Selama republik ini berdiri, barangkali rangkaian pemilihan presiden (pilpres) pada 2019-lah yang paling gaduh lagi gemuruh. Kenapa demikian, selain pilpres di era revolusi industri 4.0 memiliki tantangan khusus yang bercirikan mudah bergejolak (volatility), ketidakpastian (uncertainty), kompleksitas (complexity), ambiguitas (ambiguity) —disingkat VUCA— juga gemuruh hoax, saling fitnah dan seterusnya. Dalam konteks ini, VUCA memberi kontribusi signifikan atas kegaduhan dimaksud sebab menantang kepercayaan diri serta membingungkan para pengambil kebijakan.
Yang paling membuat gelisah ialah bahwa pesta demokrasi terkesan seperti “alat pembelah” bangsa baik di tataran elit, marketing, kelas menengah, buzzer apalagi, akar rumput, bahkan sampai ke dapur – dapur rumah tangga warga. Tanpa disadari, ada polarisasi (sosial) dan social enclave di masyarakat. Bahkan hingga hari ini — polarisasi terus berjalan secara sistematis dan masive.
Bagaimana modusnya?
Yang kerap terjadi ialah perang narasi antara kedua kubu/para pihak. Perang narasi di sini, bukanlah adu argumen secara formal dengan data, rujukan ilmiah, ataupun adanya preseden dan lain-lain. Tetapi sifat peperangan narasi tadi cenderung imajiner lagi tidak etis, atau semacam personal attack. Bully, misalnya, atau hoax, ejekan, bahkan fitnah. Si Anu didukung kelompok radikal ingin mendirikan khilafah, misalnya, dia itu pelanggar HAM. Atau, si B didukung para pemilik modal, nanti habis negeri ini dijual kepada pemodal. Itu contoh-contoh kecil narasi imajiner yang kerap muncul di ruang publik terutama di medsos dan media daring abal-abal.
Bahkan usai MK ketok palu bagi kemenangan B, dan kubu yang kalah bersedia bergabung dalam kabinet guna membangun negeri, seyogianya kedua entitas yang terbelah sejak dulu bersatu lagi serta merapatkan barisan demi (membangun) kejayaan bangsa di masa depan. Akan tetapi, praktik di lapangan ternyata lain. Akar rumput terutama buzzer tetap bergejolak serta gaduh tidak menentu.
Di sini terlihat, tidak ada strong power yang mampu meredakan kondisi. Dan VUCA, sekali lagi, ia memberi kontribusi tak sedikit atas ambuguity (ketidakjelasan) kondisi.
Ya. Ajakan para tokoh untuk kembali bersatu, misalnya, dinafikan, diabaikan. Muncul julukan atau sebutan baru yang kontennya saling ejek terhadap masing-masing pìhak —buzzer— yang berhadapan di pilpres kemarin. Dan hingga hari ini, kegaduhan terus berlangsung, menggaung dan kian memanaskan situasi. Ini benar-benar menguras energi bangsa.
Pertanyaan gelisah pun muncul, “Pilpres itu upaya mencari pimpinan nasional, atau sarana membelah bangsa?”
Itu retorika. Dan apabila retorika di atas tak mampu dijawab secara cerdas dan bijak, sepertinya asumsi lama bahwa bangsa ini tengah diadu-domba oleh kekuatan tersembunyi (hidden power) melalui sistem politik semakin mendekati kebenaran.
SADARKAH kita?
***) Pointers kecil obrolan di Sanyata Coffee pimpinan Romeo10 __ WE CREATE THE FUTURE LEADERS
M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)