Pada Konferensi Pengusaha Tionghoa Sedunia Sabtu 26 September lalu, taipan dan pemilik Lippo Group Mochtar Riady mengajak 3000 pengusaha Tionghoa yang tersebar di seluruh dunia, agar beramai-ramai investasi di Indonesia. Sepertinya, Riady sudah paham betul simpul-simpul jaringan bisnis trans-nasional etnis Cina mana saja yang siap dia gerakkan untuk kuasai bidang properti dan tambang-batubara di tanah air.
Meskipun terdiri dari aneka ragam identitas etnis yang berbeda-beda, namun untuk urusan bisnis, orang-orang Cina rantau itu ternyata cukup kompak dan solid. Bahkan seorang pakar masalah Cina Aihwa Ong, menggambarkan adanya rasa kebersamaan terhadap yang apa yang dia istilahkan sebagai “Identitas Transnasional.” Agaknya, Mochtar Riady dan mitra-mitra strategisnya tahu betul bahwa rasa kebersamaan atas dasar identitas trans-nasional etnis Cina yang menembus batas-batas negara bahwa mereka sama-sama keturunan perantau yang berasal dari Cina, merupakan aset strategis yang bisa digalang untuk menanam investasi di Indonesia.
Lantas, bagaimana memetakan jaringan bisnis trans-nasional Cina rantau yang tersebar di pelbagai belahan dunia? Kalau menelisik jaringan bisnis Cina di Asia Timur dan Asia Tenggara, tim riset Global Future Institute setidaknya mencatat ada empat lingkar: lingkar pedesaan, lingkar perkotaan, lingkar regional, dan lingkar global.
Jadi kalau Mochtar Riady ini bermaksud mengajak para taipan rantau itu untuk membuka lahan-lahan baru di Indonesia, keempat jaringan tersebut nampaknya sudah berada di tangan jurangan Lippo Group dan salah seorang anggota tim sukses Presiden Jokowi tersebut. Betapa tidak. Keempat lingkar tersebut sudah sekian puluh tahun terjalin menjadi jaringan-jaringan bisnis yang ekstensif yang bisa diandalkan untuk dengan cepat memobilisasi dan mendistribusikan modal barang kebutuhan produksi dan konsumsi, maupun informasi.
Indonesia pun barang tentu juga termasuk dalam jaringan empat lingkar tersebut. Sekadar mengambil ilustrasi di Kalimantan Barat, jaringan bisnis etnis Cina lingkar pedesaan sudah dirintis sejak 1930-an, yang kemudian bisa kita anggap terus berlanjut pada pertengahan dekade 1960-an. Bahkan diyakini hingga kini.
Dalam jaringan lingkar pedesaan ini, para pedagang Cina telah mendirikan pos-pos dagang di pedalaman Kalimantan Barat untuk mengumpulkan produk hutan seperti rotan, resin, dan karet dari orang Dayak. Jaringan bisnis lingkar pedesaan ini terintegrasi dengan jaringan bisnis etnis Cina di lingkar perkotaan.
Mereka ini berhubungan dagang dengan diler dan importir etnis Cina yang berada di daerah perkotaan. Selain mengambil barang konsumsi, mereka juga menjual produk-produk hutan yang mereka kumpulkan dari orang-orang Dayak unuk diekspor ke Singapura.
Mata-rantai jaringan Cina di lingkar desa dengan para pedagang Cina di perkotaan semakin solid ketika para eksportir dan importir Cina yang tinggal di perkotaan, misalnya di Pontianak dan Singkawang, kemudian menjalin hubungan kredit dengan para pemodal Cina yang tinggal di Singapura.
Bukan itu saja. Selain menangani ekspor, para pedagang Cina dari lingkar perkotaan tersebut ternyata juga menyediakan berbagai komoditi yang bisa diperoleh dari importir-importir Cina di kota-kota pesisir yang lebih besar untuk dijual ke desa-desa di pelosok-pelosok pedalaman.
Dari gambaran selintas ini saja, sudah terlihat jelas adanya jaringan dagang lintas-nasional yang merentang dari pedalaman hutan di Kalimantan Barat ke kota-kota pantai di daerah tersebut sampai ke Singapura. Alhasil, dengan jaringan dagang yang membentang dari lingar pedesaan ke lingkar perkotaan dan ke lingkar regional ini, maka praktis para pedangan Cina telah menguasai perdagangan di pedalaman Kalimantan Barat. Dan dengan jaringan bisnis yang umurnya sudah puluhan tahun itu, tak bisa digantikan oleh orang-orang Dayak yang mungkin hanya mempunyai jaringan dagang di daerah-daerah pedesaan saja.
Cerita tentang kiprah jaringan pedagang Cina di Sumatera Selatan dalam menguasai perdagangan dan pemrosesan karet juga persis sama. Adanya mata-rantai yang solid antara lingkar pedesaan, perkotaan dan regional. Sampai 1920-an, para pedagang Melayu memainkan peran yang dominan sebagai pedagang perantara yang membawa karet dari desa-desa ke kota pelabuhan Palembang.
Namun ketika permintaan dan produksi karet meningkat dengan cepat dalam dasawarsa 1920-an, orang-orang Cina-lah yang kemudian memenangkan persaingan. Pada 1930-an, orang-orang etnis Cina sudah mendominasi perdagangan perantara, dan mereka mendirikan dua pabrik pengolahan karet terbesar di Palembang.
Yang pertama adalah Hok Tong, milik seorang etnis Cina yang tinggal di Singapura, dan yang satunya adalah Kiang Gwan, sebuah perusahaan dagang dari Kelompok Oei Tiong Ham, yang merupakan kelompok usaha etnis Cina terbesar di Asia Tenggara di era sebelum Perang Dunia II.
Kiang Gwan punya cabang di Bombay, Kalkuta, Karachi, Shanghai, Hongkok, Amoy Singapura, dan London. Dari sekelumit cerita ini, bisa disimpulkan bahwa kemenangan Cina dalam persaingan bisnis pribumi Sumatera Selatan berkat jaringan mereka yang rapi dan solid. Yang mana jaringan dagangnya merentang dari desa-desa sampai ke kota pelabuhan Palembang, Singapura, bahkan sampai ke India dan Cina.
Kiprah jaringan bisnis trans-nasional Cina ini semakin nampak jelas melalui modus operandi perdagangan beras di akhir abad-19 dan abadi ke-20. Yang menggambarkan juga adanya mata-rantai yang solid dari jalinan bisnis Cina di lingkar pedesaan dengan lingkar kota pelabuhan. Beras didatangkan ke Singapura dari Thailand, Burma dan Indo-China, dan kemudian diekspor kembali ke Semenanjung Malaya dan Hindia Belanda (Indonesia). Lalu sisanya dikirim ke Borneo.
Terkait jaringan Cina, perdagangan beras antara Thailand dan Singapura dilakukan melalui jaringan dagang regional dari etnis Teochiu. Mayoritas pedagang beras Thailand adalah etnis Cina Teochiu yang punya asosasi lokal dan regional. Sehingga pedagang beras Teochiu di Thailand berhubungan erat dengan pedagang beras di Singapura dan Hongkong, yang juga merupakan anggota asosiasi-asosiasi Teochiu, dan dengan demikian membentuk jaringan bisnis regional Teochiu.
Maka itu, ketika Mochtar Riady menyerukan kepada 3000 taipan rantau di seluruh dunia agar bersedia investasi di Indonesia, bisa dipastikan pola jaringan pebisnis Cina berbasis etnis inilah yang digalang oleh pemilik Lippo Group ini. Setidaknya, dengan menggalang jaringan bisnis regional Cina yang membentang dari Cina (Asia Timur) sampai ke Indonesia (Asia Tenggara).
Apalagi Mochtar Riady dan kroni-kroni bisnisnya, sejak 1993 tercatat merupakan yang paling agresif menanam modal di Tiongkok, tanah leluhurnya. Sedemikian rupa sehingga tak mudah untuk merinci semua investasi Lippo di daratan Tiongkok. Khususnya di Fujian, kampung halaman leluhur Mochtar Riady yang bernama asli Li Wen Zheng.
Melalui invetasinya di Tiongok Selatan dan Fujian pada khususnya, Mochtar dan Lippo membangun berbagai infrastruktur seperti jalan, pelabuhan, bandara, dan perumahan. Proyek-proyek itu dibangun di kota Fuzhou, Ibukota Fujian.
Juga pada April 1993, di provinsi Shandong, Lippo juga punya proyek. Bersama pemerintah setempat, membangun infrastruktur senilai 350 juta dolar AS. Di sini, Lippo bertanggung jawab untuk mengkoordinasikan konsorsium untuk memobilisasi dana sebesar 300 juta dolar AS.
Ajakan kongsi bisnis melalui patungan atau urunan nampaknya memang modus bisnis Mochtar Riady yang menarik untuk dicermati. Pada April 1993, di provinsi Shandong, Lippo juga punya proyek. Bersama pemerintah setempat, membangun infrastruktur senilai 350 juta dolar AS. Di sini, Lippo bertanggung jawab untuk mengkoordinasikan konsorsium untuk memobilisasi dana sebesar 300 juta dolar AS.
Seperti halnya juga ketika Lippo mengadakan patungan pendirian bank secara offshore dengan menyetor modal sebesar 50 juta dolar AS. Selain itu, Lippo juga membeli kawasan seluas 325 ribu kaki persegi di atas rencana stasiun bawah tanah di Giuangzho.
Bahkan lebih dari itu, Mochar dan Lippo juga meramah ke sektor keuangan dan sekuritas di Tiongkok. Dengan mendirikan perusahaan sekuritas di Shenzen dan Shanghai, melalui pembelian The Nanhai Commercial Bank.
Karena itu tak heran jika dalam seruannya kepada 3000 taipan rantau di seluruh dunia, Mochtar Riady sang pemilik Lippo Group, menganjurkan agar mengincar sektor properti, infrastruktur dan tambang batubara di Indonesia.
Mochtar Riady bukan fenomena tunggal. Justru ini menggambarkan gejala umum bahwa sejak Deng Xio Ping mengizinkan investor asing menanam modal di Provinsi Cina Selatan, dibandingkan penanam modal asing lainnya, para pengusaha etnis Cina-lah yang paling banyak menggandeng perusahaan-perusahaan Cina Daratan yang tentunya direstui pemerintah Republik Rakyat Cina (RRC).
Jaringan Bisnis Trans-Nasional Cina di Indonesia
Sekadar informasi, sejak 1967 sampai sekarang, pengussaha Cina dari Singapura, Hongkong, dan Taiwan, masih merupakan penanam modal terbesar di Indonesia. Modal yang mereka tanam di Indonesia lebih besar dari penanaman modal Jepang, Inggris, maupun Amerika Serikat.
Berita buruknya adalah, hal ini menunjukkan betapa jaringan regional Cina telah menjangkau ke dalam perekonomian Indonesia melalui cara penanaman modal asing. Parahnya lagi, hal berlangsung dua arah. Jadi ketika pengusaha Cina Indonesia bermaksud melakukan ekspansi ke luar negeri, strategi yang mereka lakukan adalah pertama-tama mendirikan perusahaan di Hongomg atau Singapura untuk memanfaatkan sumber-sumber modal etnis Cina dan mengembangkan jalinan dengan berbagai jaringan bisnis Cina.
Menurut data yang disampaikan oleh Dr Alexander Irwan dalam artikelnya bertajuk Jaringan Bisnis dan Identitas Etnis Trans-Nasional, dari 22 perusahaan etnis Cina dari Indonesia yang masuk ke dalam daftar “Mereka yang Berekspansi ke Luar Negeri,” 21 mempunyai perusahaan kalau tidak di Hongkong di Singapura, atau sekaligus di kedua tempat tersebut.
Berarti, ketika kalangan bisnis Cina dari Asia Timur dan Tenggara memperluas jaringan mereka ke Indonesia, pada saat yang sama pengusaha-pengusaha etnis Cina Indonesia meningkatkan kepekatan jaringan bisnis regionalnya dengan jalan melakukan investasi di Asia Timur dan Tenggara.
Sarana yang digunakan untuk membentuk jaringan regional didasarkan pada kesamaan daerah asal-usul, seperti terlihat melalui kiprah organisasi International Federation of Futsing Clan, sebuah asosiasi regional pengusaha Cina di Asia Timur dan Asia Tenggara. Asosiasi yang berkantor di Singapura tersebut punya perwakilan di Jepang, Hongkong dan Macau, Taiwan, Malaysia, Singapura, Jakarta, Jawa Timur, Jawa Tengah, Ujung Pandang dan Amerika Serikat.
Anggota asosiasi terdiri dari para bankir, industriawan, importir dan eksportir besar, sub-kontraktor, pedagang dan pedagang eceeran yang lebih kecil. Jaringannya merentang dari lingkar regional sampai ke lingkar lokal. Adapun kekuatan mereka terletak pada bentuk-bentuk kerjasama antar anggota asosiasi tersebut.
Sedemikian rupa besarnya pengaruh jaringan bisnis regional Cina di Asia Timur dan Asia Tenggara, termasuk di Indonesia, pemerintahan Cina daratan di Beijing pun menyadari potensi finansial yang dimiliki kelompok Cina rantau ini. Maka di sinilah menariknya kebijakan double standard pemerintah Cina terhadap para taipan rantau tersebut.
Dari sudut pandang ideologis Partai Komunis Cina, para taipan lintas negara ini merupakan musuh negara akibat kekayaan yang mereka miliki karena masuk golongan “kelas kapitalis.” Tapi ini hanya berlaku untuk konsumsi dalam negeri. Ke luar negeri, pemerintah Cina justru bersikap lunak, bahkan cenderung melindungi kelas kapitalis ini.
Para Taipan Semakin Diuntungkan Melalui Kebijakan Reformasi Deng Xio Ping
Lepas dari sikap mendua pemerintahan Cina daratan terhadap para taipan rantau, namun sejak 1978 menyusul diterapkannya Kebijakan Reformasi dan Keterbukaan (gaige kaifang), pragmatisme pemerintahan Deng Xio Ping justru memberi angin kepada para taipan rantau. Bukan lagi kemiskinan dan kebodohan yangg dipuja-puji melainkan harta dan kepandaian.
Deng Xio Ping, yang merupakan tokoh sentral reformasi Cina, mengumungkan diterapkannya kebijakan “Empat Modernisasi” yang meliputi pertanian, industri, ilmu pengetahuan dan teknologi dan pertahanan. Untuk mencapai sasaran tersebut, pemerintah Cina secara bertahap memakai sistem ekonomi pasar, menggantikan sistem ekonomi komando. Maka, rakyat Cina baik yang di desa maupun yang di kota, diizinkan untuk berwiraswasta. Berbinis.
Modal boleh diperoleh dari luar Cina, demikian pula teknologi dan ketrampilan. Sehingga praktis sejak saat itu Cina membuka pintu lebar-lebar terhadap dunia luar, terutama dari dunia barat.
Di sinilah kemudian, jaringan bisnis regional etnis Cina yang tersebar di seluruh dunia, khususnya Asia Timur dan Asia Tenggara, mendapat dukungan strategis dari pemerintahan Cina. Karena dalam skema reformasi ekonomi Deng, jaringan bisnis trans-nasional Cina dipandang memiliki potensi modal untuk diikutsertakan dalam membangunan perekonomian Cina daratan.
Sehingga sejak 1984, pemerintah Cina menerapkan kebijakan untuk melindungi apa yang mereka istilah sebagai Hoakiau atau overseas China, yaitu warga Cina yang berada di luar negeri namun tetap ada ikatan dengan leluhurnya di Cina Daratan. Berarti termasuk para taipan rantau tersebut berada dalam perlindungan otoritas politik Cina. Termasuk para taipan seperti Mochtar Riady, Liem Soe Liong dan Eka Cipta. Karena mereka dimasukkan dalam kategori orang-orang yang punya potensi keuangan/finansial.
Dengan kata lain, otoritas politik dan angkatan bersenjata Cina mendukung dari belakang layar, sedangkan para taipan ibaratnya merupakan pasukan penyerbu yang ditugaskan untuk membuka lahan-lahan baru untuk kepentingan nasional Cina.
Setidaknya itulah agenda tersembunyi Mochtar Riady ketika mendukung terselenggaranya Konferensi Pengusaha Tionghoa Sedunia ke-13 di Nusa Dua Bali, yang dibuka secara simbolik melalui pemukulan gong oleh mantan presiden dan Ketua Umum PDIP Megawati Sukarnoputri. Dan pidato sambutan pembukaan oleh Menteri Koordinator Politik-Hukum-Keamanan Luhut Binsar Panjaitan.
Penulis: Hendrajit, Direktur Eksekutif Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments