Antara Balkanisasi, Musuh Imajiner dan Pahlawan Fiktif

Bagikan artikel ini

Tatkala teriakan dan/atau gugatan penghilangan pasal 156a KUHP justru berasal dari external, maka sesungguhnya fase balkanisasi nusantara bukannya baru dimulai, akan tetapi ia telah menginjak pada fase pematangan. Ya, jika pasal penistaan dihapus, bakal timbul konflik (horizontal) tak bertepi di Bumi Pertiwi. Ini yang diinginkan oleh kaum penjajah. Indonesia dipecah-pecah menjadi beberapa negara kecil berbasis agama dan/atau etnis. Nation state bubar, diganti ethnic state, religion state, corporate state, dan sebagainya. Inilah skema besarnya.

Silahkan cermati apa yang terjadi, mayoritas bangsa malah larut dalam skema yang tengah diremote oleh pemilik hajat. Data di Global Future Institute Jakarta menyebut, bahwa cita rasa terlezat dalam rangka balkanisasi di beberapa negara selain konflik antarmazhab (di Timur Tengah), juga menu-menu lokal yang bernuansa SARA sangat digemari. Kenapa? Karena selain kebhinnekaan yang relatif lestari, juga di Bumi Pertiwi ini tumbuh subur serta berkembang apa yang disebut “sentimen,” baik sentimen kedaerahan, sentimen terhadap vigur (bahkan cenderung ke kultus individu) maupun sentimen agama, dan lain-lain.

Seyogianya elit penguasa dan rezim apapun di republik ini, harus menempatkan ‘para perusak kebhinnekaan’ sebagai musuh bersama (common enemy) –ini harus melalui perumusan secara riil serta komprehensif– dan bukan dengan menciptakan musuh-musuh imajiner dan tidak pula dimunculkan ikon dan/atau pahlawan fiktif –secara sepihak– seperti dalam komik atau filem-filem seperti superman, rambo, popeye, dan seterusnya.

Dalam bahasa sastra, balkanisasi sudah di depan pintu, sedang kita masih berdiskusi kian-kemari.

Paham?

Penulis : M. Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com