijakan politik dan militer yang telah dibuatnya.
Dengan invasi militer AS dan NATO, maka bermunculanlah aneka ragam kelompok teroris, preman-preman bersenjata atau gang violence, dan perampokan.
Aksi militer AS dan NATO dalam mendukung milisi bersenjata Free Syrian Army untuk menggulingkan Presiden Bashar al-Assad, khususnya di Suriah Utara dan Timur, telah memicu penjarahan ladang-ladang minyak secara illegal, sehingga pemerintah Suriah tidak mampu membangun kembali infrastruktur dan perekonomian nasionalnya, setelah sekian lama harus menghadapi rongrongan bersenjata dari milisi-milisi bersenjata yang didukung oleh AS dan NATO.
Sebaliknya dengan invasi militer ke Irak dan Afghanistan dengan dalih untuk membasmi terorisme yang berdampak pada kehancuran perekonomian dan infrastruktur public, AS justru berhasil mempertahankan perekonomian nasionalnya dengan meraup keuntungan dari invasi militernya ke Afghanistan, Irak, dan belakangan Libya ketika membantu kelompok anti-pemerintahan menggulingkan Presiden Moammar Khadafi.
Sebagai akibat dari invasi militer AS dan NATO ke negara-negara tersebut, kemudian memicu meningkatnya tindak kekerasan, kerusuhan sosial, perang saudara dan aksi-aksi terorisme.
Menariknya, Richard A. Clarke, mantan Ketua Penasehat National Security Council dan mantan National Coordinator for Security Infrastructure Protection and Counter-terrorisme on the National Security Council (NSC), dalam memoarnya setelah mundur dar pemerintahan George W. Bush, berjudul Against All Enemies, Inside America’s War on Terror, membuat suatu analisis yang patut kita renungkan:
“Banyak warga Amerika yang beranggapan Bush melakukan hal hebat dalam memerangi terorisme. Padahal yang sebenarnya terjadi, Pemerintahan Bush telah menyia-nyiakan kesempatan untuk menumpas Al-Qaeda. Bush justru membuat musuh makin kuat karena melakukan hal yang sepenuhnya melenceng yaitu menginvasi Irak. Muncculah Al-Qaeda-Al Qaeda baru yang terus bertambah kuat. Sebagian karena perbuatan yang kita lakukan dan yang tidak kita lakukan.”
Analisis yang menarik dan jitu, namun sepertinya ada satu hal yang dikesampingkan Richard Clarke dalam analisisnya, entah sengaja atau tidak. Bahwa ancaman Terorisme dalam perspektif pemerintahan Bush hanya sekadar dimanfaatkan sebagai sebuah tema sebagai alasan pembenaran untuk melancarkan invasi militer ke Afghanistan pada 2001 dan ke Irak pada 2003. Dengan begitu senyatanya, Washington berkepentingan untuk “memelihara” isu terorisme maupun jejaring-jejaring yang terkoneksi dengan kelompok-kelompok terorisme seperti Al Qaeda dan Jemmaah Islamiiyah.
Makanya logis ketika Richard Clarke yang pernah menjadi orang nomor satu di Washington yang berwenang dalam menangani dan memberantas terorisme, merasa heran ketika Presiden Bush maupun pendahulunya, Bill Clinton, nampak tidak antusias dengan Usamah bin Laden maupun Al Qaeda. Bahkan ketika jelas-jelas ada indikasi kuat terkoneksi dengan badan intelijen Arab Saudi dan Pakistan, maupun kelompook Taliban yang berbasis di Afghanistan dan binaan badan intelijen Pakistan Inter Service Intelligence (ISI).
Sudut pandang Richard Clarke yang sudah 30 tahun mengabdi pada pemerintahan di Washington, menangkap keganjilan tersebut dari perspektif tatanan pemerintahan yang normal dan institusional. Namun kalau dilihat dari perspektif Deep State atau negara dalam negara, pandangan dan analisis Clarke memang jadi naif.
Bahwa sikap tidak kooperatif Departemen Pertahanan (Pentagon), Departemen Luar Negeri dan Gedung Putih dengan skema pemberantasan terorisme Richardl Clarke, justru membuktikan bahwa ketiga instansi yang bikin kecewa dan frustrasi Clarke, hanya sekadar unsur-unsur garis depan yang berfungsi melayani strategi global dan kepentingan strategis para kapitalis korporat dari balik layar.
Dalam perspektif kepentingan Deep State terorisme harus tetap dipelihara, dan sewaktu-waktu sel-sel kelompok-kelompok teroris tersebut harus diaktifkan untuk melancarkan aksinya, kemudian dijadikan dalih untuk membenarkan pemerintah melancarkan invasi militer terhadap suatu negara yang dipandang sebagai ancaman dengan dalih memberantas terorisme.. Padahal tujuan strategis sesungguhnya, melalui invasi militer dengan dalih untuk membasmi terorisme itu, nyatanya malah semakin memperluas lingkup aksi terorisme. Bukan saja di Timur-Tengah, melainkan juga di kawasan Afrika dan Asia. Tak terkecuali di Indonesia.
Hendrajit, pengkaji geopolitik dari Global Future Institute