Hendrajit dan M Arief Pranoto, Peneliti Senior Global Future Institute (GFI)
Pemerintah dan masyarakat abai geopolitik sejak era pasca reformasi. Sehingga pemerintahan Jokowi-JK sekalipun tidan menyadari betapa epicentrum abad 21 sejatinya berada di Indonesia. Tidak percaya? Mari kita telisik fakta-faktanya sebagai berikut:
Pertama, ada sekitar 40-an juta ton cargo melintas, dan 21-an juta barel melewati perairan Indonesia (bandingkan dengan Selat Hormuz yang hanya 17 juta, atau Selat Malaka 15 juta barel, dan lain-lain) dari Timur Tengah ke Asia Pasifik, dimana dekade 2030-an diprediksi akan meningkat dua kali lipat.
Kedua, selain hutan Indonesia sebagai paru-paru dunia, ia pun dapat membahayakan pemanasan global (karena kontribusi 2 % perusak hutan), juga berlimpahnya energi alternatif semacam panas bumi, hydro, solar, angin dan biduel dari tumbuhan (jarak, sagu, tebu, ubi kayu, dll) termasuk ethanol, alkohol dan sebagainya. Singkatnya, hampir semua ada serta berlimpah di Indonesia.
Ketiga, fakta yang tak boleh dipungkiri bahwa Indonesia itu penghasil lada putih nomor 1 (satu) di dunia, produsen kayu lapis terbesar, penghasil puli dari buah pala terbaik di dunia, LNG terbesar, dan juga penghasil lada hitam, karet alam, minyak sawit (CPO), timah —- untuk tiga komoditas terakhir ini terbesar kedua di dunia.
Keempat, fakta-fakta lainnya bahwa ia merupakan negara penghasil tembaga nomor tiga di dunia, penghasil kopi dan karet sintetik keempat, selain penduduknya juga menempati urutan keempat terbesar di muka bumi.
Kelima, selain itu, sebagai negara agraris juga memiliki pantai terpanjang kedua di dunia, saat ini Indonesia dinilai sebagai penghasil ikan nomor enam di dunia, termasuk teh, biji-bijian, dan lain-lain.
Keenam, untuk hasil tambang, malah lebih fantastik lagi. Sebagai negeri ring of fire (lingkaran sabuk api) maka berbagai jenis dan aneka tambang pasti berserak di negeri ini, seperti gas alam, emas, batu bara —- ketiganya nomor enam di dunia. Indonesia juga penghasil minyak bumi nomor sebelas di dunia (data minyak ini perlu cross check kembali), kemudian juga penghasil aspal, bauxit, nikel, granit, perak, uranium, marmer dan mineral ikutannya serta pasir besi dengan kualitas terbaik di dunia.
Ketujuh, selain potensi pariwisata yang besar baik berupa pemandangan alam, beberapa pantainya mempunyai ombak terbaik di dunia untuk surfing, kemudian adat, budaya dan banyaknya situs serta artefak kejayaan masa lalu masih terawat baik, bahkan temuan terbaru perihal artefak kejayaaan nusantara (Piramida Gunung Padang) bakal mengubah dunia, bahkan mungkin dapat merobek buku sejarah sejak halaman pertama —- juga tak lupa ialah local wisdom bangsa ini berupa keramah-tamahan warga lokal terhadap pendatang (tourist) kendati nilai-nilai tersebut kini telah mulai luntur karena faktor lingkungan yang berubah serta tak terbendung.
Geoposisi Silang Indonesia
Karena tidak kenal diri, maka kita tak pernah tahu diri, apalagi tahu harga diri. Kita tidak mengenali kekuatan dan kedahsyatan kita yang sesungguhnya. Bahkan letak Indonesia di antara dua samudra dan dua benua, tidak kita sadari nilai strategisnya secara geopolitik.
Menurut Dr Dirgo D Purbo, pakar perminyakan, 50% yang melintas di perairan Indonesia adalah tanker-tanker minyak dunia. Data di Lemhanas RI, “Hampir 50 % perdagangan laut komersial dunia dilakukan melalui perairan Indonesia dan perairan regional kawasan ini. Hampir dipastikan bahwa dalam pandangan negara-negara lain sebagai pengguna, jalur strategis ini punya i arti yang sangat vital dan strategis bagi perdagangan internasional mereka,” ungkap Gubernur Lemhanas, Prof Dr Ir Budi Susilo Soepandji dalam seminar nasional yang digelar GMNI di Sahid Jaya Hotel, Jakarta setahun yang lalu.
Dengan begitu, secara geostrategi kedahsyatan geoposisi silang yang jarang dimiliki negara manapun ini, meniscayakan Indonesia berdaya tawar tinggi di panggung (politik) global. Bahkan seharusnya Indonesia mampu merajut hubungan dengan berbagai negara di antara dua benua dan samudera.
Hanya saja ya itu tadi. Karena kita tidak mengenali nilai strategis wilayah-wilayah kita secara geopolitik, bahkan yang terjadi justru sebaliknya. Kita bahkan tidak mampu mengenali apalagi memprediksi potensi-potensi ancaman yang kiranya bakal kita hadapi kini dan kelak.
Dalam perspektif kolonialisme global, takdir geopolitik yang begitu menggiurkan (potensi ekonomi, demografi dan geoposisi silang), niscaya akan menempatkan Indonesia pada posisi:
- sebagai pemasok bahan mentah bagi negara-negara industri maju;
- sebagai pasar bagi barang-barang jadi yang dihasilkan oleh negara-negara industri maju; dan
- sebagai pasar guna memutar ulang kelebihan kapital yang diakumulasi oleh negara-negara industri maju tersebut (Bung Karno, 1955). Nampaknya, inilah yang tengah berlangsung secara masif, sistematis dan terencana di tanah air.
Sialnya, potensi-potensi ancaman yang lahir dari nilai-nilai strategis yang melekat dalam wilayah-wilayah NKRI secara geopolitik, sama sekali tidak kita ketahui. Bukannya menjadikan dan memanfaatkan nilai strategis negeri kita secara geopolitik, negeri kita malah jadi sasaran “proxy war” berbagai kepentingan-kepentingan negara-negara adikuasa di bidang ekonomi, untuk merebut penguasaan kekayaan alam Indonesia seperti digambarkan di atas.
Siapa Penguasa Sektor Energi dan Tambang Dunia Saat Ini?
Setelah kita mengenali takdir geopolitiknya, dan tahu betapa menggiurkannya kita secara geopolitik, lantas kita perlu tahu kekuatan-kekuatan dan para pemain kunci berksala global yang pastinya akan mengincar Indonesia untuk dikuasai dan ditaklukkan.
Di sektor energi dan tambang, setidaknya ada 25 aktor kunci di kedua sektor ini yang sekarang menguasai dunia, dan boleh dibilang sebagai VOC-VOC Gaya Baru. Mereka antara lain:
- Rex Tillerton, ExxonMobil.
- Peter Voser, Royal Dutch Shell
- Jiang Jiemin, China National Petroleum.
- Khalid al-Falih, Saudi Aramco.
- Bob Dudley, British Petroleum.
- Marius Kloppers, BHP Tinto.
- Tom Albanese, Rio Tinto.
- Mick Davis, Xstrata.
- Murilo Ferreira, Vale.
- Cynthia Carroll, Anglo American
- Maria das Gracas Silva Foster, Petrobras.
- John Watson, Chevron.
- Alexei Miller, Gazprom.
- Christophe de Margeriem Total.
- Fu Chengyu, Sinopec.
- Yang Hua, CNOOC
- Jim Mulva, ConocoPhillips.
- Eduard Khudainatov, Rosneft.
- Zhang Xiwu, China Shenhua Coal.
- Zohra Chatterji, Coan India.
- Mukesh Ambani, Reliance Industries.
- Sudhir Vasudeva, ONGC.
- Lakshmi Mittal, ArcelorMittal.
- Chung Joon-yang, POSCO.
- Mitsunori Takahagi, JX Holdings.
Bersama-sama mereka mewakili bagian perdagangan energi dan mineral dunia terkemuka, dan umumnya mereka melakukan bisnis melalui cara yang terstruktur sesua dengan norma-norma keuangan global. Dengan kata lain, mereka mengoperasikan bisnisnya berdasarkan skema IMF dan Bank Dunia.
Di luar jajaran papan atas tersebut , tedapat 200 perusahaan besar dengan skala yang setara seperti Statoil, Eni, BG Group, Pemex, Petronas, Occidental, Suncor Energy, Nippon Street, dan divisi pertambangan dan energi kelompok Mitsubishi, Mitsui, Marubeni, Sumitomo, dan ITOCHU.
Tapi yang kita seringkali kecolongan adalah, bahwa di bawah perusahaan-perusahaan global ini terdapat dunia persaingan usaha bak labirin yang mendalam dan beragam, di mana ribuan perusahaan berpengaruh tapi relatif tak dikenal lainnya, melakukan bisnis sehari-hari mereka di tempat yang kadang-kadang bisa kotor, ilegal, dan berbahaya.
Namun di luar yang 25 pemain kunci tadi, Koch Industries, kiranya perlu dapat sorotan khusus. Perusahaan yang dikelola oleh miliarder Koch bersaudara, Charles dan David, merupakan putra-putra dari sang pendiri, Fred Koch, yang berbasis di Wichita, Kansas. Koch Industries merupakan salah satu perusahaan privat terbesar di dunia, dengan omzet sekitar $100 miliar dan 70.000 karyawan tersebar di 60 negara. Koch Industris memperdagangkan komoditas dari kantor-kantornya di Wichita, Houston, New York, Rotterdam, Mumbai, Singapura, Jenewa, Paris, London, dan Calgary; berjual-beli minyak mentah, gas alam dan gas cair, produk minyak bumi hasil olahan, batu-bara, kokas, semen, pulp (bubur kertas) dan kertas, dan produk lainnya.
Menariknya lagi, Koch Industries tidak sekadar melakukan kegiatan perdagangan. Perusahaan ini juga mengelola kilang-kilang minyak di Rotterdam, Texas, Minnesotam dan Alaska; memegang saham di Trans-Alaska Pipeline, dan menjalankan jaringan pipa minyak dan gas lainnya. Bisnisnya juga meliputi bahan kimia, peternakan, polimer dan serat, pupuk, teknologi dan peralatan pengendalian dan pemrosesan pencemaaran, dan produk konsumen dan kehutanan.
Charles dan David Koch masing-masing menguasai 42 persen saham perusahaan.
Cargill, VOC Gaya Baru di Sektor Pertanian
Di sektor agribisnis, perusahaan privat AS, Cargill, merupakan pedagang komoditas pertanian terbesar, dengan omzet $108 miliar pada 2010, mengalahkan dua perusahaan publik: Acher Daniels Midland ($62 miliar) dan Bunge ($46 miliar).
Rekanan Cargill di sektor pertanian adalah perusahaan privat Perancis Louis Dreyfus ($20 miliar), perusahaan publik Singapura Olam Internasional ($6 miliar), dan perusahaan berbasis di Hongkong, yang terdaftar di Singapura Noble Group, yang menyebut dirinya sebagai pedagang komoditas terdeversifikasi terbesar di Asia. Omzetnya lebih dari $57 miliar pada 2010 dalam produk pertanian, energi, logam, dan mineral.
Kelompok agribisnis penting lainnya adalah koperasi petani Jepang Zen-Noh, dengan omzet $64 miliar(terutama dalam bisnis domestik) dan importir/eksportir minyak dan makanan Cina COFCO ($26 miliar). Semua pedagang agribisnis itu mengembangkan kepemilikan pada lahan makanan, perkebunan, dan pertanian lainnya di luar negeri untuk menyongsong apa yang mereka lihat sebagai masa kelangkaan sumberdaya yang akan datang.
Bagi Indonesia, tren ini harus dipandang sebagai potensi ancaman. Selain karakteristiknya yang bersifat ekspansionis dan agresif, sebagai korporasi mereka sudah mampu membaca tren perlunya mengembangkan kemampuan swadaya pangan. Sedangkan ketahanan pangan kita justtru berada dalam bahaya.
Sogo Shosha Jepang Masih Tetap Sebagai Ancaman
Meski sekarang Jepang sedang menurun, tetap penting bagi kita untuk membedah anatomi Sogo Shosha, sekumpulan perusahaan-perusahaan perdagangan umum Jepang yang ragam produksnya jauh melampau makanan, mineral, energi hingga ke pembiayaan, investasi, dan pembuataan kesepakatan. Pada 1980-an dan 1990-an, perusahaan-perusahaan seperti Mutsubishi Corp, Mutsui & Co, ITOCHU Corp, Sumtomo Corp, dan Marubeni Corp, benar-benar mendominasi perdagangan global pada berbagai produk industri dan pertanian, jasa, dan bahan baku. Namun pengaruh mereka telah berkurang jauh saat ini. Bahkan sekitar 15 tahun lalu, daftar perusahaan top dunia menurut pendapatan ditempati oleh Perusahaan Jepang pada 6 dari 10 tempat teratas. Sedangkan tiga pertama adalah Mitsubishi. Mitsui dan ITOCHU. Di tempat keeempat adalah produsen mobil AS General Motors, diikuti oleh Sumitomo dan Marubeni, Ford Motor, Royal Dutch Shell, Toyota Motor, dan Exxon.
Namun saat ini,hanya Toyota yang merupakan satu-satunya perusahaan Jepang. Beberapa nama besar sogo Shosha di masa lalu telah lenyap seperti Nissho Iwai dan Nichmen bergabung pada 2004 untuk menciptakan Sojitz Corp.
Begitupun, ekspansi korporasi-korporasi global Jepang masih tetap harus diwaspadai oleh Indonesia. Beberapa perusahaan papan atas Jepang tetap merupakan kekuatan ekonomi yang cukup besar seperti Toyota Tsusho, yang menyerap Tomen pada 2006 lalu, dengan omzet lebih dari $ 800 miliar per tahun. Mereka tetap menjadi pemain dan investor utama dalam proyek-proyek sumberdaya global, khususnya di Australia, Amerika Selatan, dan Amerika Utara, dan dengan peningkatan minat atas India, Cina dan Afrika.
Keterlibatan khas mereka adalah saham patungan Mitsui dan Mitsubishi dalam proyek gas Australian North West Shelf. Kemiudian peran Mitsubishi dalam perdagangan bijih besi dan batu bara di Kanada, Brazil, dan Australia. 20 persen saham ITOCHU paa pertambangan batu bara Kolombia oleh perusahaan AS Drummond, dan 45 persen saham Sumitomo di proyek pertambangan tembaga-molibdenum Sierra Gorda di Chili yang akan datang.
Memetakan Aktor-Aktor Migas Cina Berskala Global
Cina merupakan negara yang tergantung pada impor minyak dari luar negeri. Untuk memburu dan mendapatkan sumber energi berupa minyak dan gas ke seluruh dunia, termasuk Indonesia, negara tirai bambu itu mengandalakn tiga National Oil Company (NOC) utama mereka yaitu, CNPC (PetroChina), Sinopec dan CNOOC.
CNPC terbentuk pada 1988 sebagai pengganti Kementerian Industri Minyak. CNPC merupakan NOC Cina paling besar dalam produksi minyak dan perolehan keuntungan, namun masih kalah dalam hal pendapatan dari Sinopec.
CNPC terbentuk didasari gagasan agar Cina sebagai negara pengimpor minyak bumi, maka pemerintah Cina mencanangkan adanya BUMN sektor energi yang mampu menjadi penyuplai energi yang handal dan memenuhi permintaan energi dalam negeri yang kian meningkat. Maka CNPC merupakan perusahaan negara yang langsung berada dalam pengawasan pemerintah.
Pada 2008 CNPC mencatat keuntungan bersih sebsar RMB 91.65 miliar setara dengan US$13.196 miliar.
Adapun bisnis inti dari CNPC adalah dalam eksplorasi serta produksi minyak dan gas(upstream), serta mid-downstream yaotu kegiatan penyulingan, pengolahan migas, distribusi, dan pemasaran. Produk yang dihasilkan CNPC adalah besin, minyak tanah, solar, serta oli dan pelumas.
CNPC tercatat beroperasi di 29 negara. Di Afrika: Sudan, Aljazair, Chad, Nigeria, Mauritania, Libya, Tunisia, Guinea Khatulistiwa, dan Afrika Tengah. Di Asia Tengah: Kazakhstan, Turkmenistan, Uzbekistan, Azerbaijan, dan Rusia. Kawasan Amerika: Kanada, Kuba, Kosta Rica, Ekuador, Peru, Venezuela. Timur Tengah: Iran, Irak, Oman, dan Suriah. Di Asia; Indonesia, Myanmar, Mongolia, dan Thailand.
Kiprah CNPC di Indonesia dimulai saat masuknya Petro China pada 2002. Petro China sebagai anak perusahaan CNPC melakukan akuisisi terhadap Devon Energy di Indonesia, dan melalui Petro China International Indonesia Ltd, secara resmi Petri China hadir di industri pertambangan minyak dan gas Indonesia. Pada 2003, Petro China membeli 45 persen saham kepemilikan pada kapal operator di ladang minyak Indonesia, dan pada 2004 Petro China memiliki 25 persen kepemilikan dan hak beroperasi di ladang minyak Sukowati. Saat ini Petro China memiliki beberapa kilang minyak dan gas di Indonesia seperti Jabung (Jambi) Papua, dan Jawa Timur.
Petro China berinvestasi dan mengembangkan ladang migas di Jambi (Jabung dan Bangko), Papua (Salawati), dan Jawa Timur (Tuban). Petro China melakukan kerjasama Production Sharing Contract (PSC) di Blok Jabung, sementara Blok Tuban dan Blok Salawati meruakan kerjasama Joint Operation Body dengan Pertamina.
Tidak sampai di situ saja. Pada 2003 Petro China bahkan pernah menawarkan untuk mengembangkan 10 blok migas di Indonesia. Kesepuluh blok tersebut tersebar di Aceh, Banten, Jawa Timur, dan Papua. Dalam proses tener Petro China berkompetisi dengan Chevron Pacific. Sampai sekarang, di era pemerintahan Jokowi-JK, belum diketahui siapa yang memenangkan blok-blok migas baru yang tersebar di keempat provinsi tersebut.
Dalam pertarungan global antara AS versus Cina di Asia Tenggara, khususnya Indoenesia, Riau merupakan sasaran kedua adikuasa. Yang menjadi incaran adalah Blok Natuna D Alpha di Riau. Blok Natuna telah menjadi incaran berbagai perusahaan multinasional seperti Shell, Exxon, Petronas, dan lainnya.
Bahkan di Blok Jabung (Jambi) saat ini dikelola oleh Petro China bersama-sama dengan perusahaan Amerika ConocoPhilips dan Pertamina. Hal ini menggambarkan betapa selain persaingan, juga tak tertutup kemungkinan adanya konsesi seperti terjadi antara Petro China dan ConocoPhillips di Blok Jabung.
Petro China Company LTF
Petro China Company Limited merupakan perusahaan (produsen) serta distributor minyak dan gas terbesar di Cina. Memegang peranan penting dalam industri migas di Cina. Petro China sebagai perusahaan yang berada dalam group CNPC bergera di bidang kegiatan eksplorasi, pengembangan produksi atau research and design, penyulingan, transportasi, dan pemasaran minyak dan gas.
Petro China beropeasi di 26 negara. Petro China juga aktif berinvestasi di luar negeri dengan cara akuisis atau merger. Indikator ini terlihat dalam perdagangan saham internasional di mana Petro China memiliki saham di Hongkong, Shanghai, dan New York.
Petro China berhasil membangun tempat transit internasional antara lain di Minas, Basra (Irak), dan Oman untuk keperluan penyulingan minyak, gas, dan industri pendukung.
Untuk memenuhi kebutuhan domestik, Petro China menjalin kerjasama dengan beberapa perusahaan multinasional energi terkemuka. Pada Februari 2002, Petro China melakukan kerja sama luar negeri dengan Royal Dutch Shell, Gazprom, dan Hongkong & China Gas untuk membangun jaringan pipa gas sepanjang 2600 mil ari lapangan gas Tarim Basin ke Shanghai. Pembangunan dimulai pada 2004 dan saat ini jaringan gas telah berfungsi untuk memasok gas ke daerah Shanghai. Biaya yang dikeluarkan oleh ketiga perusahaan mencapai US$18 miliar.
Selain itu, Petro China berencana untuk ekspansi ke luar negeri dengan menanam investasi sebesar US$60 miliar untuk meningkatkan kapasitas produksi migas dari operasi internasionalnya. Suriah, Iran merupakan salah satu sasaran pokok Cina di Timur Tengah. Seperti pembangunan kilang minyak di Suriah yang berkapasitas 5 juta ton per tahun atau 100 ribu bph. Kilang itu digunakan untuk mengolah minyak dari Iran. Maka Petro China sempat membeli 35 persen saham milik Shell di Suriah.
SINOCPEC Indonesia
Sinopec Corp mulai masuk kancah pertarungan antar pemain migas di Indonesia sejak Juli 2005, ketika ditandatangani perjanjian kerjasama proyek eksplorasi minyak di Tuban, Jawa Timur. Ladang minyak tersebut diperkirakan mampu memproduksi minyak sampai dengan 200.000 barrel per hari. Kehadiran Sinopec Internasional E & P Ltd di Indonesia diwakili oleh Sinopec International Petroleum E & P Co yang bertanggungjawab atas PSC di Blok Binjai. Dalam operasinya, Sinopec bekerjasama dengan PT Telaga Binjai Energy. Pada 2006, Sinopec melakukan kegiatan eksplorasi di Blok Binjai, sumur Batumandi North I, sayangnya belum menemukan kandungan hidrokarbon.
Sekadar catatan. Sinopec di Indonesia lebih terkenal dengan kiprah investasinya di bidang energi terbarukan dan investasi infrastruktur kilang pengolahan minyak. Investasi di bidang energi terbarukan adalah pembangunan pabrik pohon jarak dan kelapa sawit di provinsi Papua dan Kalimantan Timur.
Sinopec bekerjasama dengan PT Puri Usaha Kencana dalam pembangunan pabrik pengolahan biofuel. Total investasi Sinopec dalam biofuel di Indonesia mencapai US$ 5 miliar. Hal ini setara dengan investasi CNOOCK untuk membangun tiga pabrik biofuel di Kalimantan.
Pada bidang infrastruktur Sinopec bekerjasama dengan Pertamina membangun kilang pengolahan di Provinsi Banten guna mendukung tercapainya target produksi minyak nasional 200.000 bph.
China National Offshore Oil Corporation (CNOOC)
Dalam skema Cina, pengusaha memang ditempatkan di garis depan untuk membuka lahan-lahan baru. Tak terkecuali sektor usaha yang langsun di bawah pengawasan dan pengendalian pemerintah Cina seperti CNOOC. CNOOc berdiri pada 1982 yang tugas pokoknya adalah untuk melakukan eksplorasi dan produksi minyak di lepas pantai, serta bekerjasama dengan perusahaan multinasional.
CNOOC ini sangat diperhitiungkan oleh para pemain kunci migas di dunia internasional, termasuk Amerika Serikat. Pada 2005 lalu, CNOOC pernah melakukan penawaran kepada Unocal Corps sebesar U$ 18,5 miliar, untuk membeli mayoritas saham perusahaan multinasional AS tersebut. Namun Unocal menolak, karena pemerintah AS membaca langkah Cina tersebut bakal membahayakan industri strategis dan keamanan nasional AS.
Meski gagal, namun CNOOC telah membuktikan diri sebagai kekuatan migas berskala global yang tidak bisa dianggap enteng. Ya, CNOOC memang berupaya menjadi perusahaan eneergi internasional.
Kiprah CNOOC di Indonesia bermuala ketika NOC Cina ini membeli saham ladang minyak di Selat Malaka sebsar 32,5 persen pada 1993. Yang kemudian menambah kepemilikan sahamnya dengan membeli 6,93 persen pada 1995.
Pada November 2002, CNOOC resmi membeli saham Repsol YPF di Indonesia. Maka lahirlah CNOOC South East Sumatera (SES) Ltd. Mereka bekerja sama dengan enam perusahaan energi, antara lain Inpex Sumatera (13 persen), KNOC Sumatera Ltd (8,9 persen), Orchard Energy Sumatera BV (5 persen), Fortuna Resource (Sunda) Ltd (3,7 persen), Talisman Asia Ltd (2 persen), dan Talisman Energy Inc (1,6 persen).
Dengan pembelian tersebut, CNOOC SES Ltd menguasai 5 ladang minyak Repsol YPF dari 7 ladang minyaknya. Kelima ladang minyak tersebut terletak di lepas pantai utara Jawa Barat (36,72 persen), bagian barat daya Sumatera (65,34 persen), bagian barat Madura (25 persen), Poleng (50 persen), dan Blora (16,7 persen).
Dalam bidang gas alam, yang paling kontroversial terjadi semasa pemerintahan Megawati Sukarnoputri, ketika pada 2002 CNOOC ikut serta dalam eksplorasi ladang gas alam cair /LNG di Tangguh, Papua. Proyek tersebut senilai US$ 8,5 miliar itu dipandang oleh berbagai kalangan di Indonesia, cenderung menguntungkan Cina ketimbang kepentingan nasional Indonesia. Dalam perjanjian tersebut, Indonesia akan menyediakan LNG sebanyak 24 juta metrik ton setiap tahun selama 15 tahun. Perjanjian dimulai sejak 2008.
Nampaknya Megawati maupun Presiden berikutnya, SBY, tetap gagal dalam memperkuat posisi tawarnya terhadap Cina.
Terkait asumsi bahwa Indonesia merupakan tujuan imperialisme dan kolonialisme global karena faktor geopolitiknya, maka pola serta modus peperangan asimetris di muka bumi mutlak harus diajarkan kepada segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia baik melalui jalur pendidikan formal maupun non formal, baik mulai tingkat sekolah dasar, menegah, dan perguruan tinggi.
Dilatar-belakangi keprihatinan, bahwa Indonesia kemarin, kini dan mungkin kedepan tengah dijadikan ajang medan tempur (proxy war) oleh para adidaya secara asimetris (nirmiliter). Tetapi justru banyak tokoh agama, tokoh adat, kaum akademisi, dan generasi muda tak menyadari, atau bahkan larut, pada skema yang sedang dijalankan oleh kepentingan asing.
Facebook Comments