Aksi Islamophobia Rasmus Paludan dan Edwin Wagensveld: Pertanda Demokrasi, Liberalisme dan Hak-Hak Asasi Manusia Mengalami Krisis Legitimasi di Eropa Barat

Bagikan artikel ini

Dr Samuel P. Huntington dalam buku karyanya yang monumental bertajuk The Clash of Civilization punya sebuah tesis yang terbukti benar ketika melukiskan konstelasi global paska-Perang Dingin.

  1. Modernisasi dan perubahan sosial mengakibatkan tercerabutnya masyarakat dari akar-akar identitas lokal yang telah berlangsung lama.
  2. Alhasil situasi baru paska-Perang Dingin yang ditandai dengan runtuhnya komunisme dan berakhirnya konflik ideologi antara liberalisme-demokrasi versus komunisme, maka ada ruang kosong yang kemudian diisi oleh identitas agama.
  3. Islam dan Konfusius yang hakekatnya bukan sekadar agama melainkan juga produk dari suatu peradaban, telah muncul sebagai ancaman ideologis global baru paska-Perang Dingin di mata negara-negara Barat, menggantikan komunisme.
  4. Dengan begitu, maka Amerika Serikat dan negara-negara Eropa Barat pada umumnya, menetapkan Islam sebagai musuh monolitik global mereka.
  5. Pretensi Amerika maupun Eropa Barat pada umumnya untuk mendominasi Peradaban Barat sebagai peradaban universal, maka telah memantik konflik dari negara-negara dari peradaban non-Barat, utamanya dari negara-negara Islam maupun yang Konfusius.
  6. Didorong sikap defensif untuk mempertahankan kelangsungan hidup peradaban Barat menghadapi kebangkitan negara-negara dari produk peradaban Islam dan Konfusius, maka Barat kemudian mengandalkan penegasan kembali Amerika Serikat atas identitas ke-Baratannya, seraya tetap mempropagandakan keyakinan Barat tentang keunikan peradaban universal mereka.

Tentu saja kita tidak harus sepenuhnya sepakat dengan pengamatan Huntington yang bertumpu pada tesis bahwa dengan berakhirnya Perang Dingin pada akhir 1980-an, konflik global telah beralih dari konflik ideologis menjadi konflik antar-peradaban. Namun, prediksi Huntington bahwa dalam konstelasi paska-Perang Dingin akan ditandai semakin pandangan bahwa Islam muncul sebagai kekuatan monolitik global baru di mata Barat, kiranya cukup beralasan dan masuk akal, jika kita cermati peristiwa yang berlangsung beberapa waktu di Stockholm, Swedia.

Pada akhir Januari 2023 lalu, sejumlah warga dari tujuh negara telah menggelar unjuk rasa memprotes aksi pembakaran Kitab Suci Al-Quran yang dilakukan oleh seorang politisi ekstremis sayap kanan Swedia-Denmark, Rasmus Paludan.

Peristiwa tersebut semakin menarik ketika Paludan menyatakan di depan masjid dan kedutaan besar Turki di Copenhagen, Denmark, Jumat 27 Januari 2023 lalu, bahwa dirinya akan menggelar aksi bakar Al Quran setiap hari Jumat, sampai Swedia masuk menjadi anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO).

Mengapa aksi provokatif membakar Al-Quran yang notabene merupakan soal keagamaan harus dikaitkan dengan soal keanggotaan Swedia sebagai anggota NATO yang merupakan persekutuan militer strategis negara-negara Eropa Barat di bawah kepemimpinan AS?

Rasmus Paludan Bakar Al-Quran, Umat Kristen Swedia Merasa Tak Enak

Lebih parahnya lagi, Paludan bukan satu-satunya politisi sayap kanan dari negara-negara Barat yang melancarkan aksi serupa. Edwin Wagensveld, diduga merobek dan membakar Al Quran di depan gedung parlemen Belanda, di Den Haag.

Tampang Edwin Wagensveld yang Robek dan Bakar Al-Quran, Pernah Menghina Nabi Muhammad

Sangat logis jika tindakan Rasmus Paludan maupun Edwin Wagensveld,  kemudian semakin mengobarkan aksi protes dari negara-negara Islam seperti Malaysia, Pakistan, Iran, Lebanon, Bahrain dan Turki.

Misalnya Jumat 27 Januari lalu, 300 pemuda yang diprakarsai oleh Partai Islam se-Malaysia (PAS), melancarkan aksi protes mengecam tindakan Rasmus Paludan serta menyerukan Muslim untuk mengambil sikap tegas agar kejadian seperti itu jangan terulang kembali.

Aksi politikus ekstrem kanan Swedia-Denmark, Rasmus Paludan, membakar Al Quran memicu amarah publik terutama umat Muslim di seluruh dunia.

Di Indonesia aksi protes senada juga dikumandangkan oleh alumni Aksi 212 yang berlangsung di depan Kedutaan Besar Swedia di Jakarta.

Begitu pula Bangladesh, sejumlah pelajar memprotes pembakaran Al Quran oleh Paludan di Dhaka, Bangladesh, dengan meneriakkan slogan anti-Swedia dan menyerukan umat Islam bersatu melawan segala bentuk penyebaran kebencian.

Di Pakistan, sekitar 12 ribu Muslim dari Partai Tehreek-e-Labiak Pakistan (TLP) juga melancarkan unjuk rasa serupa di Lahore, mengajukan protes keras kepada Swedia maupun Belanda, dan mendesak kedua negara anggota Uni Eropa tersebut agar jangan membiarkan hal serupa terulang kembali.

Krisis Demokrasi dan Liberalisme di Eropa Barat

Ada sesuatu yang menggelisahkan ketika dalam sebuah orasi yang disampaikan pemimpin aksi protes di Bangladesh berkata: “Apa yang akan terjadi jika para pengikut suatu agama mulai membakar Salinan kitab suci agama orang lain atas nama kebebasan berekspresi? Ketika para pemimpin dunia sangat lantang dan vokal mengumandangkan ekstremisme dan radikalisme?”

Tak pelak lagi pernyataan tersebut telah menohok langsung pada sistem dan praktek demokrasi dan liberalisme yang berlangsung di negara-negara Eropa Barat terutama terkait kasus ini, Swedia dan Belanda. Apakah pelecehan dan penghinaan satu kelompok agama terhadap kelompok agama lain memang dibenarkan sesuai sistem dan praktek demokrasi dan liberalisme politik yang berkembang di Barat?

Jika memang demikian adanya, maka yang demokrasi dan liberalisme Barat benar-benar menghadapi suatu krisis yang cukup serius. Sebab dengan begitu, sama saja membenarkan asumsi dan salah satu tesis Huntington, bahwa sejak berakhirnya Perang Dingin, Barat memandang dirinya sebagai peradaban universal yang unik dan mendominasi peradaban-peradaban non-Barat lainnya.

Sehingga jika Swedia maupun Belanda tidak mengenakan tindakan hukum yang keras terhadap Rasmus Paludan maupun Edwin Wagensveld, berarti benarlah prediksi Huntington dalam bukunya The Clash of Civilization, bahwa konflik peradaban antara Barat versus peradaban non-Barat, dalam hal ini Islam, memang benar-benar jadi kenyataan. Dengan begitu berarti sistem politik demokrasi dan liberalisme sebagai ekspresi dari Peradaban Barat, pada kenyataannya  telah berfungsi menopang kehidupan politik, ekonomi, sosial dan ideologi, karena Barat memandang dirinya sebagai representasi Peradaban Universal.

Jika demikian adanya, maka Barat maupun Amerika Serikat sejatinya tidak lagi mempunyai legitimasi untuk mempromosikan dan mempropagandakan nilai-nilai demokrasi, liberalisme, dan hak-hak asasi manusia. Sebab hal itu berarti demokrasi, hak-hak asasi manusia, dan liberalisme atau kebebasan, hanya diterapkan jika secara ekslusif dan sepihak menguntungkan warga masyarakat Barat.

Sebaliknya jika warga Muslim menuntut tindakan tegas pemerintah Swedia maupun Belanda terhadap aksi provokatif Paludan maupun Wagensveld karena telah menyalahgunakan dan memanipulasi sistem demokrasi dan kebebasan, namun Swedia dan Belanda menolak tuntutan warga muslim di Eropa maupun yang berlangsung di negara-negara Muslim tadi, maka berarti nilai-nilai universal demokrasi, kebebasan dan hak-hak asasi manusia, telah kehilangan legitimasinya.

Perkembangan terkini memang pada akhirnya pemerintah Swedia melarang demo bakar Al-Quran yang berarti tamat sudah aksi Islamophobia Paludan dan Wagensveld. Namun hal itu pada akhirnya dilakukan Swedia setelah timbul gelombang aksi protes yang meluas dari  negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim di pelbagai kawasan dunia.

Hendrajit, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com