Ancaman Bioterorisme Terhadap Kerentanan Genetik Generasi Mendatang

Bagikan artikel ini

Toni Ervianto, alumnus pasca sarjana UI

I.    Latar Belakang

Ancaman terorisme ke depan tampaknya semakin kompleks, karena mereka tidak hanya melakukan serangan terror dengan cara-cara yang konvensional, namun perkembangan terkini dari ancaman terorisme adalah mereka sudah mampu untuk melakukan serangan dengan menggunakan bahan-bahan kimia, biologi dan sebagainya yang dikenal dengan istilah bioterorisme.

Penggunaan bioterorisme dipandang sebagai langkah dan strategi yang “menguntungkan” bagi kalangan teroris,  karena sasaran yang terkena hampir dipastikan akan menemui kematian, nuansa teror yang dikeluarkan atau ditimbulkan tidak kalah dengan teror dengan menggunakan bom serta serangan dengan bioterorisme tidak membahayakan bagi kalangan teroris itu sendiri.

Bioterorisme dapat dilakukan dengan menggunakan bahan biologi sebagai senjata seperti bakteri, virus, toxin, jamur dan ricketsia.1  Dengan bahan-bahan biologi seperti itu, maka kemungkinan untuk diperoleh di tengah masyarakat atau pasar, sehingga bisa dibayangkan serangan terror dengan menggunakan bahan biologi akan mudah dilakukan.

Meskipun demikian, bioterorisme tidak hanya dilakukan oleh organisasi teroris saja. Ancaman bioterorisme juga bisa dilakukan oleh negara-negara besar dalam rangka memperkuat hegemoninya, terutama dalam rangka menguasai sumber daya alam, sehingga ada kemungkinan bioterorisme juga digunakan untuk mengurangi populasi umat manusia di dunia, dimana indikasi terhadap hal ini juga mulai menemui kebenarannya, dimana rakyat di beberapa negara di Afrika selalu dijadikan “kelinci percobaan” untuk dilakukannya tes terhadap penemuan-penemuan obat-obatan yang baru diproduksi oleh negara-negara Barat.

Menurut Wang Xiang Jun, bisa jadi bahwa pengurangan populasi atau penduduk dengan jalan wabah penyakit dan perang adalah strategi equilibrium population2

“Kutukan” Robert Malthus seorang pakar matematika dan pendeta dalam Essay on the Principle of Population (1978) yang semula dianggap gila mengatakan bahwa populasi penduduk meningkat menurut deret ukur berlipat dua setiap 25 tahun jika tidak dikendalikan, sementara produksi pertanian meningkat menurut deret hitung yang jauh lebih lambat. Kontrol ini dapat dilakukan secara sukarela seperti pengaturan kelahiran, berpantang sanggama atau menunda pernikahan atau secara terpaksa melalui bencana perang, kelaparan dan penyakit melalui bioterorisme.

Inilah sebenarnya yang menjadi salah satu “entry point” mengapa ancaman bioterorisme ke depan tidak bisa dipandang sebelah mata. Perang melalui bioterorisme sangat efektif, karena hasilnya jelas dan kemungkinan untuk terkena tuduhan pelanggaran HAM atau extra ordinary crimes juga sulit untuk dibuktikan.

Disisi yang lain, masyarakat Indonesia mulai dari grassroots sampai elit politik secara demografi masih memiliki tingkat kesadaran yang sangat rendah akan ancaman bahaya senjata biologi.

Secara politik, di tingkat nasional ternyata “kepedulian politik” Indonesia terhadap permasalahan senjata biologi masih sangat parsial. Political will dari pemerintah masih belum signifikan, terlihat dari masih sektoralnya penanganan masalah senjata biologi. Dengan semakin nyatanya ancaman senjata biologi, permasalahan ini perlu diangkat ke tingkat nasional dengan melibatkan Presiden dan DPR-RI serta DPD RI secara langsung.

Sementara itu, kesiapan masyarakat bila seandainya ada serangan senjata biologi juga belum sepenuhnya ditangani dengan baik oleh pemerintah/negara.

  1. Ancaman Bioterorisme

Ancaman bioterorisme menjadi sebuah kenyataan tersendiri dari perkembangan terorisme secara non konvensional, manakala sekarang ini ada kemampuan kalangan teroris dengan mudah untuk memperoleh bahan-bahan kimiawi, biologi, radiologi dan nuklir setelah pecahnya Uni Soviet maupun lebih luasnya ketersediaan informasi yang diperlukan untuk memproduksi dan membuat senjata dari zat-zat biologis, merupakan sumber keprihatinan yang utama dari semakin maraknya bioterorisme.

Amerika Serikat sendiri juga tidak luput dari serangan bioterorisme, setidaknya pada tahun 1984, Kota Oregon diserang oleh kelompok radikal dengan menggunakan zat racun makanan salmonella untuk mencemari bar-bar salada dalam usaha untuk mempengaruhi pemilihan umum setempat. Kelompok teroris ini memilih zat untuk melumpuhkan bukan untuk mematikan, sehingga serangan mereka berhasil membuat sakit sebanyak 751 orang, tetapi tidak ada yang mati. Kemudian dalam tahun 1994 dan 1995, empat pria Minnesota semuanya merupakan anggota kelompok ekstrim anti pemerintah bernama Minnesota Patriot Council adalah orang-orang pertama yang dihukum karena memiliki sebuah zat biologis yang digunakan untuk senjata menurut UU Anti Terorisme Senjata-Senjata Biologis tahun 1989. Meski rencana Minnesota Patriot Council itu tidak pernah dilaksanakan, kelompok itu sangat dipengaruhi oleh ideologi ekstrimis sayap kanan Christian Identity, mirip dengan ideology yang mendorong pengeboman Oklahoma  City oleh mantan anggota tentara Angkatan Darat Amerika Serikat, Timmothy Mc Veigh. 3

Ancaman bioterorisme dapat terjadi juga disebabkan karena mudahnya untuk mendapatkan zaat-zat biologis, terutama yang disediakan oleh negara-negara sponsor teroris yang dapat memiliki zat-zat semacam itu dapat berfungsi sebagai calon sumber mendapatkan bahan-bahan biologi bagi kelompok teror.

Pemanfaatan teknologi yang relatif canggih oleh teroris bukan saja mampu menjadi bukti keterlibatan negara dalam serangan itu, melainkan kelompok-kelompok teroris itu dapat juga sangat sulit dikendalikan dan mungkin dapat berbalik menggunakan teknologi yang diberikan itu untuk melawan negara sponsor itu sendiri.

Sumber lain yang mungkin untuk memperoleh zat-zat biologis untuk peperangan adalah membeli atau mencuri dari laboratorium-laboratorium yang ada kaitannya dengan program-program senjata biologi tingkat pemerintah.

Adanya teknologi informasi dan internet membuat ketrampilan yang dibutuhkan untuk berhasil menyediakan biakan-biakan zat biologis tersedia secara lebih luas.

Pada umumnya, ada dua scenario bagi serangan bioteroris. Salah satunya adalah penyampaian skala kecil dengan cara relatif kasar seperti cara-cara surat-surat anthraxs tahun 2001, yang berhasil  menimbulkan gangguan dan kepanikan missal, tetapi tidak memiliki kemungkinan untuk menimbulkan kerusakan yang berarti dalam rangka hilangnya nyawa manusia. Skenario lain adalah serangan dengan korban missal, yang kemungkinannya jauh lebih kecil, tetapi memiliki potensi untuk menimbulkan bencana.4

Salah satu skenario populer bagi sebuah serangan bioteroris adalah pencemaran masal atas cadangan air sebuah kota. Cara lainnya adalah zat-zat patogen itu dapat dimasukkan ke dalam tangki-tangki penampungan, yang digunakan untuk mencegah kekurangan air selama jam-jam pagi dan petang.

Skenario berikutnya adalah penyebaran zat tidak menular seperti anthraks ke udara terbuka. Antraks adalah contoh pertama senjata biologis, zat ini relatif mudah membuatnya, sangat ganas dan infeksinya tidak menular, jadi wabahnya tidak akan menyebar di luar mereka yang langsung terkena. Yang paling penting, antraks membentuk spora-spora yang sangat kuat ketika diterpa tekanan-tekanan lingkungan, dan spora-spora ini mempermudah proses dan pembuatan senjata dengan bahan tersebut. Antraks dapat diangkut dalam bentuk cair atau bubuk.

III.    Bioterorisme Sebagai Psywar

Bioterorisme bisa digunakan untuk psywar atau perang urat syaraf antar negara untuk membuat lemah kekuatan suatu bangsa atau negara, baik melemahkan kekuatan manpower atau sumber daya manusia ataupun kekuatan militernya.

Bioteror mampu merusak dan menghancurkan daya kekuatan tubuh manpower suatu bangsa atau negara. Salah satu penyerangan yang tercatat dalam sejarah adalah yang dilakukan Jenderal Jeffrey Armherst terhadap suku bangsa Indian di Amerika Serikat. Menurut Jerry D Gray, Amerika Serikat yang pertama menggunakan bioteror terhadap penduduk asli Indian dan yang ketagihan untuk memakai cara-cara keji dalam berperang dengan musuh yaitu dengan perang biologi atau bioteror terhadap negara-negara dunia ketiga yang tidak disukai Washington atau Zionis Israel. 5

Bioterorisme adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan penggunaan sabotase atau penyerangan dengan bahan-bahan biologis atau racun biologis dengan tujuan untuk menimbulkan kerusakan pada perseorangan atau kelompok perorangan bahkan suatu bangsa/negara. Aktivitas-aktivitas ini secara umum menyebabkan kerusakan, intimidasi atau kohersi dan biasanya berhubungan dengan ancaman yang menyebabkan kepanikan publik. Agen biologis yang paling umum digunakan sebagai senjata teror adalah mikro organisme dan racun-racunnya, yang dapat digunakan untuk menimbulkan penyakit atau kematian pada populasi penduduk, binatang bahkan tanaman. Agen pencemaran dapat dilepaskan di udara, air atau makanan.

Senjata biologi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa didefinisikan sebagai berikut “living organism, whatever their nature, or inefective material derived from them, which are intended to cause disease or death in man, animals or plants, and which depend for their effects on their ability to multiply in the person, animal or plant attacked”. 6

Pada tahun 1972,  dibawah kepemimpinan PBB, 103 negara  menandatangani konvensi mengenai senjata biologis, yang intinya melarang pengembangan, produksi, penumpukan dan penggunaan senjata biologis. Tujuan dari konvensi ini adalah untuk melenyapkan secara sepenuhnya kemungkinan dari penggunaan agen biologis dan racunnya sebagai senjata pemusnah massal.

Pada konferensi mengenai bioterorisme di San Diego, Amerika Serikat pada awal tahun 2000, para pakar menyimpulkan bahwa Amerika Serikat tidak siap untuk menghadapi serangan senjata biologis dengan patogen seperti cacar, antraks, ebola, botulinum dan lainnya. Oleh karena itu, bioterorisme adalah masalah besar sepanjang sejarah umat manusia. 7

Dalam bukunya, Bio Hazard, Ken Alibek yang pernah menjabat sebagai wakil ketua pengembangan senjata biologis Uni Soviet tahun 1988-1991, menjabarkan pengalamannya dan riset yang tertera dalam arsip-arsip Soviet. Menurut hasil penemuannya, Uni Soviet telah menggunakan kuman yang menyebabkan penyakit tularemia pada unit Wehrmacht (angkatan bersenjata Jerman) sewaktu pertempuran Stalingard tahun 1942. Gejala dari penyakit ini adalah sakit kepala, mual dan demam tinggi yang menyebabkan kematian bila tidak dirawat. Sementara itu, Inggris menguji kuman antraks, disentri dan glender. Amerika Serikat bahkan mengembangkan senjata biologis di Arsenal Edgewood di Maryland dan Pine Bluff di Arkansas. 8

Menurut Paul Wilkinson, banyak analis yang memperkirakan bahwa serangan teroris dengan menggunakan senjata nuklir atau nuclear terrorism kepada Amerika Serikat akan semakin menguat di masa depan, yang dilakukan dalam rangka “jihad global”, “revolusi keadilan” atau liberation/pembebasan”, dimana serangan nuklir ini akan menyebabkan intensi yang panas, shock dan ledakan hebat, fenomena elektro magnetik dan radiasi awal. Disamping itu, ledakan nuklir juga membuat radiasi lanjutan/berulang, wilayah yang terkontaminasi semakin meluas dan menyebabkan kematian serta efek radiasi yang sangat serius bagi sejumlah anggota masyarakat sipil. 9

Sementara itu, menurut Dr. Richard Clutterback, banyak pakar dalam studi tentang terorisme memprediksikan kemungkinan kalangan teroris menggunakan senjata kimia dan biologi sebagai salah satu prospek dari nuklir terorisme itu sendiri. Metode-metode membuat gas saraf dan patogen biologi mudah dipelajari dalam beberapa dekade terakhir ini. Bahkan, untuk membuat Sarin dapat dipelajari di internet, bahan biologi dan kimia juga mudah diperoleh dan murah serta mudah dipelajari oleh siapapun juga. 10

Dibandingkan dengan negara-negara lain bahkan dengan negara sesama ASEAN seperti Thailand dan Singapura, Indonesia sudah sangat terlambat sehingga bila terjadi serangan agensia biologi tidak dapat berbuat apa-apa.

Sebagai negara tropis, Indonesia merupakan “gudang” berbagai agensia biologi. Di lain pihak, sebagai negara agraris, Indonesia sangat rentan terhadap kemungkinan ancaman agensia biologi. Sementara itu, kesiapan terhadap munculnya wabah-wabah penyakit pada manusia, hewan dan tumbuhan masih sangat rendah. Kesiapan vaksin untuk menghadapi wabah beberapa virus boleh dikatakan tidak ada bila dibandingkan dengan negara lainnya.

Berkaitan dengan senjata biologi,  perhatian dari pemerintah dapat dikatakan masih sangat lemah. Perhatian pemerintah terhadap berbagai wabah yang telah terjadi memang demikian besar, seperti terhadap wabah demam berdarah, polio dsb, namun dalam kaitannya dengan ancaman bioteror, pemerintah masih memandang wabah tersebut tidak secara komprehensif, tetapi hanya dari kacamata kesehatan manusia saja. Pemerintah belum mewaspadai serangan-serangan penyakit baik yang menyerang manusia, hewan dan tumbuhan sebagai suatu potensi negatif yang melemahkan ketahanan nasional.

Selain kewaspadaan terhadap kemungkinan adanya genetic weapons, hal lain yang perlu diwaspadai adalah adanya genetic imperialism atau penjajahan genetik. Yang dimaksud dengan penjajahan genetik adalah ketergantungan suatu negara terhadap negara lain akan sumber genetik. Indonesia dalam hal ini telah menjadi korban selama bertahun-tahun dan bila dianalisis sebenarnya telah menimbulkan kerugian ekonomi yang luar biasa besarnya atau telah menimbulkan economic dependence.

Kemajuan-kemajuan bioteknologi yang perlu diwaspadai antara lain: pertama, pesatnya perkembangan bioteknologi dan rekayasa genetika. Kedua, munculnya kembali penyakit lama (reemerging diseases) dan penyakit baru (new emerging diseases). Ketiga, munculnya kemungkinan untuk membuat senjata yang hanya menyerang target tertentu. Keempat, mudahnya  pembuatan senjata biologi. Kelima, sulitnya membedakan kegiatan penelitian yang ditujukan untuk perdamaian atau permusuhan. Keenam, kemampuannya memperbanyak diri. Ketujuh, kemungkinannya untuk meningkatkan ketergantungan suatu negara dengan negara lain (genetic imperialism).

IV.    Kesimpulan dan Saran

Ancaman bioterorisme ke depan harus menjadi perhatian yang serius bagi pemerintah Indonesia ataupun negara-negara lainnya, apalagi mengingat kelompok teroris baik atas kemampuannya sendiri ataupun karena dukungan negara sponsor teroris berpotensi untuk melakukan serangan dengan menggunakan senjata nuklir, kimia dan biologi.

Bioterorisme dapat digunakan sebagai psy war dalam rangka hubungan internasional atau kerjasama internasional ke depan, disamping itu bioterorisme juga berpotensi untuk digunakan sebagai alat untuk melemahkan dan merusak manpower suatu negara atau bangsa. Tidak hanya itu saja, bioterorisme juga digunakan untuk menimbulkan economic dependence dari negara-negara berkembang kepada negara maju dengan motif meraih keuntungan ekonomi sebesar-besarnya melalui pier tracing ataupun menyebarnya wabah penyakit yang bersifat “man made” agar negara yang penduduknya terkena wabah tersebut membeli vaksin virus yang sudah dipersiapkan oleh negara yang diduga menyebarkan wabah penyakit tersebut, baik dengan perantaraan bakteri ataupun virus.

Di Indonesia sendiri, baik secara sosial, politik, demografi, ekonomi, ataupun ideologi, ternyata ancaman bioterorisme masih belum ditangani secara komprehensif dan tertata rapi, namun masih ditangani secara sektoral. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia masih belum memiliki alertness terhadap bioterorisme ini.

Untuk mencegah kemungkinan digunakannya atau dilakukannya bioterorisme di Indonesia, maka ada sejumlah saran yang perlu dilakukan antara lain :
1.    Melakukan pendataan terhadap para peneliti dan perusahaan yang bergerak di bidang kimia dan biologi.
2.    Memberikan insentif yang tinggi kepada ahli-ahli nuklir, kimia dan biologi agar tidak mudah digalang oleh agen atau negara asing.
3.    Tidak mudah dalam memberikan izin penelitian kepada peneliti asing, terutama yang meneliti terkait dengan permasalahan biologi dan kimia.
4.    Bekerjasama dengan negara dan lembaga intelijen lainnya untuk sharing informasi dan perkembangan terkait kemungkinan adanya serangan “nuclear terrorist” ataupun “bioterrorism terrorist”.
5.    Melakukan pelatihan dan evakuasi terhadap masyarakat jika terjadi serangan bioterorisme

 

——————————————

[1]  Agus Purwodianto, PhD, “Aspek Etikolegal Makro Senjata Biologi dan Bioterorisme”, bahan kuliah Kajian Strategik Intelijen, Universitas Indonesia, 2011.

[2]  Wang Xiang Jun, “Rencana Besar Yahudi 2012 dan 2030 yang dicetak ulang dengan judul Blue Print Israel Raya 2012 dan 2030”, Pustaka Radja, Yogyakarta, Maret 2009, Surga Dibawah Telapak Kaki Yahudi dan Israel After Gaza’s War, Agustus 2009.

[3]  Adam Dolnik dan Jason Pate, “Mass Casualty Terrorism : Understanding the Bioterorrist Threat”, Jurnal Intelijen dan Kontra Intelijen, Vol V/November-Desember 2008 halaman 94.

[4]  Ibid, halaman 96.

[5]  Jerry D Gray, “Deadly Mist : Upaya Amerika Merusak Kesehatan Manusia”, Sinergi-Kelompok Gema Indonesia, Jakarta, 2009, hal 19.

[6]   United Nations, Department of Political and Security Council Affairs, “Chemical and bacteoriogical (biological) weapons and the effects of their use”, Report on the Secretary General, UN Document A/7575/Rev1, No E.69 I. 24, New York, 1969.

[7] DR. Mircea Windham dan Drs Wibowo, “Ancaman Bioterorisme Yahudi di Indonesia”, Pustaka Salomon, Yogyakarta, 2009 halaman 134.

 

[8]  Ibid, hal 135-136.

[9]  Paul Wilkinson, “Terrorism vs Democracy : The Liberal State Response”, Routledge London dan Perancis, 2006, hal 182-183.

[10]  Dr. Richard Clutterback, “Terrorism in an Unstable World”, Routledge, London, 1990.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com