Antara Hitler dan Alvin Toffler

Bagikan artikel ini
Ngaji Lebensraum
Setiap era memiliki ciri khas yang membedakan dengan zaman atau era sebelumnya. Artinya, era lampau beserta cirinya akan lenyap diganti zaman baru. Itulah keniscayaan perubahan terus-menerus mengikuti hukum evolusi, kata Charles Darwin. Demikian juga apa yang dikatakan oleh Herakletos, bahwa satu-satunya realitas ialah perubahan.
Perubahan dimaksud, oleh Alvin Toffler diilustrasikan lewat ‘tiga gelombang’. Singkat uraiannya begini:
1. Gelombang pertama: adalah era pertanian dan peladang berpindah. Power khas ialah otot. Siapa paling kuat ototnya maka akan memegang kuasa dan kendali atas berbagai sumber daya;
2. Gelombang kedua: hal ini sudah masuk era modern. Berdirinya pabrik-pabrik dengan ragam komoditas berciri industri massal dan produk cenderung seragam. Hal menonjol ialah uang sebagai power dominan. Siapa punya uang maka ia menjadi ‘raja’ serta bisa mengendalikan siapa punya otot;
3. Gelombang ketiga: ini seperti home industri. Bekerja di/dari rumah. Produknya tak seragam. Industri berbasis pesanan. Setiap produk, berbeda dengan yang lain.
Retorika muncul: “Apakah era Covid19 ini tergolong gelombang ketiga ala Toffler?”
Di era itu, ciri power yang didepan adalah otak. Siapa memiliki otak brilian, ia bisa mengendalikan otot atau siapa punya uang.
Itulah singkat abstraksi pemikiran Toffler pada buku bertajuk Kejutan dan Gelombang. Bukunya sempat best seller tahun 1994-an ketika penulis masih ‘ngangsu air cita‘ di Padepokan Garba Wiyata, Jakarta Selatan.
Akan tetapi, buku Toffler tidak bicara soal gelombang keempat kelak seperti apa; power mana dominan; bagaimana membidani era baru dari kandungan era lama. Toffler tutup buku hanya sampai gelombang ketiga.
Sekarang mengulas (geo) politik. Ya. Kendati baru dikenal sekitar abad ke-19, tetapi praktik geopolitik telah berlangsung ribuan tahun lalu. Tanpa disadari, orang mengenal geopolitik jauh Sebelum Masehi (SM). Herodutus (484-425 SM), misalnya, atau Plato (525-347 SM), Aristoteles (364-322 SM) termasuk pemikir lain pada masanya telah menyinggung geopolitik, namun mereka tidak menyatakan teori secara tersurat. Atau, zaman Strabo (abad ke-1) misalnya, ia hanya menyoroti hubungan antara geografi dengan peradaban dan kebutuhan manusia soal ruang hidup.
Para pemikir di masing-masing zaman mulai mempelajari tentang geografi dan kemudian lahir berbagai ilmu pengetahuan, termasuk geopolitik, teori ruang hidup dan seterusnya.
Sesuai prolog di atas, setiap zaman memiliki ciri dan terpisah dari periode sebelumnya. Zaman Mediterania Kuno, ataupun era Jerman abad pertengahan, zaman setelah Renaisance yaitu zaman kebudayaan kapitalis yang didominasi oleh kekuatan maritim kuno dan seterusnya. Apa mesti dikata, era tersebut telah mencapai klimaks, lalu menurun dan punah, diganti zaman baru.
Berbeda dengan Toffler yang tidak meramal gelombang keempat dari rahim gelombang ketiga; budaya apa dominan; bagaimana membidani era baru. Nah, Hitler pada masanya telah menyiapkan jawaban, bahwa zaman baru kelak disebut ZAMAN GEOPOLITIK, dimana akan terjadi “perebutan ruang” secara sistematis, terstruktur lagi masive. Dan era itu mengakibatkan surutnya negara-negara maritim lama.
Ramalan Hitler tak meleset, karena usai Perang Dunia (PD) I dan PD II, selain Inggris —si Raja Lautan— meredup lalu diganti oleh Amerika (AS), juga banyak peperangan berlangsung di daratan karena faktor (perebutan) living space atau lebensraum.
Selanjutnya, jika mengikuti tren ‘peras-memeras’ ala Bung Karno (BK) dahulu, misalnya, bila ruang hidup diperas maka menjadi kepentingan nasional (national interest); jika national interest diperas ia menjadi kepentingan keamanan dan kepentingan kesejahteraan; kemudian bila diperas lagi menjadi geoekonomi; dan apabila geoekonomi diperas maka akan berujud air (bersih), pangan dan energi. Itulah poin terujung dati ruang hidup atau lebensraum yang diperebutkan negara-negara.
Ruang hidup atau lebensraum adalah inti geopolitik, kata Karl Haushofer. Dan lebensraum, selain berupa hal-hal tangible (tersurat) juga tak berwujud (intangible) seperti hegemoni, atau sphere of influence, rasa persatuan (dan kesatuan) dan seterusnya.
Itulah sepintas perbedaan konsepsi antara Hitler dan Toffler tentang lebensraum (living space) atau ruang hidup.
End
M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com